Matahari Sabtu siang ini bersinar begitu terik. Melalui jendela kedai, aku melihat orang-orang yang berjalan cepat di luar, mungkin ingin segera tiba di tempat tujuannya karena tak kuat dengan sengatan matahari yang begitu ganas. Cuaca yang panas membuatku semakin gundah, meskipun aku berada di dalam ruangan berpendingin udara saat ini. Mataku sedari tadi melirik jam antik yang digantung di dinding kedai kopi ini. Saat ini waktu menunjukkan pukul dua siang dan itu artinya aku masih punya dua setengah jam lagi sebelum aku bertemu dengan Alia. Dua setengah jam, dan aku merasa begitu gugup. Ya, aku takut segalanya tak berjalan dengan baik. Sementara aku gugup, adikku Reyhan dengan santainya menikmati makan siangnya dan meneguk gelas berisi teh limun dinginnya.
Reyhan begitu santai menikmati santap makan siangnya. Tangan kanannya memegang garpu yang ia gunakan untuk menusuk kentang goreng shoestring dan sosis. Ia mencelupkan kentang dan sosis yang ia tusuk dengan garpunya ke dalam wadah berisi saus mayonnaise, lalu memakannya. Ia begitu menikmatinya, terutama saat ia meneguk teh limun dinginnya. Dari matanya kulihat dunia merupakan tempat yang indah, dan hidup begitu santai tanpa ada kegundahan. Tapi itu untuknya, bukan untukku. Saat ini, aku benar-benar gelisah. Dunia menjadi tempat yang mengerikan. Salah melangkah, bisa-bisa hidupku berakhir. Mungkin ini terdengar berlebihan, tapi aku benar-benar sangat gelisah saat ini. Reyhan bisa bersantai di saat seperti ini, karena ia tak berada di posisiku. Seandainya ia menjadi aku dan akan melamar seorang gadis dua setengah jam lagi, mungkin ia akan merasa gelisah sepertiku.
"Santai aja, mas. Belum dimakan loh pesanannya dari tadi," tegur Reyhan.
"Mas Eza nggak selera, Rey. 'Kan kamu tahu sendiri mas Eza gugup saat ini," jelasku.
Reyhan mengangkat kedua bahunya lalu kembali menikmati makan siangnya.
"Aduh, Rey. Mas Eza harus gimana ya? Takut salah bicara nih," tanyaku ragu.
"Ah, mas Eza terlalu tegang. Santai sedikit kenapa?" jawab Reyhan santai.
"Kamu nggak tahu sih gimana rasanya berada di posisi mas Eza," tukasku.
"Bukannya Rey nggak paham, tapi yang Rey lihat sejak tadi pagi mas Eza itu terlalu tegang. Calm down," jelas Reyhan.
Aku meneguk kopi dinginku.
"Mas Eza udah coba untuk tenang, Rey. Tapi kamu lihat sendiri, mas Eza masih gelisah," ujarku, "Mas Eza harus gimana lagi sekarang?"
"Kalau gitu, berarti persiapan mas Eza berarti belum matang," balas Reyhan.
Tersinggung, aku mengernyitkan dahiku.
"Apa maksud kamu? Kamu nggak lihat usaha mas Eza selama ini seperti apa?"
Kesal, aku mengeluarkan kotak cincin dari dalam saku jaketku dan menaruhnya di atas meja. Telunjukku mengetuk tutup kotak cincin tersebut dua kali.
"Lihat! Mas Eza udah beli cincin ini sejak dua bulan yang lalu. Mas Eza sudah dapat pekerjaan tetap. Mas Eza juga sekarang tinggal cari rumah. Dan mas Eza juga udah berpakaian seperti yang kamu sarankan. Apa yang kurang? Coba kamu jelasin sama mas Eza, apa persiapan yang kurang?" tanyaku kesal.
"Secara fisik sih mungkin mas Eza udah siap. Penampilan mas Eza sudah rapi. Baju yang mas Eza pakai juga bagus. Tapi mas Eza belum siap secara mental kalau kayak gini," jelas Reyhan.
"Kamu harusnya paham dong posisi mas Eza sekarang seperti apa. Coba kamu bayangkan sendiri dua setengah jam lagi mas Eza mau bicara serius sama Alia dan ini menyangkut masa depan hubungan kita berdua. Coba kamu sebelum bicara itu dipikir dulu!" tegurku.
Reyhan meringis pelan.
"Terus mau sampai mas Eza nervous begini? Kalau mas Eza terus gamang kayak sekarang, memang nggak bakal memalukan nanti?"
"Kalau gitu kamu jelasin gimana caranya supaya mas Eza bisa nggak nervous!"
"Jangan terlalu dipikirkan. Mas Eza bisa mulai dengan fokus ke makanan dan minuman mas Eza"
"Ah, kamu pikir gampang apa menghilangkan rasa gugup?"
"Kalau dari awal pikirannya sudah negatif, ya apapun masukan dari orang akan dianggap negatif"
Aku menghela nafas sejenak. Ponselku tiba-tiba berdering, Aku segera mengambil ponselku di atas meja lalu menjawab panggilan telpon yang masuk.
"Halo?"
"Halo, Za? Lagi dimana?"
Aku mengernyitkan dahiku. Adit, rekan kerja dan sahabat sejak aku SMA, menghubungiku. Ada apa Adit menelponku di Sabtu siang seperti ini? Biasanya ia sangat sibuk di hari Sabtu, entah menghabiskan waktunya bermain game di rumahnya, atau pergi dengan kekasihnya, atau berenang sampai sore, atau bahkan berlibur ke luar kota dan pulang pada Minggu malam.
"Lagi makan siang sama adik. Ada apa, Dit?" tanyaku.
"Temenin gue ke pameran dong," ajak Adit.
"Pameran? Pameran apa?" tanyaku.
"Komputer. Di Landmark," jawab Adit.
"Wah? Dekat dong. Gue di Wiki," balasku.
Aku mengambil gelas kopi dinginku dan meneguk isinya.
"Gue baca di grup katanya hari ini anak-anak regional mau pada kesana. Mungkin pulang dari pameran mau makan bareng," ujar Adit.
"Regional?" tanyaku bingung.
"Dota 2. Anak-anak Bandung semua kok. Ayo ikut," jelas Adit.
"Wah? Serius?" tanyaku kaget.
"Kapan sih gue bohong sama lu, Za? Gue udah mau nyampe nih. Lewat rel kereta terus tinggal belok kanan buat parkir mobil. Lu datang, 'kan? Temenin lah. Gak ada teman nih," bujuk Adit.
"Oke. Gue kesana sekarang. Eh, tapi gue nggak bisa lama ya. Jam empat gue langsung pergi lagi," jawabku.
"Kemana?"
"Ah, mau tahu aja"
Setelah sepakat untuk bertemu, aku dan Adit mengakhiri obrolan kami di telpon. Tiba-tiba saja rasa gugup yang melandaku hilang. Aku tiba-tiba bersemangat. Berkumpul bersama teman-teman gamers pasti akan menyenangkan.
"Mas Eza harus pergi sekarang," ujarku.
Reyhan menatapku kaget. Ia mengernyitkan dahinya.
"Sekarang? Mau kemana?" tanyanya.
"Ke Landmark. Ketemu anak-anak Dota," jawabku.
