Tuesday, August 26, 2014

Ring (pt.1)

Ponselku berdering, memecah keheningan ruangan yang kutempati saat ini. Kulihat namanya muncul di layar ponselku, dengan ikon gagang telpon berwarna hijau yang muncul di sisi kanan namanya. Kutaruh cangkir kopi yang kupegang dan segera kuambil ponselku, lalu kujawab panggilan yang masuk untukku. 

"Halo?" 
"Halo? Ezar lagi dimana?" 

Aku tertegun sejenak. Sudah lama aku tak mendapatkan panggilan telpon darinya. Rasanya aku rindu dengan momen seperti ini--momen aku berbicara dengannya melalui telpon. Tiga tahun terakhir ini kami saling berhubungan melalui Skype, jadi saat ini agak aneh rasanya saat ia menelponku. 

"Zar?" 
"Eh, ya. Halo? Err.. Aku masih di kantor. Kamu udah sampai?" 
"Ini aku udah turun dari pesawat" 
"Hmm.. Ke Bandung naik apa?" 
"Ada shuttle van yang pergi ke Bandung setiap satu jam sekali. Aku ambil jadwal yang tercepat. Mungkin sampai Bandung sekitar jam empat sore" 
"Oke. Nanti kujemput dimana?" 
"Aku turun di BTC. Kalau mau kamu jemput di BTC aja
"Oke. Nanti aku jemput kamu disana. Aku selesai kerja jam setengah empat dan nanti langsung kesana" 
"Ya. Aku tunggu. Oh ya, ajak Reyhan juga ya. Aku kangen adik kamu" 
"Beres. Aku nanti suruh dia ke BTC" 
"Loh, memangnya kamu nggak jemput dia dari sekolahnya?" 
"Kalau aku jemput dulu dia, nanti lama di perjalanannya. Lagian jaraknya lumayan jauh dari tempat kerjaku ke sekolah Reyhan" 
"Ya sudah kalau begitu. Nanti ketemu disana ya" 
"Ya. Hati-hati di jalan" 
"Thanks, dear. I love you
"I love you, too

Percakapan di ponsel pun berakhir. Aku tersenyum senang dan begitu tak sabar untuk segera bertemu dengannya. Tiga tahun bukanlah waktu yang terasa sebentar, dan penantianku membuat tiga tahun terasa begitu lama. Namun penantianku akan terbayar sudah hari ini karena aku akan bertemu dengannya. Kuharap ia tak banyak berubah. Kuharap ia tak memotong pendek rambutnya. Aku benar-benar tak sabar ingin segera bertemu dengannya. Jantungku berdegup kencang karena aku sangat bahagia--sangat bahagia sampai-sampai aku bisa mati karena kebahagiaan yang kurasakan saat ini. Aku pun tak sabar ingin segera membaca novel yang ia tulis, yang telah diterbitkan di London. 

"Kelihatannya senang banget, Zar," ujar Adit yang mengintipku dari atas tembok kubikelku. 
"Alia udah pulang," jawabku, "Nanti kita mau ketemu sekitar jam 4" 
"Seneng banget ya yang calon istrinya udah balik dari luar negeri," ujar Adit iri. 
"Makanya Dit, cepat cari calon dong," balasku seraya tersenyum jahil. 
"Bantuin cari kek. Capek nih tiga tahun sendiri mulu," ujarnya memelas. 

Aku dan Adit tertawa kecil, lalu ia kembali ke kubikelnya. Kembali aku berkutat dengan pekerjaanku sembari mataku sesekali menatap jam yang ada di sisi kanan bawah desktop komputerku. Aku ingin waktu berjalan lebih cepat agar aku bisa segera bertemu dengannya. 

----

Sudah hampir pukul empat tapi belum ada kabar apapun dari Alia. Aku mulai gugup. Sedari tadi aku terus melihat ke arah pintu masuk, berharap shuttle van itu akan segera tiba. Bahuku dicolek dari belakang, membuatku terkejut. Aku segera berbalik dan kulihat adikku telah berdiri di belakangku, dengan memegang dua gelas minuman di masing-masing tangannya. 

