Jalanan terasa lengang di Minggu sore ini. Tak banyak kendaraan yang melaju di jalan yang kulewati ini. Aku menikmati cuaca yang cerah dan pemandangan yang sudah empat tahun tak banyak berubah. Supir taksi yang bertugas mengantarku menggeser tuas lampu sein yang ada di sisi kanan mobil taksi ini ke atas, sembari ia memutar kemudinya ke kiri. Berbelok ke sebuah jalan yang terletak di sisi kiri sebuah rumah sakit tua, supir taksi itu melambatkan laju mobilnya. Tak jauh dari persimpangan, kuminta ia menghentikan taksi tepat di sebuah pos kecil dengan pintu berwarna biru. Sebelum keluar dari taksi, aku mengenakkan jaketku, memasukkan majalah yang kubeli di gerai minimarket tadi pagi dan pasporku ke dalam tasku, dan merogoh dompetku, memberikan selembar uang senilai lima puluh ribu rupiah kepada supir taksi itu.
Tercium bau asap kendaraan bermotor saat aku keluar dari taksi. Angin sore terasa hangat menyambutku. Empat tahun tak lantas mengubah tempat ini. Pintu pos itu tetap berwarna biru. Pun kusen jendela dan ambang pintunya, serta beberapa stiker yang ditempel di tembok sisi kanan dan kaca jendelanya. Ada empat buah pot tanaman berwarna hitam ditata berjajar di depan pos tersebut, dengan tanaman yang nampaknya belum lama disiram. Kupegang daun philodendron yang masih basah itu--daun yang terasa sejuk saat kupegang. Tanaman ini bertambah tinggi, ya, setidaknya sepuluh sentimeter sejak terakhir kali kulihat.
Dan memang aku yang menanamnya saat tanaman ini masih kecil.. empat tahun yang lalu.
Aku melewati gapura setinggi sekitar dua setengah meter itu lalu duduk di sebuah bangku tembok yang berada di samping gapura tersebut. Kutatap jalan kecil yang lurus di hadapanku, nampak seperti tak berujung. Di sisi kirinya adalah rumah-rumah dua lantai yang saling bersebelahan, mengingatkanku dengan deretan rumah teras yang cantik di Sherbrooke Street yang kulalui setiap aku berangkat menuju kantorku. Di sisi kanan jalan adalah tembok setinggi dua lantai, dengan beberapa pot tanaman gantung yang dibuat dari botol-botol plastik bekas menghiasi kelabunya tembok tersebut. Aku tertegun sejenak menatap pemandangan itu. Baru saja hendak kupejamkan mataku saat kurasakan bahu kiriku ditepuk oleh seseorang.
"Kenapa diem aja?"
Aku menoleh ke belakangku. Milli tersenyum padaku, memamerkan kedua telapak tangannya yang kotor oleh tanah dan sekam padi. Ia mendekatkan kedua telapak tangannya padaku, mencoba menggodaku. Aku mengerang dan menghindar darinya, menyuruhnya untuk berhenti melakukan itu.
"Kotor ah, Mil!" seruku.
"Ih, rame loh! Dira kenapa diam aja? Ayo ikut pindahin tanaman ke pot," ajak Milli antusias.
"Aku lagi agak nggak enak badan soalnya," jawabku.
"Ih aku sendirian soalnya," ujar Milli, "Nggak rame atuh"
"Lha itu banyak yang lain pada bantuin," sanggahku saat kulihat teman-teman sekelompokku pun ikut memindahkan tanaman ke dalam pot-pot tanaman.
"Ah, pokoknya kamu harus ikutan!" paksa Milli seraya menarik lenganku, meskipun aku meronta karena lenganku yang kotor oleh tanah dan sekam padi.
Aku akhirnya ikut memindahkan tanaman ke dalam pot bersama Milli dan teman-teman sekelompokku yang lain. Mereka semua nampak antusias dan senang--kecuali aku yang kesenangannya agak pudar karena kondisi tubuhku yang kurang baik.
"Dira, di tempat yang teduh aja," ujar Aria, ketua kelompokku.
"Ya. Kalem aja, Ri," jawabku sambil mulai ikut memindahkan tanaman hias ke pot-pot.
"Udah minum obat nggak kamu?" tanya Nathan.
"Udah. Tadi aku beli aspirin ke warung," jawabku.
Milli berjongkok di sampingku, ikut membantuku memindahkan tanaman-tanaman ke pot-pot. Terdengar obrolan ramai dari teman-teman wanitaku, diiringi gelak tawa yang benar-benar mewarnai hari ini. Langit cerah di atasku tak berawan, menyuguhkanku pulas biru muda tak berbatas di segala penjuru mata angin.
"Dira ih! Itu jangan lupa pupuknya!" seru Milli seraya memasukkan satu sekop pupuk kandang ke dalam potku.
"Ah, Milli! Kena tangan nih!" bentakku saat pupuk kandang itu mengenai tanganku.
"Ah, Dira mah harusnya pakai sarung tangan dulu!" jawab Milli, "Lagian enak kok. Itu anget-anget gimana gitu pupuknya"
Ucapan Milli memicu tawa teman-teman sekelompokku, yang pada akhirnya membuatku tersenyum geli.
"Sok kamu coba ambil segenggam terus diremas-remas," ujarku pada Milli.
"Udah kok tadi. Anget gitu," jawab Milli.
"Jorok bener kamu!" balasku.