"Landmark? Katanya mau ketemu sama miss Alia di Saka? Kok malah ke Landmark?" tanya Reyhan bingung.
"Sebentar kok. Nggak akan lama. Hitung-hitung sambil nunggu waktu," jawabku.
"Lha terus aku gimana?"
"Kamu ikut sama mas Eza aja. Kita ketemu teman-teman mas Eza"
"Nggak mau. Nggak kenal ah"
"Lha memang kamu mau sendiri disini?"
"Nggak mau. Reyhan mendingan pulang"
"Mas Eza nggak bisa antar kamu pulang. Adit udah nunggu di Landmark"
"Pokoknya Reyhan nggak mau ikut dan nggak mau diam sendirian"
"Kamu 'kan bisa pulang sendiri pakai kendaraan umum"
Adikku mendengus kesal.
"Mas Eza nggak konsisten. Ganti rencana tiba-tiba dan seenaknya," ujar Reyhan dingin.
"Bukannya mas Eza nggak konsisten. Lagipula ini 'kan ketemu teman-teman grup," bantahku.
"Teman-teman grup lebih penting ya daripada adik dan pacar?" balas Reyhan.
Aku meringis pelan. Segera kuambil tasku dan aku beranjak dari tempat dudukku.
"Maaf deh kalau gitu. Mas Eza benar-benar harus pergi sekarang. Untuk makanan biar mas Eza yang bayar," ujarku.
Aku menaruh selembar uang senilai seratus ribu dan selembar uang senilai lima puluh ribu di atas meja.
"Itu seratus ribu buat bayar makanan. Lima puluh ribu barangkali kamu pulang pakai taksi"
Aku segera pergi setelah memberi adikku uang. Setengah berlari menyusuri trotoar, aku harus segera tiba di Landmark karena Adit telah menungguku. Ponsel di saku jaketku bergetar dan aku melambatkan langkahku untuk memeriksa ponselku. Ada satu pesan singkat yang kuterima dan saat kubaca, aku terkejut. Adikku yang mengirimiku pesan singkat itu.
"Kalau Rey tahu bakal begini rencana mas Eza, Rey dari awal nggak akan ikut. Lebih baik Rey makan siang di rumah sama ayah"
Aku meringis kesal. Dengan cepat jemariku bergerak lincah di atas layar sentuh.
"Kalau kamu masih mempermasalahkan hal ini, nanti di rumah kita selesaikan. Mas Eza nggak mau kita bertengkar di telpon atau SMS. Kamu udah dewasa. Kamu harus coba pahami posisi orang lain"
Pesan singkat itu segera kukirimkan. Tak mau banyak memikirkan tentang adikku, aku pun segera berlari menyebrangi jalan menuju gedung Landmark, dimana Adit telah berdiri menungguku di depan pintu masuk gedung tersebut.
----
Selepas berkeliling pameran, aku, Adit, dan teman-teman grup yang kuikuti memutuskan untuk mengobrol sembari menikmati cemilan di taman balai kota yang letaknya tak jauh dari gedung Landmark. Sabtu sore yang cerah menghadirkan suasana hangat dan bersahabat. Di bawah naungan sebuah pohon, aku dan teman-temanku duduk sembari berbagi cerita. Tak hanya tentang game yang kami mainkan, tetapi juga tentang kehidupan kami.
"Buat lu," ujar Moses seraya memberiku segelas kopi susu.
"Thanks," jawabku.
Moses lalu duduk dan bergabung bersama kami. Kami saat ini sedang berbicara tentang pekerjaan dan sekolah. Aku tak hanya berteman dengan yang seusia denganku. Ada juga beberapa temanku yang masih bersekolah di tingkat SMA. Perbedaan tingkat pendidikan inilah yang membuat obrolan menjadi menarik karena aku seolah dibawa bernostalgia saat teman-temanku yang masih SMA bercerita tentang kehidupan sekolahnya.
"Koh Reza lulusan mana?" tanya Azka, anggota grup yang masih bersekolah di SMA.
"Maranatha. Gue ambil DKV," jawabku.
"Berarti lu sekampus sama Adit?" tanya Moses.
"Nggak. Kalau gue dari ITB," jawab Adit.
"Kita bersahabat sejak SMA. Dari kelas satu sampai kelas tiga kita selalu sekelas," ujarku.
"Sampai bosan gue liat muka dia di kantor," sambung Adit.
Aku dan teman-temanku tertawa.
"Lu sendiri pas kuliah ambil jurusan apa, Ses?" tanya Adit.
"Gue ambil teknik arsitektur," jawab Moses.
"Dimana? Parahyangan?" tanyaku.
"Bukan. UPI," jawab Moses.
"Kenal Nana?" tanyaku.
"Kenal. Dia teman lu juga?" jawab Moses.
"Teman zaman SMA. Nggak begitu dekat sih," jawabku.
Ponselku bergetar. Aku segera merogoh ponselku dan terkejut saat kulihat waktu telah menunjukkan pukul empat lebih lima belas menit. Ada pesan singkat yang kuterima dan rupanya pesan itu dikirim oleh Alia.
"Aku sudah sampai dari lima belas menit yang lalu. Kamu udah dimana?"
Aku segera membalas pesan singkat itu.
"Tunggu ya. Aku berangkat kesana sekarang. Sekitar lima belas menit lagi aku sampai"
Aku segera memasukkan ponselku lalu mengenakan jaketku. Setelah berpamitan pada teman-temanku bahwa aku harus segera pergi, aku setengah berlari menuju area parkir motor. Segera kukenakan helmku dan kutarik zipper jaketku. Tanganku tak sengaja menyentuh saku kanan jaketku dan aku tak merasakan benda itu berada di dalam saku jaketku. Panik, aku menyeluk saku jaketku dan benda itu memang tak ada di dalam saku jaketku. Aku turun dari motorku dan segera memeriksa saku jaketku yang lain dan saku celanaku. Aku bahkan sampai membongkar seluruh isi tasku namun hasilnya nihil. Kotak cincin itu tak ada. Aku kehilangan kotak cincin itu.
"Tadi kutaruh dimana kotaknya?"
Aku segera berlari kembali ke tempat teman-temanku berkumpul dan mereka terkejut oleh kehadiranku yang tiba-tiba.
"Ada apa, Za?" tanya Adit.
"Maaf. Kalian lihat ada kotak nggak? Kecil kotaknya," tanyaku.
"Kotak? Kotak apa?" tanya Moses.
Aku meringis dan tersenyum malu.
"Kotak cincin," jawabku.
Teman-temanku terkejut, tak terkecuali Adit.
"Cincin? Lu bawa cincin?" tanya Adit.
Aku menghela nafas sejenak.
"Sorry, gue baru cerita sekarang. Sebenarnya gue janjian sama pacar gue untuk ketemu jam setengah lima sore. Gue ketemu dia untuk--"
"Lamar?" potong Adit.
"Er.. Ya. Seperti yang lu semua bisa tebak," jawabku malu.
Terdengar riuh teman-temanku menggodaku dan memberiku selamat. Mereka tiba-tiba berdiri dan satu persatu menyalamiku. Aku menyambut jabat tangan mereka sembari tersenyum malu dan gugup. Astaga. Sekarang apa yang harus kulakukan? Aku kehilangan cincinku dan aku harus bertemu dengan Alia lima belas menit lagi.