"Belum dateng?" tanya Reyhan. 
"Belum. Eh, thanks ya minumannya," jawabku seraya mengambil segelas frappe dari genggaman tangan kirinya. 
"Eh, sembarangan! Itu minuman Rey beli buat miss Alia!" tegur Reyhan. 
"Ah, kirain buat mas Eza," jawabku kecewa. 
"Hehehe.. Rey bercanda kok, mas. Itu buat mas Eza," balas adikku seraya tertawa kecil. 

Aku mencicipi minumanku sambil menunggu kedatangan Alia bersama adikku. Tak berapa lama kemudian, nampak sebuah shuttle van memasuki pintu masuk. Ponselku berdering dan aku segera merogoh ponselku dari saku jaketku. 

"Aku lihat kamu sama Reyhan. Kamu lagi minum tadi. Haus ya, mas?" 

Aku tersenyum kecil. 

"Cepat turun. Aku udah kangen

Setelah van itu terparkir, semua penumpangnya turun, termasuk Alia. Ia mengambil kopernya yang berukuran sangat besar, dan mencoba mendorongnya. Aku berlari menghampirinya dan langsung membantunya menarik kopernya. Alia tiba-tiba menampar bahuku. Aku terpaksa berhenti sejenak. 

"Kamu lebih pikirin koper aku daripada aku?" tanya Alia pura-pura kesal. 
"Hehehe.. 'Kan lebih baik amankan dulu barang bawaan," jawabku. 
"Katanya kangen sama aku?" 

Aku dan Alia saling melempar senyum. Kami tertawa kecil dan akhirnya kami berpelukan. 

"I've missed you so bad," ujarku. 
"I've missed you, too, dear," jawabnya. 

Setelah membawa dan memasukkan koper Alia ke dalam mobilku, aku membawa Alia dan adikku ke sebuah kedai kopi di jalan Sumatra, yang letaknya tak begitu jauh dari sekolah adikku. Kami segera masuk ke dalam kedai tersebut dan membuat pesanan. Sambil menunggu pesanan datang, kami mengobrol tentang banyak hal. Adikku banyak bertanya mengenai kehidupan Alia selama ia berada di London, dan ia nampak sangat tertarik dengan cerita-cerita Alia. 

"Selama di Inggris, miss Alia pernah nonton pertandingan sepakbola?" tanya Reyhan. 
"Aduh.. Aku nggak suka sepakbola, Rey," jawab Alia. 
"Ah, kayak kamu suka main sepakbola aja, Rey," sindirku. 
"Ih, Rey cuma nanya aja kok. Barangkali aja nonton pertandingan sepakbola," Reyhan membela diri. 
"Kenapa? Masih penasaran sama jersey Arsenal? Mau beli?" tanyaku. 
"Ah, nggak ada uang," jawab Reyhan. 
"Nanti mas Eza beliin pas kamu ulang tahun," ujarku. 
"Ah, masih lama," jawab Reyhan sedikit kesal. 

Kami kembali mengobrol, namun agak sulit bagi aku dan Alia secara khusus untuk mengobrol lebih dekat dan membicarakan berbagai hal tentang kami saja karena kehadiran adikku di antara kami. Meskipun begitu, aku tetap merasa bahagia karena Alia akhirnya kembali. Reyhan tiba-tiba mengeluarkan laptop dari dalam tasnya dan menunjukkan sesuatu pada kami. 

"Aku sempat kopi file keluarga ini dari laptop miss Alia, terus aku mainkan sampai udah sebesar ini," ujar Reyhan seraya menunjukkan permainan The Sims 3 di laptop-nya pada kami. 
"Ah, udah besar anaknya!" seru Alia takjub. 
"Tuh, mas Eza udah tua tuh," ujar Reyhan seraya menunjuk karakterku di layar laptopnya. 
"Udah tua tapi masih ganteng ya. Hebat," ujarku. 
"Dasar kamu!" balas Alia seraya mencubit pipiku. 