"Biarin," jawab Milli santai.
Pot-pot berisi tanaman tersebut kemudian dipindahkan ke sisi kanan jalan kecil tersebut, dengan jarak sekitar dua meter antar setiap pot. Milli mencoba mengangkat salah satu pot namun nampaknya pot tersebut terlalu berat untuk ia angkat sendiri. Aku segera menghampirinya dan membantunya mengangkat pot tersebut.
"Bareng ya. Satu, dua, tiga!"
Kami membawa pot tersebut ke tempat yang ada sambil tertawa karena kami merasa keberatan dengan berat pot tanaman yang tak dapat dikatakan ringan. Saat tiba di tempat, kami menurunkan pelan-pelan pot tersebut ke tanah.
"Pelan-pelan turuninnya. Satu, dua, tiga"
Kami saling berhadapan dan saat kami menurunkan pot tersebut, kami membungkuk dan tak sengaja kami saling menatap--dalam jarak yang cukup dekat. Membungkuknya kami membuat wajah kami berada begitu dekat satu sama lain. Aku belum pernah menatapnya sedekat ini dan kurasa ia pun belum pernah menatapku sedekat ini. Kami tertegun sejenak dan akhirnya kami terkejut. Refleks tangan kami melepaskan pegangan kami dari pot dan pot tanaman itu terjatuh. Kami pun kembali terkejut oleh jatuhnya pot tanaman tersebut yang diiringi oleh seruan teman-teman kami yang lain. Mereka mengerumuni kami, ikut memeriksa keadaan pot tersebut.
"Yah, retak nih!" seru Dewi.
"Maaf. Nggak sengaja," ujar Milli.
"Aku kaget, soalnya tadi muka dia dekat banget ke mukaku," sambungku.
"Makanya jangan saling menatap gitu kalau lagi nurunin pot," ujar Gunadi.
"Untung nggak kelepasan cium ya, Dir," canda Hasna.
"Kalau sampai cium, yang turun bukan pot tapi celana," sambung Nathan.
Pot itu retak dan kami meminta maaf atas kecerobohan kami. Pada akhirnya aku dan Milli ditertawakan karena kejujuran kami yang terkejut saat kami saling menatap dalam jarak yang sangat dekat. Candaan Hasna dan Nathan pun semakin memicu gelak tawa yang nampaknya sulit dihentikan. Retak yang ada di pot itu nampak cukup besar, sehingga Aria harus menutup retak itu dengan tape hitam tebal.
Aku berjongkok di depan pot tersebut dan kulihat tape hitam tebal itu terkelupas. Aku menempelkan kembali tape hitam tebal itu yang sudah mulai kehilangan kekuatan rekatannya. Tape itu kembali terkelupas dan aku mencoba merekatkannya kembali, menekannya cukup kuat agar tak kembali terkelupas. Kutatap dinding di hadapanku; ada sebuah mural berukuran cukup besar. Mural yang menggambarkan sebuah rumah dengan anak laki-laki dan perempuan yang nampak bahagia tersebut bermandikan warna-warni yang terang.
"Dir, giliran aku ah yang gambar pohonnya!" ujar Milli seraya menyenggol lengan kiriku.
"Ai kamu ini aku lagi pegang kaleng cat! Kalau tumpah gimana!" tegurku.
"Oh ya atuh. Maaf," ujar Milli seraya tertawa kecil.
Milli melukis di sampingku. Kami berdua meminta area yang cukup luas di dinding untuk kami buat mural bersama. Kami memiliki konsep yang sama sehingga akhirnya kami putuskan untuk membuat mural bersama. Aku baru selesai melukis bukit-bukit dengan rumput-rumput di dinding bagian bawah. Milli mulai melukis sebuah pohon yang cukup besar di sisi kiri, membatasi area milik kami dengan area mural milik teman-temanku yang lain.
"Eh, kita tetanggaan!" seru Nathan kepadaku dan Milli.
"Eh, asyik dong jadi tetangga Nathan," jawabku.
"Ya. Jadi bisa ngintipin Dira terus," balas Nathan.
"Ah, Nathan bisa aja," jawabku seraya tersenyum jahil pada Nathan.
"Koh Nathan mau bikin apa?" tanya Milli.
"Ah, Nathan mau bikin jerapah aja kayaknya," jawab Nathan.
"Nggak gambar sapi?" tanya Milli.
"Takut berantem sama jerapahnya," jawab Nathan polos.
Nathan mulai melukis, seperti halnya teman-temanku yang lain. Gunadi menghampiri kami dan memperhatikan mural kami.
"Gambar hutan ya?" tanya Gunadi.
"Bukan. Kita mau gambar bukit. Di atasnya ada rumahnya," jelasku.
"Oh, bukit Teletubbies ya?" tanya Gunadi seraya tertawa kecil.
"Ya. Nanti kamu jadi si Tinky Winky ya," jawab Milli jahil.
Kami tertawa dan Nathan yang mendengar candaan itu ikut tertawa. Gunadi melanjutkan observasinya ke area mural yang lain. Aku mulai melukis sebuah rumah di atas bukit saat Milli selesai melukis pohonnya. Ia kemudian mengambil sebuah bangku kayu kecil dan naik ke atasnya. Sapuan kuasnya memberikan warna biru muda di dinding bagian atas.
"Cerah aja ya langitnya. Nanti kita bikin matahari," ujar Milli.
"Boleh. Pohonnya cuma satu?" tanyaku.