"Eh, sebentar! Kita bantu cari kotak cincinnya," ujar Moses, "Za, coba kira-kira dimana tempat yang potensial buat lu hilangkan atau jatuhkan kotak cincinnya?"
"Gue udah cari di sekitar area parkir tapi nggak ada, makanya gue kesini," jawabku.
"Oke. Kita cari di sekitar sini. Apa warna kotaknya?" tanya Moses.
"Ungu. Amethyst"
Selama sekitar sepuluh menit teman-temanku membantuku mencari kotak cincinku, namun tak ada satupun yang melihatnya. Aku semakin takut. Mungkin saja kotak itu jatuh saat aku sedang mengendarai motorku. Atau..
"Za, kalau nggak salah lu tadi makan siang sama si Reyhan, 'kan?" tanya Adit.
"Eh, iya. Jangan-jangan.."
"Kotaknya ketinggalan mungkin di tempat makan?"
Tanpa pikir panjang aku pun segera pamit pada teman-temanku lalu berlari menuju area parkir. Mengendarai motorku, aku memacu cepat motorku agar bisa tiba di kedai tempatku dan adikku menikmati makan siang kami. Setelah memarkirkan kendaraanku, aku segera masuk ke kedai tersebut dan rupanya meja yang aku dan adikku tempat beberapa jam yang lalu telah terisi oleh pengunjung lain. Aku pun lantas berjalan menuju kasir untuk menanyakan apakah para pelayan yang bertugas disini menemukan benda yang tertinggal.
"Mbak, saya tadi makan disini sama adik saya di meja itu, yang dekat jendela," ujarku seraya menunjuk ke meja yang kutempati saat makan siang.
"Ya. Ada apa?" tanya kasir yang bertugas.
"Lihat ada yang tertinggal nggak? Kotak cincin, warna ungu," tanyaku.
"Kotak cincin?"
Kasir itu lantas memanggil semua pelayan yang ada dan tak ada satupun dari pelayan yang melihat kotak cincin tersebut. Masih belum yakin, aku mencari sendiri kotak cincin itu di sekitar meja yang kutempati sebelumnya, bahkan bertanya pada pengunjung yang ada apakah mereka melihat kotak cincin milikku. Kenyataannya, tak ada satupun dari mereka yang melihatnya. Aku mulai putus asa. Keluar dengan langkah gontai, aku berjalan menuju motorku dan duduk sejenak sembari memikirkan kemungkinan yang lain.
Mungkinkah Reyhan melihatnya saat aku tak sengaja meninggalkan kotak cincin itu dan membawanya?
Tanganku segera merogoh ponselku di saku celanaku lalu kuhubungi adikku. Reyhan tak dapat dihubungi dan kucoba sekali lagi untuk menghubunginya. Lagi-lagi operator memberitahuku bahwa Reyhan sedang tidak dapat dihubungi. Sial! Dimana anak itu sekarang? Aku mengirimkan pesan singkat untuknya dan pesan itu tak sampai. Gusar, aku pun menelpon rumahku dan ayah yang menjawab panggilan telponku.
"Halo, yah?"
"Halo? Maaf, ini dengan siapa?"
"Yah, ini aku Reza"
"Oh, ada apa?"
"Yah, Reyhan ada di rumah?"
"Reyhan? Lha bukannya tadi pergi sama kamu?"
"Itu.. Pokoknya ada sesuatu jadi Reyhan pulang sendiri. Jadi dia belum sampai?"
"Belum. Ada apa memangnya? Kok adikmu pulang sendiri?"
"Nanti Reza ceritakan di rumah. Sudah dulu ya, yah. Assalamualaikum"
Aku segera mengakhiri percakapan di telpon dan kulihat waktu sekarang menunjukkan pukul lima kurang sepuluh menit. Ya Tuhan, sekarang apa yang harus kulakukan? Kotak cincinku hilang dan Alia pasti mulai jenuh menungguku. Sial! Hari ini memang hari sialku!
----
Rasa gugup menyelimutiku. Perasaan yang kurasakan saat aku makan siang ini kembali menguasaiku. Turun dari motorku, rasanya begitu berat untuk berjalan dan menahan beban tubuhku. Tubuhku terasa sangat berat dan rasanya aku ingin menjatuhkan diriku dan langsung berbaring saja di tanah. Melalui jendela, aku dapat melihat sosok Alia sedang duduk dengan wajah lelah, memutar sendok di gelas minumannya. Ah, Alia pasti marah padaku karena aku terlambat. Kupaksakan diriku untuk masuk ke dalam restoran tersebut lalu berjalan menghampiri Alia. Ia melihatku saat aku telah berjarak sekitar lima meter dari tempat duduknya. Ia tersenyum kecil dan tak menyapaku seperti biasanya.
"Boleh aku duduk?" tanyaku.
"Duduk aja," jawabnya cuek.
Ah, Alia memang marah padaku. Aku melihatnya yang nampak dingin padaku. Ia menarik kedua tangannya dari atas meja, lalu melihat keluar jendela, mengacuhkanku yang sudah pasti nampak menyedihkan di hadapannya.
"Alia, aku minta maaf karena terlambat," ujarku.
"Nggak apa-apa. Aku juga kebetulan belum pesan apapun," jawabnya.
"Belum pesan? Padahal kamu bisa pesan duluan," ujarku.
"Ya. Sengaja nggak pesan duluan. Aku nunggu kamu," jawabnya.
Ya Tuhan. Alia pasti sangat kesal padaku. Ah, aku memang bodoh! Seharusnya aku pergi lebih awal dan lebih hati-hati dengan barang bawaanku. Atau.. Atau seharusnya aku mendengarkan apa yang Reyhan katakan padaku. Reyhan, maafkan aku. Aku terlalu egois.
"Alia, sebenarnya aku ajak kamu kesini karena ada sesuatu yang mau obrolkan," ujarku.
"Oh, kebetulan aku juga punya sesuatu buat aku ceritakan," jawab Alia.
"Tapi.. Hal yang mau aku bicarakan dengan kamu ini serius," balasku.
"Sama. Aku juga mau bicara serius sama kamu"
Aku menelan air liurku. Kuharap Alia tak akan mengatakan sesuatu yang dapat membuatku lebih gila hari ini.
"Mau siapa dulu yang ngomong?" tanya Alia.
"Er.. Kamu dulu," jawabku.
"Aku dulu? Oke"
Alia menghela nafas lalu menatapku dalam.
"Za, aku nggak bisa pacaran lagi sama kamu," ujarnya.
Ucapan Alia seketika melumpuhkanku. Aku tercengang karena tak percaya dengan ucapannya. Keringat dingin seketika mengucur deras, dan bisa kurasakan darahku menjadi panas, mengalir ke kepalaku dan membuat kepalaku panas. Tenggorokanku tercekat. Aku mulai gemetaran. Apa ini sungguhan? Apa Alia benar-benar mengatakan hal itu?
"Kita nggak bisa pacaran lagi? Kamu serius?" tanyaku tak percaya.
"Aku serius. Aku benar-benar serius," jawab Alia tegas.
"T-tapi.. Tapi kenapa?"
Aku bisa merasakan air mataku terasa panas mengalir dan menganak sungai di pipiku. Aku tak percaya hubunganku dengan Alia harus berakhir seperti ini, dan aku tahu ini semua salahku.