Aku tersenyum. Reyhan menjelaskan apa-apa saja yang telah ia lakukan. Sang ayah bekerja sebagai ilmuwan dan sang ibu menjadi penulis novel. Gemas, kurangkul adikku dan kuacak-acak rambutnya. Aku tak menyangka rupanya selama ini Reyhan melanjutkan permainan The Sims 3 yang pernah Alia mainkan. Ia mengkopi file keluarga yang Alia buat dari laptop Alia, lalu memainkannya di laptopnya sendiri. Keluarga yang beranggotakan tiga orang itu--aku, Alia, dan anak kami--hidup bahagia, dengan sang anak yang mulai beranjak dewasa. Aku menatap Alia yang juga sedang menatapku dan kami saling melempar senyum. Apa yang Reyhan tunjukkan pada aku dan Alia--apakah ini pertanda bahwa tak lama lagi kami akan hidup bersama? Kotak kecil yang kusimpan di saku kanan celanaku terasa berat. Aku sengaja membawanya hari ini, meskipun aku tak tahu kapan akan kukeluarkan kotak itu. Aku tak yakin jika hari ini adalah hari yang tepat.

----

Reyhan duduk di atas tempat tidurnya, melipat kedua tangannya di depan dadanya. Ia menatapku serius, menantikan kata-kata untuk keluar dari mulutku. Senyumnya nampak kecut.

"Kenapa mas Eza nggak bilang ke Rey?"

Aku menghela nafas sejenak.

"Mas bingung bilangnya gimana, Rey. Kamu sama Alia tadi asyik banget main The Sims," jawabku.
"Harusnya mas bilang, jadi Rey bisa kasih waktu khusus buat mas Eza sama miss Alia berdua," balas Reyhan.
"Lagipula tadi bukan waktu yang pas. Masa sih mas Eza harus tunjukkan di tempat ramai seperti tadi?" tukasku.
"Memang mas Eza mau tunjukkan kapan? Mas Eza mau kapan bicara sama miss Alia?" tanya Reyhan.

Aku meringis pelan, lalu berputar di kursi belajar adikku.

"Mas Eza juga belum tahu kapan"

Kursi itu berhenti, dan aku kembali berhadapan dengan adikku.

"Harus cepat loh, mas. Keburu direbut orang lain," ujar adikku.
"Yaah.. Jangan dong," jawabku enggan, "Tiga tahun nih penantian, masa sia-sia?"
"Ya sudah, tentukan waktunya secepatnya. Sudah bilang sama ayah?" tegas Reyhan.
"Kamu mau temani mas bicara sama ayah?" tanyaku.
"Sekarang pun mau," jawab Reyhan.

Aku dan adikku akhirnya keluar dari kamar adikku, lalu menemui ayah yang sedang bekerja di ruang keluarga. Matanya menatap layar laptopnya dan saat kami tiba, ia menjeda pekerjaannya. Aku dan adikku duduk berhadapan dengan ayah. Ia melepaskan kacamatanya lalu menaruhnya di atas meja.

"Ada apa?" tanya ayah.

Aku menyikut lengan adikku, dan adikku balas menyikutku.

"Mas Eza lah yang ngomong. Yang mau nikah siapa?" tegas adikku setengah berbisik.
"Ada apa? Siapa yang mau nikah?" tanya ayah.
"Mas Eza, yah," jawab Reyhan.
"Rey!" tegurku.

Ayah mengernyitkan dahinya.

"Benar, Za?" tanya ayah.
"Er.. Kayaknya sih gitu, yah," jawabku.
"Kayaknya? Kamu ini mau nikah tapi kok ragu-ragu?" tanya ayah bingung.
"Reza takut ayah nggak setuju," jawabku gugup.

Ayah tersenyum kecil.

"Sudah punya persiapan apa saja kamu?" tanya ayah.
"Hmm.. Pekerjaan sudah ada. Gaji minimal yang Reza dapat dirasa cukup untuk menghidupi Reza sama Alia," jawabku.
"Memangnya berapa gaji mas Eza setiap bulan?" tanya Reyhan.
"Nggak begitu besar sih. Mas Eza 'kan baru dua tahun kerja di konsultan. Eh tapi.. Masa harus mas sebutin sih jumlahnya?" jawabku ragu.
"Gaji sebulan itu cukup kamu pakai apa saja?" tanya ayah.

Aku berfikir sejenak.