"Nanti aku bikin lagi di sisi kanan," jawab Milli, "Eh, itu nggak ada orangnya?"
"Orang?"
"Ya. Nanti di luar rumahnya kita lukis orang aja, cowo satu cewe satu"
"Oh, boleh. Maksudnya itu kita?"
"Ya, Dir. Hehehe"
Aku dan Milli tertawa kecil dan saat tawa kami mereda, kedua mataku langsung menangkap tatapan matanya padaku. Tatapan matanya terasa berbeda, dan kusadari ia mencoba menatapku lebih dalam--tapi tak sedalam tatapan mataku. Milli tersenyum malu dan kemudian kembali melukis, sementara aku masih tetap menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya aku kembali menyelesaikan lukisan rumahku.
Pulas kelabu di langit menyingkirkan rona biru muda, membawa butiran-butiran hujan yang menghujam tanah yang kering. Aria memintaku dan teman-teman yang lain untuk berteduh, beristirahat sejenak dari pekerjaan kami. Kutinggalkan kaleng cat dan kuasku di pinggir jalan, lalu berlari menuju teras sebuah rumah yang ada tepat di depan area mural yang kutempati. Milli kemudian menyusulku, berlari menerjang hujan dan akhirnya ikut bernaung di teras bersamaku. Kami berdiri menunggu hujan yang redanya tak dapat kami prediksi. Lelah berdiri, aku duduk di teras tersebut dan Milli pun ikut duduk di sampingku. Ia menggosok-gosokkan kedua tangannya.
"Dingin ih," keluhnya.
"Ya. Hujannya nggak reda-reda pula ini," sambungku.
"Mana punggung aku basah ini kehujanan tadi," balas Milli.
Aku melepaskan jaketku dan memberikannya pada Milli. Gadis itu terkejut saat kuberikan jaketku padanya.
"Buat aku pakai maksudnya?" tanyanya.
"Bukan, Mil. Buat dimakan," jawabku jahil.
"Ah, Dira.. Romantis ih!" ujar Milli seraya mengenakan jaketku.
Aku meringis pelan, lalu menatap tembok mural yang ada di hadapanku.
"Garing gitu muralnya. Tambahin sesuatu kek," ujarku.
"Ya 'kan kita belum gambar orang," jawab Milli, "Mau gambar orangnya kapan?"
"Pas hujan reda aja," ujarku.
Hujan mereda. Aku dan Milli segera berjalan menuju tembok mural kami. Dengan kaleng cat dan kuas di tangan, kami kembali melukis. Milli melukis seorang anak perempuan dan aku melukis seorang anak laki-laki yang berdiri berdampingan dengan anak perempuan yang dilukis Milli. Kami melukis sambil mengobrol, dan sesekali tertawa bersama. Entah berapa kali kami saling melayangkan tatapan dan entah berapa kali gadis itu tersenyum malu, memekarkan rona merah di kedua pipinya. Terkadang Milli dengan jahil menorehkan catnya di lenganku yang dengan segera kubalas. Pada akhirnya lukisan itu telah selesai. Kini dihadapan kami adalah dinding bermural--sebuah rumah di atas bukit, dengan anak laki-laki dan perempuan yang berdiri di samping rumah tersebut. Kulukis sebuah pagar yang menandakan wilayah teras rumah tersebut. Milli melukis sebuah bangku kayu di sisi kiri rumah tersebut.
"Beres," ujarku.
"Ya, akhirnya beres," sambung Milli.
"Bagus gak sih?" tanyaku ragu.
"Bagus kok," jawab Milli.
Milli tersenyum padaku. Ia tiba-tiba menggandengku, lalu menyandarkan kepalanya di bahuku. Nampaknya ia tak peduli bahwa masih ada teman-temanku di sekitar kami. Tapi teman-temanku pun terlalu sibuk membuat mural mereka masing-masing, sampai mereka tak sadar bahwa aku dan Milli berada sedekat ini, dengan Milli yang menyandarkan kepalanya di bahuku. Bisa kurasakan jantungku berdegup lebih cepat karena kebahagiaan yang datang padaku. Aku senang bisa berada dekat dengan gadis ini, yang menyandarkan kepalanya di bahuku. Milli begitu spesial. Ia tak seperti teman-teman perempuanku yang lainnya. Meskipun terkadang sifat tomboy muncul darinya, aku tetap dapat merasakan kehangatan dan kenyamanan saat aku bersamanya. Milli tetap gadis yang menggemaskan, dan ingin sekali rasanya aku bisa mencubit pipi dan hidungnya setiap hari.
"Aku gak suka kalau kayak gini caranya!"
Aku berbalik. Milli melipat kedua tangannya di depan dadanya. Ia menatapku tajam dan tak ada senyum yang tersungging di wajahnya. Nampak pipinya begitu merah--bukan merah merona, melainkan kemarahan. Bentakannya membuat emosiku tersulut.
"Kamu sendiri maksudnya apa, pergi nggak bilang-bilang?" balasku.
"Memangnya aku harus selalu bilang mau kemana aku pergi?" tanyanya kesal.
"Seenggaknya kasih kabar lah!" tegasku.
"Gak perlu! Kamu juga jarang kasih kabar," balasnya.
"Kamu 'kan tahu aku juga sibuk! Selain ikut acara ini aku juga 'kan ada ngajar!" aku membela diri.
"Saking sibuknya sampai setiap aku kirim pesan, kamu cuma baca aja? Kapan balasnya?!"