"Kenapa kamu nangis?" tanya Alia.
"A-aku.. Aku nggak percaya karena kamu bilang kalau kita nggak bisa pacaran lagi," jawabku.
"Kenapa nggak percaya? Ini kenyataannya, Za," tegas Alia.
Aku menghela nafas dan menyeka air mataku.
"Aku udah terima lamaran seseorang, Za. Sekarang aku sudah bertunangan," ujar Alia.
"Kenapa kamu bisa terima orang itu begitu aja?" tanyaku kesal.
"Kenapa? Apa aku harus kasih tahu alasannya?" Alia balik bertanya.
"Harus! Kamu tiba-tiba bertunangan sama orang lain, dan kamu memutuskan hubungan kita begitu aja. Lantas apa artinya dua tahun terakhir ini? Apa artinya semua itu? Percuma aku nunggu kamu untuk pulang dari London kalau akhirnya ternyata seperti ini!"
Alia meringis pelan.
"Aku juga nggak tahu harus bilang apa. Aku minta maaf, Za," ujar Alia.
"Minta maaf? Kamu bilang minta maaf? Ngomong itu mudah!" bantahku.
"Karena memang itu yang bisa aku bilang sama kamu. Maaf karena kita nggak bisa lagi pacaran," tegas Alia.
"Memangnya siapa tunangan kamu? Siapa?" tanyaku.
Alia menggeleng pelan. Ia lalu menunjukkan tangan kirinya padaku. Ada sebuah cincin yang tersemat di jari manis tangan kirinya. Berlian kecil yang menjadi mahkota cincin itu berkilau saat cahaya matahari sore yang menelusup masuk melalui jendela mengenai permukaannya. Aku mengenali cincin itu, dan saat tangan kanan Alia akhirnya terjulur, menaruh sebuah kotak berwarna ungu di atas meja, aku semakin yakin bahwa aku memang mengenali cincin itu.
Alia mengenakan cincin yang seharusnya kupakaikan padanya!
"Tunangan aku ini orangnya kadang ceroboh. Dia ajak aku ketemu sore ini, setengah lima, di tempat ini karena dia mau lamar aku. Sebelum kesini, dia sempat makan siang sama adiknya, tapi dia tiba-tiba pergi untuk ketemu teman-teman sesama gamernya dan ninggalin cincin yang kupakai ini di tempat makan. Untung adiknya lihat dan karena adiknya udah tahu rencana dia, adiknya datang pakai taksi kesini hanya untuk kasih cincin ini ke aku. Adiknya jelaskan semua rencana kakaknya dan karena aku sudah nggak perlu lagi berfikir dua kali, aku terima lamaran kakaknya melalui adiknya dan langsung kupakai cincin ini supaya orang-orang tahu bahwa aku sudah bertunangan sama kakaknya. Orangtuaku juga sejak setahun yang lalu bahkan bilang bahwa mereka setuju kalau aku menikah sama dia, jadi nanti saat aku pulang orangtuaku pasti terkejut waktu aku tunjukkan cincin ini ke mereka"
Aku kembali tercengang dengan ucapannya. Jadi benar cincin itu tertinggal dan Reyhan yang mengambilnya. Tapi ia tak membawanya pulang; ia datang ke tempat ini dan bertemu dengan Alia, menceritakan semua rencanaku dan Alia langsung menerima lamaranku melalui adikku. Aku tak tahu kemana adikku pergi sekarang. Mungkin saja Reyhan sudah pulang, namun yang jelas aku harus bertemu dengannya dan meminta maaf sekaligus berterima kasih padanya.
"Za, bisa aku bayangkan hidupku sama dia nanti. Semoga dia nggak buat aku kesal karena dia terlalu asyik main game. Atau mungkin aku yang jadi ikut main game sama dia? Bayangkan, punya suami gamer mungkin menyenangkan"
Aku tersenyum bahagia.
"Aku janji aku nggak akan sampai keasyikan main game. Aku janji," ujarku.
Alia tersenyum padaku. Kugenggam kedua tangannya. Kami saling menatap lalu tersenyum, dan akhirnya melepas tawa kecil. Aku mulai menangis lagi, bukan karena sedih atau marah, tapi karena aku sangat bahagia. Sementara itu, Alia tak menangis dan ini membuatku terkejut.
"Kamu kok nggak nangis kayak aku?" tanyaku.
"Aku nangis tadi waktu Reyhan cerita. Aku nangis cukup lama," jawab Alia seraya tertawa kecil.
"Jadi air matanya sudah habis ya?"
"Kayaknya begitu. Mau nangis pun susah, tapi aku bahagia sekali hari ini"
Aku mengusap pelan jemarinya.
"Thanks, Alia," ujarku.
"Sama-sama. Terima kasih juga ya, Reza," jawabnya.
Kami kembali saling menatap, lalu tertawa kecil. Sore itu kami habiskan berbincang-bincang tentang rencana kami ke depannya. Aku memberitahu Alia bahwa aku masih mencari rumah untuk kami tinggali bersama dan Alia memberitahuku bahwa ia akan membantuku mencari informasi mengenai rumah untuk kami. Saat waktu menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit, hidangan makan malam kami telah datang dan kami menikmati makan malam bersama sebagai pasangan tunangan untuk pertama kalinya. Aku sangat menyukai penampilan Alia malam ini. Entah ia memang berencana mengenakannya atau tidak, yang jelas apa yang Alia kenakan saat ini membuatnya nampak begitu anggun. Blus tanpa lengan berwarna putih dengan motir bunga-bunga kecil berwarna merah hijau dan oranye, kalung perak dengan liontin berbentuk angsa, celana jeans hitam, dan sepatu berhak berwarna merah marun sangat cocok ia kenakan.
Selesai makan malam, aku mengantar Alia pulang. Sepanjang perjalanan, ia terus memelukku. Aku masih tak percaya bahwa mulai saat ini aku telah bertunangan dengannya. Sengaja aku tak mengendarai motorku dalam kecepatan tinggi agar aku dapat menikmati waktu bersama Alia lebih lama. Mendekati komplek kost dimana Alia tinggal, aku memperlambat laju motorku. Kuhentikan motorku di depan pagar komplek kost. Alia turun dari motor dan mengembalikan helmku. Aku melepas helmku. Gadis itu mengacak-acak rambutku.
"Hati-hati cincinnya lepas," ujarku.
"Ya. Tenang aja. Aku cuma gemas aja sama kamu," jawab Alia.
"Besok acaranya apa?" tanyaku.
"Minggu? Nggak ada. Sepertinya mau istirahat di kost," jawabnya.
"Kalau mau pergi, kabari aja ya. Nanti aku yang antar," ujarku.
"Beres. Kamu mendingan cepat pulang dan istirahat," balas Alia.
Aku lalu turun dari motorku dan berdiri berhadapan dengannya. Ia menatapku dalam dan tersenyum. Kucondongkan wajahku ke dekat wajahnya dan kemudian bibirku mengecup bibirnya. Kami berciuman selama beberapa detik sampai akhirnya kudengar ponselku berdering. Kami segera menarik wajah kami dan tersenyum malu.
"Kayaknya kamu sudah ditelpon untuk diminta pulang," ujar Alia.