"Apa aja ya? Pokoknya kalau dipakai untuk biaya makan, ngopi, sama bensin buat mobil sih Reza masih dapat sisa banyak. Selama ini Reza kalau dapat gaji pasti langsung masukkan setengahnya ke tabungan. Setengah laginya Reza pakai buat kebutuhan sehari-hari, dan itupun biasanya masih dapat sisa," jelasku, "Kalau sarapan atau makan malam, Reza masih bisa makan di rumah. Kalau untuk makan siang, paling Reza titip beli makan yang nggak mahal semacam nasi Padang ke office boy" 

Ayah mengangguk pelan.

"Kalau untuk anak, bagaimana? Sudah pikirkan keuangannya?" tanya ayah.
"Reza sempat bikin gambaran kasar sih. Dan dari gambaran itu, Reza rasa uang di tabungan cukup," jawabku, "Reza juga sambil cari-cari proyek untuk tambah-tambah pemasukkan. Kalau ada proyek, Reza dapat pemasukkan tambahan yang nilainya cukup besar"
"Terus, tentang rumah? Bagaimana?" tanya ayah.

Aku tertegun. Rumah. Ah, rumah. Desain rumah untukku dan Alia sudah kubuat, dan Alia sudah melihatnya. Kami berdua sudah setuju dengan desain itu. Hanya saja dengan kondisi keuanganku saat ini.. Ah, yang benar saja? Membangun rumah pasti membutuhkan biaya yang sangat besar.

"Kalau untuk rumah, jujur saja uangnya belum ada," jawabku pelan.

Ayah menggeleng pelan.

"Kamu harus pikirkan juga tentang hal itu. Keinginan untuk berkeluarga itu harus sejalan dengan usaha dan persiapannya," ujar ayah seraya bangun dari tempat duduknya dan berjalan ke kamarnya.

Aku tertunduk pelan. Ah, seandainya saja gaji bulananku jumlahnya besar. Seandainya saja aku telah mencapai posisi yang tinggi. Dan seandainya saja uang tabunganku banyak.. Ucapan ayah memang benar. Setelah menikah nanti, bagaimana aku dan Alia akan hidup jika kondisi keuangan kami masih belum mapan? Dimana kami akan tinggal? Belum lagi jika kami telah memiliki anak. Bagaimana aku, sebagai seorang ayah, akan menghidupi Alia dan anakku nanti?

"Mas Eza, mungkin mas Eza sekarang ini harus tingkatkan lagi persiapannya," ujar Reyhan pelan.
"Rey, mas Eza sudah nabung dua tahun, bahkan lebih dari dua tahun. Ternyata itu masih belum cukup," jawabku.
"Tapi tadi mas Eza bilang gaji mas Eza setiap bulannya masih cukup untuk kebutuhan sehari-hari," tukas Reyhan.
"Lantas gimana dengan rumah? Mas Eza belum bisa bangun rumah buat Alia," balasku.

Aku mengeluarkan kotak cincin dari saku celanaku dan memperlihatkannya pada adikku. Ia membuka kotak itu lalu tertegun saat berliannya berkilau memantulkan cahaya lampu.

"Kapan sebetulnya mas Eza beli cincin ini?" tanya Reyhan.
"Dua bulan yang lalu," jawabku.

Ayah tiba-tiba kembali dan terkejut saat melihat kotak cincin yang kupegang. Ia mengernyitkan dahinya lalu kembali duduk di kursinya.

"Kamu sudah beli cincin?" tanya ayah.
"Sudah. Dari dua bulan yang lalu," jawabku.
"Dan kamu baru bilang tentang rencana menikah kamu sekarang?" tanya ayah lagi.
"Aku baru siap sekarang untuk bilang," jawabku.

Ayah mengangguk pelan.

"Reza, ayah paham keinginan kamu untuk berkeluarga. Ayah juga tahu hubungan kamu dan Alia sudah sejauh apa. Tapi, ayah ingin kamu paham bahwa persiapan sebelum kehidupan pernikahan sangat penting. Ayah nggak mau nanti setelah kalian menikah, kalian banyak bertengkar karena urusan ini itu, terutama yang berkaitan dengan uang. Kamu sebagai calon kepala keluarga akan merasakan bagaimana susahnya mengurus keluarga," ujar ayah.