Milli mendorong bahuku, membuatku terdorong ke belakang. Aku terkejut dengan sikapnya. Kuhampiri ia dan kubentak ia dihadapan wajahnya.
"Gak usah pakai dorong!"
"Aku muak sama sikap kamu!"
"Aku muak sama keegoisan kamu! Kamu egois, Mil! Kamu nggak tahu gimana capeknya aku! Aku ngajar pagi-pagi dan sorenya, aku buru-buru datang kesini buat selesaikan tugas aku! Sekarang kamu nuntut aku buat bisa balas dengan segera pesan-pesan yang kamu kirim! Aku bahkan gak bisa pegang ponsel selama ngajar!"
"Kamu minta aku buat paham sama kamu? Kamu sendiri paham nggak gimana kesalnya aku setiap aku kirim pesan dan kamu nggak balas?"
"Kamu sendiri memangnya paham saat aku kesal kalau kamu udah dekat sama Gunadi?"
"Kenapa harus kesal? Aku sama Gunadi 'kan temenan?! Kamu sendiri kadang dekat sama cewe lain!"
"Aku nggak suka kalau kamu udah terlalu dekat sama Gunadi! Titik!"
"Siapa kamu? Kamu sama aku nggak ada hubungan spesial apapun, jadi kamu nggak berhak buat larang aku berteman sama siapapun!"
Aku tertegun. Milli benar. Meskipun aku dan Milli begitu dekat, meskipun aku dan Milli sering bersama-sama, meskipun Milli sering menyandarkan kepalanya di bahuku, dan meskipun aku cemburu karena kedekatan Milli dengan temanku, aku dan Milli tak memiliki hubungan apapun kecuali persahabatan. Kecemburuanku nampak bodoh saat aku sadar bahwa aku dan Milli hanya bersahabat. Tapi aku cemburu, dan aku tak suka saat Milli terlalu dekat dengan Gunadi. Kemarahan kami akhirnya mencapai puncaknya. Setelah Milli menamparku, dengan geram aku mengambil kuasku dan mencelupkan ujungnya ke dalam kaleng cat berwarna hitam. Kubuat sebuah garis di antara tangan kanan anak laki-laki yang kulukis dan tangan kiri anak perempuan yang Milli tulis. Garis sepanjang beberapa sentimeter itu memisahkan kedua anak tersebut. Milli menatapku tak percaya, yang hanya kubalas dengan tatapan dinginku
Dan kuketikkan pesan singkat untuk Milli melalui ponselku. Seharusnya saat ini sudah tak ada kegiatan di posko dan teman-teman kelompokku sedang bersantai. Setelah pesan terkirim, aku membereskan tasku dan berangkat dari sekolah tempatku mengajar menuju jalan itu. Aku tiba di tempat sekitar sepuluh menit kemudian--waktu tercepat yang pernah kudapat. Kuparkirkan motorku di depan pos kecil dengan pintu dan jendela berwarna biru, lalu berjalan menyusuri jalan kecil itu. Kuhentikan langkahku di depan rumah yang berseberangan dengan mural yang kulukis bersama Milli. Mural itu belum selesai benar, karena seharusnya ada sebuah lukisan pohon di sisi kanan mural kami yang membatasi mural kami dengan mural teman-teman kami yang lainnya. Kurogoh ponselku di saku jaketku dan aku masih belum mendapatkan pesan balasan dari Milli. Aku mengetikkan pesan singkat untuk Milli sekali lagi, lalu duduk di teras rumah tersebut, menunggu pesan balasan dari Milli. Petang menjelang dan sepi mencoba berkawan denganku.
Tatapanku berpindah-pindah, dari layar ponselku ke ujung jalan ini, lalu ke layar ponselku lagi. Belum ada balasan, belum juga ada skuter matik berwarna putih dengan aksen biru muda yang kukenal memasuki jalan ini. Sosok Milli belum juga muncul. Langit mulai gelap dan aku semakin gugup. Aku gugup, menunggu kepastian apakah ia akan datang.. atau tidak.
Dan Milli pun tak datang. Aku yakin ia tak akan datang. Aku mengetahuinya setelah Milli memposkan sesuatu di linimasa LINE. Ia mengunggah sebuah stiker yang sesuai dengan perasaannya.
"Thanks ya guys! Rame banget!"
Aku meringis pelan. Kupejamkan mataku untuk sejenak dan dalam kegelapan yang kulihat, terlintas di benakku semua hal yang pernah kulakukan bersama Milli di tempat ini, di jalan kecil ini. Melukis mural, memindahkan tanaman ke dalam pot, tak sengaja menjatuhkan dan merusak pot tanaman, bercanda gurau, berteduh saat hujan, bahkan bertengkar. Aku masih ingat dimana biasanya Milli berdiri untuk melukis, karena ia ada di sampingku. Aku ingat cat warna apa saja yang Milli sering gunakan untuk melukis. Aku ingat gaya melukisnya. Aku ingat senyumnya setiap ia selesai melukis, menandakan kebahagiaan dan kebanggaan. Aku ingat raut wajahnya saat ia lelah--peluh yang mengalir di pelipisnya menganak sungai sampai ujung dagunya. Aku ingat saat ia marah padaku--tatapannya tajam dan merah matanya. Aku ingat saat akhirnya kami bertengkar hebat dan ia menangis dihadapanku--hanya dihadapanku. Kami berpisah, tak pulang bersama seperti yang biasa kami lakukan. Ia langsung berlari ke skuter matiknya lalu melesat cepat meninggalkanku di jalan kecil ini. Kubuka mataku dan kusadari aku telah berkawan dengan gelapnya malam dan kesendirian. Sosok Milli tak akan datang, dan kurasa tiada guna lagi aku berdiam diri di tempat ini untuk menunggunya.