"Kayaknya begitu," jawabku, "Kalau gitu aku pulang sekarang"
"Hati-hati di jalan," ujar Alia.
Segera kukenakan helmku dan kunaiki motorku. Setelah berpamitan, aku kembali memacu kendaraanku di jalan raya. Rasa bahagia dan lega menyelimutiku. Aku tak bisa menggambarkan seperti apa kebahagiaan yang kurasakan saat ini. Tak sabar rasanya untuk segera tiba di rumah, memberitahu pada ayah dan Reyhan bahwa aku telah bertunangan, dan ingin rasanya segera kupeluk dan kuacak-acak rambut adikku, mengucapkan maaf untuk pertengkaran kecil kami tadi siang dan berterima kasih padanya. Kukenang beberapa tahun yang lalu saat Reyhan bersikap dingin padaku dan ayah, dan hari ini ia justru membantuku meraih mimpiku untuk hidup bersama orang yang kusayangi. Aku benar-benar bersyukur bahwa tinggal selangkah lagi untuk hidup bersama Alia, dan juga bersyukur memiliki adik seperti Reyhan.
Rasanya air mata bahagiaku kembali mengalir.
"Aduh, Rey. Mas Eza harus gimana ya? Takut salah bicara nih," tanyaku ragu.
"Ah, mas Eza terlalu tegang. Santai sedikit kenapa?" jawab Reyhan santai.
"Kamu nggak tahu sih gimana rasanya berada di posisi mas Eza," tukasku.
"Bukannya Rey nggak paham, tapi yang Rey lihat sejak tadi pagi mas Eza itu terlalu tegang. Calm down," jelas Reyhan.
Aku meneguk kopi dinginku.
"Mas Eza udah coba untuk tenang, Rey. Tapi kamu lihat sendiri, mas Eza masih gelisah," ujarku, "Mas Eza harus gimana lagi sekarang?"
"Kalau gitu, berarti persiapan mas Eza berarti belum matang," balas Reyhan.
Tersinggung, aku mengernyitkan dahiku.
"Apa maksud kamu? Kamu nggak lihat usaha mas Eza selama ini seperti apa?"
Kesal, aku mengeluarkan kotak cincin dari dalam saku jaketku dan menaruhnya di atas meja. Telunjukku mengetuk tutup kotak cincin tersebut dua kali.
"Lihat! Mas Eza udah beli cincin ini sejak dua bulan yang lalu. Mas Eza sudah dapat pekerjaan tetap. Mas Eza juga sekarang tinggal cari rumah. Dan mas Eza juga udah berpakaian seperti yang kamu sarankan. Apa yang kurang? Coba kamu jelasin sama mas Eza, apa persiapan yang kurang?" tanyaku kesal.
"Secara fisik sih mungkin mas Eza udah siap. Penampilan mas Eza sudah rapi. Baju yang mas Eza pakai juga bagus. Tapi mas Eza belum siap secara mental kalau kayak gini," jelas Reyhan.
"Kamu harusnya paham dong posisi mas Eza sekarang seperti apa. Coba kamu bayangkan sendiri dua setengah jam lagi mas Eza mau bicara serius sama Alia dan ini menyangkut masa depan hubungan kita berdua. Coba kamu sebelum bicara itu dipikir dulu!" tegurku.
Reyhan meringis pelan.
"Terus mau sampai mas Eza nervous begini? Kalau mas Eza terus gamang kayak sekarang, memang nggak bakal memalukan nanti?"
"Kalau gitu kamu jelasin gimana caranya supaya mas Eza bisa nggak nervous!"
"Jangan terlalu dipikirkan. Mas Eza bisa mulai dengan fokus ke makanan dan minuman mas Eza"
"Ah, kamu pikir gampang apa menghilangkan rasa gugup?"
"Kalau dari awal pikirannya sudah negatif, ya apapun masukan dari orang akan dianggap negatif"
Aku menghela nafas sejenak. Ponselku tiba-tiba berdering, Aku segera mengambil ponselku di atas meja lalu menjawab panggilan telpon yang masuk.
"Halo?"
"Halo, Za? Lagi dimana?"
Aku mengernyitkan dahiku. Adit, rekan kerja dan sahabat sejak aku SMA, menghubungiku. Ada apa Adit menelponku di Sabtu siang seperti ini? Biasanya ia sangat sibuk di hari Sabtu, entah menghabiskan waktunya bermain game di rumahnya, atau pergi dengan kekasihnya, atau berenang sampai sore, atau bahkan berlibur ke luar kota dan pulang pada Minggu malam.
"Lagi makan siang sama adik. Ada apa, Dit?" tanyaku.
"Temenin gue ke pameran dong," ajak Adit.
"Pameran? Pameran apa?" tanyaku.
"Komputer. Di Landmark," jawab Adit.
"Wah? Dekat dong. Gue di Wiki," balasku.
Aku mengambil gelas kopi dinginku dan meneguk isinya.
"Gue baca di grup katanya hari ini anak-anak regional mau pada kesana. Mungkin pulang dari pameran mau makan bareng," ujar Adit.
"Regional?" tanyaku bingung.
"Dota 2. Anak-anak Bandung semua kok. Ayo ikut," jelas Adit.
"Wah? Serius?" tanyaku kaget.
"Kapan sih gue bohong sama lu, Za? Gue udah mau nyampe nih. Lewat rel kereta terus tinggal belok kanan buat parkir mobil. Lu datang, 'kan? Temenin lah. Gak ada teman nih," bujuk Adit.
"Oke. Gue kesana sekarang. Eh, tapi gue nggak bisa lama ya. Jam empat gue langsung pergi lagi," jawabku.
"Kemana?"
"Ah, mau tahu aja"
Setelah sepakat untuk bertemu, aku dan Adit mengakhiri obrolan kami di telpon. Tiba-tiba saja rasa gugup yang melandaku hilang. Aku tiba-tiba bersemangat. Berkumpul bersama teman-teman gamers pasti akan menyenangkan.
"Mas Eza harus pergi sekarang," ujarku.
Reyhan menatapku kaget. Ia mengernyitkan dahinya.
"Sekarang? Mau kemana?" tanyanya.
"Ke Landmark. Ketemu anak-anak Dota," jawabku.
"Landmark? Katanya mau ketemu sama miss Alia di Saka? Kok malah ke Landmark?" tanya Reyhan bingung.
"Sebentar kok. Nggak akan lama. Hitung-hitung sambil nunggu waktu," jawabku.
"Lha terus aku gimana?"
"Kamu ikut sama mas Eza aja. Kita ketemu teman-teman mas Eza"
"Nggak mau. Nggak kenal ah"
"Lha memang kamu mau sendiri disini?"
"Nggak mau. Reyhan mendingan pulang"
"Mas Eza nggak bisa antar kamu pulang. Adit udah nunggu di Landmark"
"Pokoknya Reyhan nggak mau ikut dan nggak mau diam sendirian"
"Kamu 'kan bisa pulang sendiri pakai kendaraan umum"
Adikku mendengus kesal.
"Mas Eza nggak konsisten. Ganti rencana tiba-tiba dan seenaknya," ujar Reyhan dingin.
"Bukannya mas Eza nggak konsisten. Lagipula ini 'kan ketemu teman-teman grup," bantahku.
"Teman-teman grup lebih penting ya daripada adik dan pacar?" balas Reyhan.