Aku menggigit bibir bawahku. Mungkin ayah benar. Aku harus menunda keinginanku untuk saat ini.

"Tapi, Za, yang namanya orang tua pasti menyiapkan bekal untuk anak-anaknya. Ayah sebetulnya kaget waktu kamu bilang kamu mau menikah, dan ayah sadar bahwa mungkin sudah waktunya ayah memberikan bekal terakhir untuk kamu. Sejak kalian berdua masih kecil, ayah dan ibu menabung buat kalian berdua. Masing-masing punya tabungan tersendiri. Sekarang, tabungan untuk kamu harus ayah berikan sama kamu sebagai bekal terakhir untuk kamu. Setelah nanti kamu berkeluarga, tanggung jawab keuangan sepenuhnya ada di tangan kamu, meskipun untuk beberapa hal ayah tetap akan bantu kamu"

Ayah merogoh saku sweaternya dan mengeluarkan sebuah buku tabungan bank. Ia menaruhnya di atas meja lalu mendorongnya ke arahku. Aku dan Reyhan terkejut. Kami saling bertatapan, melempar pandangan tak percaya.

"Ini buat kamu, Reza. Ambil," ujar ayah.

Aku ragu-ragu mengambil buku tabungan itu dan saat kubuka, kulihat ada namaku di buku tabungan itu. Aku benar-benar kehabisan kata-kata. Kubuka lembaran-lembaran lainnya dan kudapati jumlah tabungan yang nilainya tak bisa dianggap sedikit. Banyak. Sangat banyak. Ini terlalu besar untukku.

"Kalau untuk membangun rumah yang sebesar rumah ini, mungkin belum cukup. Tapi untuk keluarga kecil, kamu bisa beli rumah tipe 45 dulu. Nanti saat uangnya sudah terkumpul, kamu bisa beli rumah atau tanah untuk bangun rumah yang lebih besar lagi. Untuk saat ini, ayah hanya bisa membekalkan kamu segitu"

Jumlah uang yang ada di buku tabungan itu dan ucapan ayah membuatku menangis. Aku pun terisak. Tak kusangka rupanya selama ini ayah dan ibu menabung untuk bekalku, dan hari ini aku mendapatkan hasil dari jerih payah menabung mereka bertahun-tahun. Reyhan merangkul bahuku dan menepuk pundakku.

"Ini.. Ini lebih dari cukup, yah," ujarku terbata-bata.
"Orang tua mana yang tidak ingin anaknya bahagia?" tanya ayah.

Aku segera bangun dan memeluk ayah. Sudah sangat lama sejak terakhir kali aku menangis dalam pelukan ayah. Teringat ucapan ayah, aku sadar bahwa setelah menikah aku mungkin akan meninggalkan rumah ini, meninggalkan ayah dan Reyhan. Aku akan merindukan mereka berdua. Aku akan merindukan semuanya tentang rumah ini.

"Pokoknya sebelum kamu dapat rumah, kamu sama Alia bisa tinggal disini dulu," ujar ayah.
"Terima kasih banyak, ayah. Terima kasih," jawabku sambil terisak.
"Sudah, ah, jangan nangis begini. Katanya mau lamar anak orang, kok nangis begini," tegur ayah.
"Reza sedih, yah. Reza nanti harus ninggalin ayah dan Reyhan disini," jawabku.

Ayah melepaskan pelukanku dan menepuk bahuku. Saat aku berbalik, kulihat Reyhan telah berdiri menatapku dan ayah, dengan tangan yang dilipat di depan dadanya dan ekspresi kesal.

"Reyhan juga ingin pelukan," ujarnya.
"Aduh.. Si bungsu mulai manja," ujar ayah.

Reyhan pun akhirnya datang dan kami bertiga berpelukan.

"Yah, Rey belum mau nikah cepat-cepat," ujar adikku tiba-tiba.

Aku dan ayah tertawa mendengar ucapan konyol adikku.

"Aduh.. Kamu ini UAS saja belum sudah mikir pernikahan," jawab ayah seraya mengusap rambut adikku.

-- 1 --

0 comments:

Post a Comment