Kulangkahkan kakiku menuju sebuah toko kecil yang berada tak jauh dari tempatku berdiri. Kurogoh selembar uang senilai lima ribu rupiah dan kudapatkan sebotol minuman dingin. Aku berjalan menuju bangku yang berada di depan toko tersebut dan duduk sembari menikmati minumanku. Jalan kecil ini terasa sangat sepi. Kawanku hanyalah angin sore, langit Minggu yang cerah, dan sebotol minuman dingin. Sedari tadi aku belum melihat seseorang melintas di jalan ini. Ya, sejak aku memasuki jalan ini aku tak melihat siapapun melintas. Kemana perginya orang-orang? Apa mungkin mereka menghindari sengatan matahari Minggu sore ini? Aku begitu menikmati suasana sore seperti ini--suasana sore yang hangat yang empat tahun terakhir ini jarang kudapatkan. Setelah kuhabiskan minumanku, aku bangun dari tempat duduk dan saat aku hendak berjalan menuju ujung jalan, aku mendengar namaku dipanggil.
"Dira?"
Aku berbalik dan melihat sosok seseorang yang kukenal berdiri beberapa meter di belakangku. Tak banyak bicara, kami berdua duduk di bangku di depan toko yang sempat kudatangi sebelumnya. Aku terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba--kehadirannya yang tak kuprediksi sejak awal. Bagaimana bisa ia berada disini? Dan setelah empat tahun berlalu, ia bahkan tak berubah banyak. Hanya pakaiannya saja yang menunjukkan bahwa ia sudah tak se-tomboy dulu. Ia mengenakan kaus berwarna putih yang dipadukan dengan cardigan berwarna hitam dengan lengan yang digulung sampai sikut, celana panjang jeans biru muda, dan flat shoes berwarna krem. Ia membiarkan rambutnya yang kini panjang tergerai begitu saja dengan poni samping. Penampilannya nampak santai jika dibandingkan denganku yang mengenakan kemeja katun biru muda, jaket kulit hitam, celana katun hitam, dan sepatu kulit berwarna coklat tua.
"Udah lama nggak ketemu," ujar Milli.
"Ya. Sekitar empat tahun kita nggak ketemu," jawabku.
"Gimana di Kanada?" tanya Milli.
"Baik. Baik-baik saja," jawabku.
Milli mengangguk pelan.
"Aku juga disini baik-baik aja," ujarnya.
"Syukurlah," balasku singkat.
"Dira, berapa lama kamu di Indonesia?" tanya Milli.
"Belum tahu. Mungkin seminggu," jawabku.
"Tinggal di rumah orangtua kamu?" tanyanya lagi.
"Nggak. Aku tinggal di hotel di Jakarta. Ke Bandung ini hanya buat jalan-jalan sebentar," jawabku.
"Di Bandung kamu tinggal dimana?"
"Entahlah. Mungkin nanti cari hotel. Aku hanya bawa satu pasang baju ganti di tas, jadi mungkin besok sudah balik lagi ke Jakarta"
"Memang dalam rangka apa ke Indonesia?"
"Diundang jadi pembicara di seminar"
Milli menghela nafas lalu tertunduk pelan. Aku tak punya apapun lagi untuk dibicarakan dengannya. Aku tak tahu apa lagi yang harus kubicarakan. Milli sesekali melirikku, berharap aku akan menanyakannya sesuatu, mungkin tentang pekerjaan atau kegiatan sehari-hari, tapi aku benar-benar tak tahu apa yang harus kukatakan. Aku benar-benar tak punya satu hal pun yang ingin kutanyakan.
"Dira, waktu kita KKN bareng empat tahun yang lalu--"
"Empat tahun yang lalu," potongku, "Gang percontohan ini nggak banyak berubah, ya"
Milli mengangguk.
"Aku selalu datang kesini seminggu sekali di hari Minggu buat cek keadaan gang. Ada beberapa tanaman yang diganti sama pihak RW karena mati. Aku juga bantu-bantu pihak RW buat urus tanaman-tanaman disini," tuturnya.
"Baguslah. Terima kasih kamu masih mau datang kesini untuk cek kondisi," jawabku.
"Kadang-kadang yang lain pun datang kesini. Rabu kemarin Nathan main kesini. Minggu lalu, Hasna, Dewi, sama Gunadi yang main kesini," ujarnya.
"Oh, baguslah," jawabku singkat.
Milli meringis pelan.
"Kamu masih marah karena waktu itu aku dekat sama Gunadi?" tanya Milli.
"Itu 'kan empat tahun yang lalu. Buat apa aku masih marah? Toh aku tahu kalian bersahabat. Ditambah lagi, dulu memang aku terlalu cemburu, padahal kita nggak ada hubungan apapun," jawabku.
Aku meringis pelan lalu bangkit dari tempat dudukku.
"Aku harus cari hotel sekarang, sebelum terlalu malam," ujarku seraya meninggalkan Milli begitu saja.