Aku meringis pelan. Segera kuambil tasku dan aku beranjak dari tempat dudukku.
"Maaf deh kalau gitu. Mas Eza benar-benar harus pergi sekarang. Untuk makanan biar mas Eza yang bayar," ujarku.
Aku menaruh selembar uang senilai seratus ribu dan selembar uang senilai lima puluh ribu di atas meja.
"Itu seratus ribu buat bayar makanan. Lima puluh ribu barangkali kamu pulang pakai taksi"
Aku segera pergi setelah memberi adikku uang. Setengah berlari menyusuri trotoar, aku harus segera tiba di Landmark karena Adit telah menungguku. Ponsel di saku jaketku bergetar dan aku melambatkan langkahku untuk memeriksa ponselku. Ada satu pesan singkat yang kuterima dan saat kubaca, aku terkejut. Adikku yang mengirimiku pesan singkat itu.
"Kalau Rey tahu bakal begini rencana mas Eza, Rey dari awal nggak akan ikut. Lebih baik Rey makan siang di rumah sama ayah"
Aku meringis kesal. Dengan cepat jemariku bergerak lincah di atas layar sentuh.
"Kalau kamu masih mempermasalahkan hal ini, nanti di rumah kita selesaikan. Mas Eza nggak mau kita bertengkar di telpon atau SMS. Kamu udah dewasa. Kamu harus coba pahami posisi orang lain"
Pesan singkat itu segera kukirimkan. Tak mau banyak memikirkan tentang adikku, aku pun segera berlari menyebrangi jalan menuju gedung Landmark, dimana Adit telah berdiri menungguku di depan pintu masuk gedung tersebut.
----
Selepas berkeliling pameran, aku, Adit, dan teman-teman grup yang kuikuti memutuskan untuk mengobrol sembari menikmati cemilan di taman balai kota yang letaknya tak jauh dari gedung Landmark. Sabtu sore yang cerah menghadirkan suasana hangat dan bersahabat. Di bawah naungan sebuah pohon, aku dan teman-temanku duduk sembari berbagi cerita. Tak hanya tentang game yang kami mainkan, tetapi juga tentang kehidupan kami.
"Buat lu," ujar Moses seraya memberiku segelas kopi susu.
"Thanks," jawabku.
Moses lalu duduk dan bergabung bersama kami. Kami saat ini sedang berbicara tentang pekerjaan dan sekolah. Aku tak hanya berteman dengan yang seusia denganku. Ada juga beberapa temanku yang masih bersekolah di tingkat SMA. Perbedaan tingkat pendidikan inilah yang membuat obrolan menjadi menarik karena aku seolah dibawa bernostalgia saat teman-temanku yang masih SMA bercerita tentang kehidupan sekolahnya.
"Koh Reza lulusan mana?" tanya Azka, anggota grup yang masih bersekolah di SMA.
"Maranatha. Gue ambil DKV," jawabku.
"Berarti lu sekampus sama Adit?" tanya Moses.
"Nggak. Kalau gue dari ITB," jawab Adit.
"Kita bersahabat sejak SMA. Dari kelas satu sampai kelas tiga kita selalu sekelas," ujarku.
"Sampai bosan gue liat muka dia di kantor," sambung Adit.
Aku dan teman-temanku tertawa.
"Lu sendiri pas kuliah ambil jurusan apa, Ses?" tanya Adit.
"Gue ambil teknik arsitektur," jawab Moses.
"Dimana? Parahyangan?" tanyaku.
"Bukan. UPI," jawab Moses.
"Kenal Nana?" tanyaku.
"Kenal. Dia teman lu juga?" jawab Moses.
"Teman zaman SMA. Nggak begitu dekat sih," jawabku.
Ponselku bergetar. Aku segera merogoh ponselku dan terkejut saat kulihat waktu telah menunjukkan pukul empat lebih lima belas menit. Ada pesan singkat yang kuterima dan rupanya pesan itu dikirim oleh Alia.
"Aku sudah sampai dari lima belas menit yang lalu. Kamu udah dimana?"
Aku segera membalas pesan singkat itu.
"Tunggu ya. Aku berangkat kesana sekarang. Sekitar lima belas menit lagi aku sampai"
Aku segera memasukkan ponselku lalu mengenakan jaketku. Setelah berpamitan pada teman-temanku bahwa aku harus segera pergi, aku setengah berlari menuju area parkir motor. Segera kukenakan helmku dan kutarik zipper jaketku. Tanganku tak sengaja menyentuh saku kanan jaketku dan aku tak merasakan benda itu berada di dalam saku jaketku. Panik, aku menyeluk saku jaketku dan benda itu memang tak ada di dalam saku jaketku. Aku turun dari motorku dan segera memeriksa saku jaketku yang lain dan saku celanaku. Aku bahkan sampai membongkar seluruh isi tasku namun hasilnya nihil. Kotak cincin itu tak ada. Aku kehilangan kotak cincin itu.
"Tadi kutaruh dimana kotaknya?"
Aku segera berlari kembali ke tempat teman-temanku berkumpul dan mereka terkejut oleh kehadiranku yang tiba-tiba.
"Ada apa, Za?" tanya Adit.
"Maaf. Kalian lihat ada kotak nggak? Kecil kotaknya," tanyaku.
"Kotak? Kotak apa?" tanya Moses.
Aku meringis dan tersenyum malu.
"Kotak cincin," jawabku.
Teman-temanku terkejut, tak terkecuali Adit.
"Cincin? Lu bawa cincin?" tanya Adit.
Aku menghela nafas sejenak.
"Sorry, gue baru cerita sekarang. Sebenarnya gue janjian sama pacar gue untuk ketemu jam setengah lima sore. Gue ketemu dia untuk--"
"Lamar?" potong Adit.
"Er.. Ya. Seperti yang lu semua bisa tebak," jawabku malu.
Terdengar riuh teman-temanku menggodaku dan memberiku selamat. Mereka tiba-tiba berdiri dan satu persatu menyalamiku. Aku menyambut jabat tangan mereka sembari tersenyum malu dan gugup. Astaga. Sekarang apa yang harus kulakukan? Aku kehilangan cincinku dan aku harus bertemu dengan Alia lima belas menit lagi.
"Eh, sebentar! Kita bantu cari kotak cincinnya," ujar Moses, "Za, coba kira-kira dimana tempat yang potensial buat lu hilangkan atau jatuhkan kotak cincinnya?"
"Gue udah cari di sekitar area parkir tapi nggak ada, makanya gue kesini," jawabku.
"Oke. Kita cari di sekitar sini. Apa warna kotaknya?" tanya Moses.
"Ungu. Amethyst"
Selama sekitar sepuluh menit teman-temanku membantuku mencari kotak cincinku, namun tak ada satupun yang melihatnya. Aku semakin takut. Mungkin saja kotak itu jatuh saat aku sedang mengendarai motorku. Atau..
"Za, kalau nggak salah lu tadi makan siang sama si Reyhan, 'kan?" tanya Adit.
"Eh, iya. Jangan-jangan.."
"Kotaknya ketinggalan mungkin di tempat makan?"