Aku tak berbalik untuk menatapnya, tak juga pamit padanya. Aku berjalan, meninggalkannya dan melewati mural yang pernah aku dan Milli buat bersama. Saat aku melewati mural kami, aku melihat sesuatu yang ganjil. Ada hal yang ganjil yang baru kusadari adanya. Aku berhenti sejenak menatap mural tersebut. Kukernyitkan dahiku dan kutanyakan pada diriku apakah aku sedang berkhayal.
"Milli?"
Saat namanya kusebut, Milli bergegas berjalan ke arahku dan ikut menatap mural tersebut. Aku meliriknya bingung.
"Kamu apain mural ini?" tanyaku.
"Maksudnya?" tanya Milli.
"Kamu apain mural ini, Milli?!"
Milli terkejut dengan nada suaraku yang meninggi. Aku menatapnya tajam. Aku yakin Milli dapat melihat kekesalan, kebingungan, serta ketidakpercayaan di tatapan mataku padanya. Segera kutunjuk bagian di antara tangan kanan anak laki-laki dan tangan kiri anak perempuan yang ada di mural tersebut. Bagian itu, dulunya ada sebuah garis yang memisahkan mereka, yang kini telah hilang. Sebagai gantinya, kedua tangan anak tersebut saling berpegangan.
"Apa maksud kamu?!" tanyaku geram.
"Itu.."
"Kamu tahu aku sengaja buat garis di antara dua anak ini! Kamu tahu aku lakukan itu waktu kita bertengkar hebat! Kenapa sekarang kamu hilangkan garisnya dan satukan kedua anak ini?!"
Milli menatapku takut. Bibirnya bergetar dan air mata tiba-tiba meluncur turun dari kedua matanya. Ia menangis dihadapanku. Awalnya tangisannya biasa saja, namun semakin lama ia semakin terisak. Aku meringis pelan. Kurogoh saputanganku dari saku celanaku dan kuusap air mata di pipinya. Kugenggam tangannya dan telunjuk kananku mengangkat dagunya, agar Milli dapat menatap mataku.
"Kenapa kamu hapus garisnya?" tanyaku dengan nada suara yang diturunkan.
Milli masih terisak. Aku menggigit bibir bawahku.
"Kenapa? Kenapa kamu hapus?"
"Karena aku nggak mau kedua anak itu terpisah"
"Tapi.. Kamu tahu aku sampai paksa Aria supaya garis itu nggak dihapus, dan aku tahu Aria nggak akan ingkar sama janjinya"
"Aku yang hapus garis itu, Dira. Aku yang hapus"
"Tapi kedua anak itu cuma mural, Milli! Mereka cuma mural!"
"Mereka bukan hanya mural! Mereka itu kita!"
Aku mengernyitkan dahiku.
"Kita? Apa maksud kamu? Saat itu kita nggak ada hubungan apapun!" tanyaku bingung.
"Kita memang nggak ada hubungan apapun, tapi kita saling tahu perasaan masing-masing, bukan?" jawabnya.
"Aku.. Aku bahkan nggak yakin dengan perasaan aku sendiri," tukasku.
"Kamu bohong, Dira. Kamu cemburu saat itu. Kamu lupa?"
"Tapi.. Ah! Aku nggak peduli. Kenapa kamu anggap bahwa dua anak di mural itu adalah kita? Kenapa kamu hapus garisnya dan satukan genggaman kedua anak itu?"
Milli menyeka sendiri air mata di pipinya. Ia lalu menatapku dalam.
"Kita mungkin nggak punya hubungan apapun empat tahun yang lalu, tapi aku nggak bisa bohong kalau aku sayang kamu. Saat ini pun, aku nggak bisa bohong kalau aku masih sayang kamu. Waktu kamu buat garis di antara kedua anak itu, aku kecewa. Nggak seharusnya kedua anak itu terpisah. Setelah kita bertengkar hebat, kamu nggak pernah kembali ke posko, dan tiba-tiba aku dengar berita kalau kamu pindah ke Kanada. Aku sedih saat tahu tentang hal itu. Kenapa aku harus terpisah sama kamu? Kenapa kita harus terpisah jarak yang sangat jauh? Aku lantas balik lagi kesini dan aku sengaja hilangkan garisnya dan satukan genggaman dua anak itu. Setidaknya walaupun aku sama kamu terpisah, kedua anak di mural itu bisa bersatu. Walaupun sebatas mural, sebatas gambar yang kita buat empat tahun lalu, setiap aku datang kesini dan lihat mural itu aku bahagia karena empat tahun yang lalu kita pernah bersama"
Milli mulai menangis lagi.
"Aku nggak mau berpisah sama kamu, Dira"
Tangis Milli meledak saat ia ada di dalam dekapanku. Empat tahun berlalu dan ini pertama kalinya aku berada sedekat ini dengan Milli. Aku mendekapnya, mendekapnya erat. Milli menangis hebat dalam pelukanku. Aku mengusap rambutnya, mencoba menenangkannya.
"Aku minta maaf, Milli. Aku minta maaf," ujarku.
"Dira, jangan pergi lagi," isak Milli, "Tolong jangan pergi lagi"
Aku menghela nafas.
"Aku sendiri nggak mau pergi meninggalkan orang yang aku sayang. Empat tahun tinggal di Kanada dan akhirnya dapat pekerjaan disana, kukira aku bisa hidup tenang tanpa ada pikiran tentang kamu. Tapi aku salah. Aku nggak pernah bisa lupakan kamu, Milli, meskipun aku sakit setiap aku ingat pertengkaran itu"
Kami berpelukan cukup lama dan aku tak mengkhawatirkan sekitarku. Sejak tadi tak ada orang yang lalu lalang dan saat ini pun tak ada siapapun kecuali aku dan Milli di jalan kecil ini. Kami melepaskan pelukan kami dan kucondongkan wajahku ke dekatnya. Kukecup dahinya dan kugenggam erat jemari tangannya seraya kubisikkan permohonan maaf dan keinginanku untuk bisa bersama-sama dengannya. Milli mengangguk pelan dan kami kembali berpelukan. Saat berpelukan aku melihat pot bunga yang pernah tak sengaja aku dan Milli jatuhkan. Pot itu kami tanami sebuah tanaman yang nampaknya tak akan tumbuh karena tak ada daun yang muncul. Namun hari ini, sore ini, aku melihat kembali tanaman tersebut dan kulihat tanaman tersebut telah berdaun. Aku bahkan melihat bakal buah yang menggantung di salah satu dahannya.
"Jangan pernah buat garis lagi di antara dua anak itu," ujar Milli.
Aku tersenyum.
"Ya. Kedua anak itu harus bersatu," jawabku.
Aku meringis pelan, lalu menatap tembok mural yang ada di hadapanku.
"Garing gitu muralnya. Tambahin sesuatu kek," ujarku.
"Ya 'kan kita belum gambar orang," jawab Milli, "Mau gambar orangnya kapan?"
"Pas hujan reda aja," ujarku.
Hujan mereda. Aku dan Milli segera berjalan menuju tembok mural kami. Dengan kaleng cat dan kuas di tangan, kami kembali melukis. Milli melukis seorang anak perempuan dan aku melukis seorang anak laki-laki yang berdiri berdampingan dengan anak perempuan yang dilukis Milli. Kami melukis sambil mengobrol, dan sesekali tertawa bersama. Entah berapa kali kami saling melayangkan tatapan dan entah berapa kali gadis itu tersenyum malu, memekarkan rona merah di kedua pipinya. Terkadang Milli dengan jahil menorehkan catnya di lenganku yang dengan segera kubalas. Pada akhirnya lukisan itu telah selesai. Kini dihadapan kami adalah dinding bermural--sebuah rumah di atas bukit, dengan anak laki-laki dan perempuan yang berdiri di samping rumah tersebut. Kulukis sebuah pagar yang menandakan wilayah teras rumah tersebut. Milli melukis sebuah bangku kayu di sisi kiri rumah tersebut.
"Beres," ujarku.
"Ya, akhirnya beres," sambung Milli.
"Bagus gak sih?" tanyaku ragu.
"Bagus kok," jawab Milli.
Milli tersenyum padaku. Ia tiba-tiba menggandengku, lalu menyandarkan kepalanya di bahuku. Nampaknya ia tak peduli bahwa masih ada teman-temanku di sekitar kami. Tapi teman-temanku pun terlalu sibuk membuat mural mereka masing-masing, sampai mereka tak sadar bahwa aku dan Milli berada sedekat ini, dengan Milli yang menyandarkan kepalanya di bahuku. Bisa kurasakan jantungku berdegup lebih cepat karena kebahagiaan yang datang padaku. Aku senang bisa berada dekat dengan gadis ini, yang menyandarkan kepalanya di bahuku. Milli begitu spesial. Ia tak seperti teman-teman perempuanku yang lainnya. Meskipun terkadang sifat tomboy muncul darinya, aku tetap dapat merasakan kehangatan dan kenyamanan saat aku bersamanya. Milli tetap gadis yang menggemaskan, dan ingin sekali rasanya aku bisa mencubit pipi dan hidungnya setiap hari.
"Aku gak suka kalau kayak gini caranya!"
Aku berbalik. Milli melipat kedua tangannya di depan dadanya. Ia menatapku tajam dan tak ada senyum yang tersungging di wajahnya. Nampak pipinya begitu merah--bukan merah merona, melainkan kemarahan. Bentakannya membuat emosiku tersulut.
"Kamu sendiri maksudnya apa, pergi nggak bilang-bilang?" balasku.
"Memangnya aku harus selalu bilang mau kemana aku pergi?" tanyanya kesal.
"Seenggaknya kasih kabar lah!" tegasku.
"Gak perlu! Kamu juga jarang kasih kabar," balasnya.
"Kamu 'kan tahu aku juga sibuk! Selain ikut acara ini aku juga 'kan ada ngajar!" aku membela diri.
"Saking sibuknya sampai setiap aku kirim pesan, kamu cuma baca aja? Kapan balasnya?!"
Milli mendorong bahuku, membuatku terdorong ke belakang. Aku terkejut dengan sikapnya. Kuhampiri ia dan kubentak ia dihadapan wajahnya.
"Gak usah pakai dorong!"
"Aku muak sama sikap kamu!"
"Aku muak sama keegoisan kamu! Kamu egois, Mil! Kamu nggak tahu gimana capeknya aku! Aku ngajar pagi-pagi dan sorenya, aku buru-buru datang kesini buat selesaikan tugas aku! Sekarang kamu nuntut aku buat bisa balas dengan segera pesan-pesan yang kamu kirim! Aku bahkan gak bisa pegang ponsel selama ngajar!"
"Kamu minta aku buat paham sama kamu? Kamu sendiri paham nggak gimana kesalnya aku setiap aku kirim pesan dan kamu nggak balas?"