Tanpa pikir panjang aku pun segera pamit pada teman-temanku lalu berlari menuju area parkir. Mengendarai motorku, aku memacu cepat motorku agar bisa tiba di kedai tempatku dan adikku menikmati makan siang kami. Setelah memarkirkan kendaraanku, aku segera masuk ke kedai tersebut dan rupanya meja yang aku dan adikku tempat beberapa jam yang lalu telah terisi oleh pengunjung lain. Aku pun lantas berjalan menuju kasir untuk menanyakan apakah para pelayan yang bertugas disini menemukan benda yang tertinggal.
"Mbak, saya tadi makan disini sama adik saya di meja itu, yang dekat jendela," ujarku seraya menunjuk ke meja yang kutempati saat makan siang.
"Ya. Ada apa?" tanya kasir yang bertugas.
"Lihat ada yang tertinggal nggak? Kotak cincin, warna ungu," tanyaku.
"Kotak cincin?"
Kasir itu lantas memanggil semua pelayan yang ada dan tak ada satupun dari pelayan yang melihat kotak cincin tersebut. Masih belum yakin, aku mencari sendiri kotak cincin itu di sekitar meja yang kutempati sebelumnya, bahkan bertanya pada pengunjung yang ada apakah mereka melihat kotak cincin milikku. Kenyataannya, tak ada satupun dari mereka yang melihatnya. Aku mulai putus asa. Keluar dengan langkah gontai, aku berjalan menuju motorku dan duduk sejenak sembari memikirkan kemungkinan yang lain.
Mungkinkah Reyhan melihatnya saat aku tak sengaja meninggalkan kotak cincin itu dan membawanya?
Tanganku segera merogoh ponselku di saku celanaku lalu kuhubungi adikku. Reyhan tak dapat dihubungi dan kucoba sekali lagi untuk menghubunginya. Lagi-lagi operator memberitahuku bahwa Reyhan sedang tidak dapat dihubungi. Sial! Dimana anak itu sekarang? Aku mengirimkan pesan singkat untuknya dan pesan itu tak sampai. Gusar, aku pun menelpon rumahku dan ayah yang menjawab panggilan telponku.
"Halo, yah?"
"Halo? Maaf, ini dengan siapa?"
"Yah, ini aku Reza"
"Oh, ada apa?"
"Yah, Reyhan ada di rumah?"
"Reyhan? Lha bukannya tadi pergi sama kamu?"
"Itu.. Pokoknya ada sesuatu jadi Reyhan pulang sendiri. Jadi dia belum sampai?"
"Belum. Ada apa memangnya? Kok adikmu pulang sendiri?"
"Nanti Reza ceritakan di rumah. Sudah dulu ya, yah. Assalamualaikum"
Aku segera mengakhiri percakapan di telpon dan kulihat waktu sekarang menunjukkan pukul lima kurang sepuluh menit. Ya Tuhan, sekarang apa yang harus kulakukan? Kotak cincinku hilang dan Alia pasti mulai jenuh menungguku. Sial! Hari ini memang hari sialku!
----
Rasa gugup menyelimutiku. Perasaan yang kurasakan saat aku makan siang ini kembali menguasaiku. Turun dari motorku, rasanya begitu berat untuk berjalan dan menahan beban tubuhku. Tubuhku terasa sangat berat dan rasanya aku ingin menjatuhkan diriku dan langsung berbaring saja di tanah. Melalui jendela, aku dapat melihat sosok Alia sedang duduk dengan wajah lelah, memutar sendok di gelas minumannya. Ah, Alia pasti marah padaku karena aku terlambat. Kupaksakan diriku untuk masuk ke dalam restoran tersebut lalu berjalan menghampiri Alia. Ia melihatku saat aku telah berjarak sekitar lima meter dari tempat duduknya. Ia tersenyum kecil dan tak menyapaku seperti biasanya.
"Boleh aku duduk?" tanyaku.
"Duduk aja," jawabnya cuek.
Ah, Alia memang marah padaku. Aku melihatnya yang nampak dingin padaku. Ia menarik kedua tangannya dari atas meja, lalu melihat keluar jendela, mengacuhkanku yang sudah pasti nampak menyedihkan di hadapannya.
"Alia, aku minta maaf karena terlambat," ujarku.
"Nggak apa-apa. Aku juga kebetulan belum pesan apapun," jawabnya.
"Belum pesan? Padahal kamu bisa pesan duluan," ujarku.
"Ya. Sengaja nggak pesan duluan. Aku nunggu kamu," jawabnya.
Ya Tuhan. Alia pasti sangat kesal padaku. Ah, aku memang bodoh! Seharusnya aku pergi lebih awal dan lebih hati-hati dengan barang bawaanku. Atau.. Atau seharusnya aku mendengarkan apa yang Reyhan katakan padaku. Reyhan, maafkan aku. Aku terlalu egois.
"Alia, sebenarnya aku ajak kamu kesini karena ada sesuatu yang mau obrolkan," ujarku.
"Oh, kebetulan aku juga punya sesuatu buat aku ceritakan," jawab Alia.
"Tapi.. Hal yang mau aku bicarakan dengan kamu ini serius," balasku.
"Sama. Aku juga mau bicara serius sama kamu"
Aku menelan air liurku. Kuharap Alia tak akan mengatakan sesuatu yang dapat membuatku lebih gila hari ini.
"Mau siapa dulu yang ngomong?" tanya Alia.
"Er.. Kamu dulu," jawabku.
"Aku dulu? Oke"
Alia menghela nafas lalu menatapku dalam.
"Za, aku nggak bisa pacaran lagi sama kamu," ujarnya.
Ucapan Alia seketika melumpuhkanku. Aku tercengang karena tak percaya dengan ucapannya. Keringat dingin seketika mengucur deras, dan bisa kurasakan darahku menjadi panas, mengalir ke kepalaku dan membuat kepalaku panas. Tenggorokanku tercekat. Aku mulai gemetaran. Apa ini sungguhan? Apa Alia benar-benar mengatakan hal itu?
"Kita nggak bisa pacaran lagi? Kamu serius?" tanyaku tak percaya.
"Aku serius. Aku benar-benar serius," jawab Alia tegas.
"T-tapi.. Tapi kenapa?"
Aku bisa merasakan air mataku terasa panas mengalir dan menganak sungai di pipiku. Aku tak percaya hubunganku dengan Alia harus berakhir seperti ini, dan aku tahu ini semua salahku.
"Kenapa kamu nangis?" tanya Alia.
"A-aku.. Aku nggak percaya karena kamu bilang kalau kita nggak bisa pacaran lagi," jawabku.
"Kenapa nggak percaya? Ini kenyataannya, Za," tegas Alia.
Aku menghela nafas dan menyeka air mataku.
"Aku udah terima lamaran seseorang, Za. Sekarang aku sudah bertunangan," ujar Alia.
"Kenapa kamu bisa terima orang itu begitu aja?" tanyaku kesal.
"Kenapa? Apa aku harus kasih tahu alasannya?" Alia balik bertanya.
"Harus! Kamu tiba-tiba bertunangan sama orang lain, dan kamu memutuskan hubungan kita begitu aja. Lantas apa artinya dua tahun terakhir ini? Apa artinya semua itu? Percuma aku nunggu kamu untuk pulang dari London kalau akhirnya ternyata seperti ini!"
Alia meringis pelan.
"Aku juga nggak tahu harus bilang apa. Aku minta maaf, Za," ujar Alia.
"Minta maaf? Kamu bilang minta maaf? Ngomong itu mudah!" bantahku.
"Karena memang itu yang bisa aku bilang sama kamu. Maaf karena kita nggak bisa lagi pacaran," tegas Alia.
"Memangnya siapa tunangan kamu? Siapa?" tanyaku.
Alia menggeleng pelan. Ia lalu menunjukkan tangan kirinya padaku. Ada sebuah cincin yang tersemat di jari manis tangan kirinya. Berlian kecil yang menjadi mahkota cincin itu berkilau saat cahaya matahari sore yang menelusup masuk melalui jendela mengenai permukaannya. Aku mengenali cincin itu, dan saat tangan kanan Alia akhirnya terjulur, menaruh sebuah kotak berwarna ungu di atas meja, aku semakin yakin bahwa aku memang mengenali cincin itu.
Alia mengenakan cincin yang seharusnya kupakaikan padanya!
"Tunangan aku ini orangnya kadang ceroboh. Dia ajak aku ketemu sore ini, setengah lima, di tempat ini karena dia mau lamar aku. Sebelum kesini, dia sempat makan siang sama adiknya, tapi dia tiba-tiba pergi untuk ketemu teman-teman sesama gamernya dan ninggalin cincin yang kupakai ini di tempat makan. Untung adiknya lihat dan karena adiknya udah tahu rencana dia, adiknya datang pakai taksi kesini hanya untuk kasih cincin ini ke aku. Adiknya jelaskan semua rencana kakaknya dan karena aku sudah nggak perlu lagi berfikir dua kali, aku terima lamaran kakaknya melalui adiknya dan langsung kupakai cincin ini supaya orang-orang tahu bahwa aku sudah bertunangan sama kakaknya. Orangtuaku juga sejak setahun yang lalu bahkan bilang bahwa mereka setuju kalau aku menikah sama dia, jadi nanti saat aku pulang orangtuaku pasti terkejut waktu aku tunjukkan cincin ini ke mereka"
Aku kembali tercengang dengan ucapannya. Jadi benar cincin itu tertinggal dan Reyhan yang mengambilnya. Tapi ia tak membawanya pulang; ia datang ke tempat ini dan bertemu dengan Alia, menceritakan semua rencanaku dan Alia langsung menerima lamaranku melalui adikku. Aku tak tahu kemana adikku pergi sekarang. Mungkin saja Reyhan sudah pulang, namun yang jelas aku harus bertemu dengannya dan meminta maaf sekaligus berterima kasih padanya.
"Za, bisa aku bayangkan hidupku sama dia nanti. Semoga dia nggak buat aku kesal karena dia terlalu asyik main game. Atau mungkin aku yang jadi ikut main game sama dia? Bayangkan, punya suami gamer mungkin menyenangkan"
Aku tersenyum bahagia.
"Aku janji aku nggak akan sampai keasyikan main game. Aku janji," ujarku.
Alia tersenyum padaku. Kugenggam kedua tangannya. Kami saling menatap lalu tersenyum, dan akhirnya melepas tawa kecil. Aku mulai menangis lagi, bukan karena sedih atau marah, tapi karena aku sangat bahagia. Sementara itu, Alia tak menangis dan ini membuatku terkejut.
"Kamu kok nggak nangis kayak aku?" tanyaku.
"Aku nangis tadi waktu Reyhan cerita. Aku nangis cukup lama," jawab Alia seraya tertawa kecil.
"Jadi air matanya sudah habis ya?"
"Kayaknya begitu. Mau nangis pun susah, tapi aku bahagia sekali hari ini"
Aku mengusap pelan jemarinya.
"Thanks, Alia," ujarku.
"Sama-sama. Terima kasih juga ya, Reza," jawabnya.
Kami kembali saling menatap, lalu tertawa kecil. Sore itu kami habiskan berbincang-bincang tentang rencana kami ke depannya. Aku memberitahu Alia bahwa aku masih mencari rumah untuk kami tinggali bersama dan Alia memberitahuku bahwa ia akan membantuku mencari informasi mengenai rumah untuk kami. Saat waktu menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit, hidangan makan malam kami telah datang dan kami menikmati makan malam bersama sebagai pasangan tunangan untuk pertama kalinya. Aku sangat menyukai penampilan Alia malam ini. Entah ia memang berencana mengenakannya atau tidak, yang jelas apa yang Alia kenakan saat ini membuatnya nampak begitu anggun. Blus tanpa lengan berwarna putih dengan motir bunga-bunga kecil berwarna merah hijau dan oranye, kalung perak dengan liontin berbentuk angsa, celana jeans hitam, dan sepatu berhak berwarna merah marun sangat cocok ia kenakan.
Selesai makan malam, aku mengantar Alia pulang. Sepanjang perjalanan, ia terus memelukku. Aku masih tak percaya bahwa mulai saat ini aku telah bertunangan dengannya. Sengaja aku tak mengendarai motorku dalam kecepatan tinggi agar aku dapat menikmati waktu bersama Alia lebih lama. Mendekati komplek kost dimana Alia tinggal, aku memperlambat laju motorku. Kuhentikan motorku di depan pagar komplek kost. Alia turun dari motor dan mengembalikan helmku. Aku melepas helmku. Gadis itu mengacak-acak rambutku.
"Hati-hati cincinnya lepas," ujarku.
"Ya. Tenang aja. Aku cuma gemas aja sama kamu," jawab Alia.
"Besok acaranya apa?" tanyaku.
"Minggu? Nggak ada. Sepertinya mau istirahat di kost," jawabnya.
"Kalau mau pergi, kabari aja ya. Nanti aku yang antar," ujarku.
"Beres. Kamu mendingan cepat pulang dan istirahat," balas Alia.
Aku lalu turun dari motorku dan berdiri berhadapan dengannya. Ia menatapku dalam dan tersenyum. Kucondongkan wajahku ke dekat wajahnya dan kemudian bibirku mengecup bibirnya. Kami berciuman selama beberapa detik sampai akhirnya kudengar ponselku berdering. Kami segera menarik wajah kami dan tersenyum malu.
"Kayaknya kamu sudah ditelpon untuk diminta pulang," ujar Alia.
"Kayaknya begitu," jawabku, "Kalau gitu aku pulang sekarang"
"Hati-hati di jalan," ujar Alia.
Segera kukenakan helmku dan kunaiki motorku. Setelah berpamitan, aku kembali memacu kendaraanku di jalan raya. Rasa bahagia dan lega menyelimutiku. Aku tak bisa menggambarkan seperti apa kebahagiaan yang kurasakan saat ini. Tak sabar rasanya untuk segera tiba di rumah, memberitahu pada ayah dan Reyhan bahwa aku telah bertunangan, dan ingin rasanya segera kupeluk dan kuacak-acak rambut adikku, mengucapkan maaf untuk pertengkaran kecil kami tadi siang dan berterima kasih padanya. Kukenang beberapa tahun yang lalu saat Reyhan bersikap dingin padaku dan ayah, dan hari ini ia justru membantuku meraih mimpiku untuk hidup bersama orang yang kusayangi. Aku benar-benar bersyukur bahwa tinggal selangkah lagi untuk hidup bersama Alia, dan juga bersyukur memiliki adik seperti Reyhan.
Rasanya air mata bahagiaku kembali mengalir.
0 comments:
Post a Comment