"Kamu sendiri memangnya paham saat aku kesal kalau kamu udah dekat sama Gunadi?"
"Kenapa harus kesal? Aku sama Gunadi 'kan temenan?! Kamu sendiri kadang dekat sama cewe lain!"
"Aku nggak suka kalau kamu udah terlalu dekat sama Gunadi! Titik!"
"Siapa kamu? Kamu sama aku nggak ada hubungan spesial apapun, jadi kamu nggak berhak buat larang aku berteman sama siapapun!"
Aku tertegun. Milli benar. Meskipun aku dan Milli begitu dekat, meskipun aku dan Milli sering bersama-sama, meskipun Milli sering menyandarkan kepalanya di bahuku, dan meskipun aku cemburu karena kedekatan Milli dengan temanku, aku dan Milli tak memiliki hubungan apapun kecuali persahabatan. Kecemburuanku nampak bodoh saat aku sadar bahwa aku dan Milli hanya bersahabat. Tapi aku cemburu, dan aku tak suka saat Milli terlalu dekat dengan Gunadi. Kemarahan kami akhirnya mencapai puncaknya. Setelah Milli menamparku, dengan geram aku mengambil kuasku dan mencelupkan ujungnya ke dalam kaleng cat berwarna hitam. Kubuat sebuah garis di antara tangan kanan anak laki-laki yang kulukis dan tangan kiri anak perempuan yang Milli tulis. Garis sepanjang beberapa sentimeter itu memisahkan kedua anak tersebut. Milli menatapku tak percaya, yang hanya kubalas dengan tatapan dinginku
Dan kuketikkan pesan singkat untuk Milli melalui ponselku. Seharusnya saat ini sudah tak ada kegiatan di posko dan teman-teman kelompokku sedang bersantai. Setelah pesan terkirim, aku membereskan tasku dan berangkat dari sekolah tempatku mengajar menuju jalan itu. Aku tiba di tempat sekitar sepuluh menit kemudian--waktu tercepat yang pernah kudapat. Kuparkirkan motorku di depan pos kecil dengan pintu dan jendela berwarna biru, lalu berjalan menyusuri jalan kecil itu. Kuhentikan langkahku di depan rumah yang berseberangan dengan mural yang kulukis bersama Milli. Mural itu belum selesai benar, karena seharusnya ada sebuah lukisan pohon di sisi kanan mural kami yang membatasi mural kami dengan mural teman-teman kami yang lainnya. Kurogoh ponselku di saku jaketku dan aku masih belum mendapatkan pesan balasan dari Milli. Aku mengetikkan pesan singkat untuk Milli sekali lagi, lalu duduk di teras rumah tersebut, menunggu pesan balasan dari Milli. Petang menjelang dan sepi mencoba berkawan denganku.
Tatapanku berpindah-pindah, dari layar ponselku ke ujung jalan ini, lalu ke layar ponselku lagi. Belum ada balasan, belum juga ada skuter matik berwarna putih dengan aksen biru muda yang kukenal memasuki jalan ini. Sosok Milli belum juga muncul. Langit mulai gelap dan aku semakin gugup. Aku gugup, menunggu kepastian apakah ia akan datang.. atau tidak.
Dan Milli pun tak datang. Aku yakin ia tak akan datang. Aku mengetahuinya setelah Milli memposkan sesuatu di linimasa LINE. Ia mengunggah sebuah stiker yang sesuai dengan perasaannya.
"Thanks ya guys! Rame banget!"
Aku meringis pelan. Kupejamkan mataku untuk sejenak dan dalam kegelapan yang kulihat, terlintas di benakku semua hal yang pernah kulakukan bersama Milli di tempat ini, di jalan kecil ini. Melukis mural, memindahkan tanaman ke dalam pot, tak sengaja menjatuhkan dan merusak pot tanaman, bercanda gurau, berteduh saat hujan, bahkan bertengkar. Aku masih ingat dimana biasanya Milli berdiri untuk melukis, karena ia ada di sampingku. Aku ingat cat warna apa saja yang Milli sering gunakan untuk melukis. Aku ingat gaya melukisnya. Aku ingat senyumnya setiap ia selesai melukis, menandakan kebahagiaan dan kebanggaan. Aku ingat raut wajahnya saat ia lelah--peluh yang mengalir di pelipisnya menganak sungai sampai ujung dagunya. Aku ingat saat ia marah padaku--tatapannya tajam dan merah matanya. Aku ingat saat akhirnya kami bertengkar hebat dan ia menangis dihadapanku--hanya dihadapanku. Kami berpisah, tak pulang bersama seperti yang biasa kami lakukan. Ia langsung berlari ke skuter matiknya lalu melesat cepat meninggalkanku di jalan kecil ini. Kubuka mataku dan kusadari aku telah berkawan dengan gelapnya malam dan kesendirian. Sosok Milli tak akan datang, dan kurasa tiada guna lagi aku berdiam diri di tempat ini untuk menunggunya.
Kulangkahkan kakiku menuju sebuah toko kecil yang berada tak jauh dari tempatku berdiri. Kurogoh selembar uang senilai lima ribu rupiah dan kudapatkan sebotol minuman dingin. Aku berjalan menuju bangku yang berada di depan toko tersebut dan duduk sembari menikmati minumanku. Jalan kecil ini terasa sangat sepi. Kawanku hanyalah angin sore, langit Minggu yang cerah, dan sebotol minuman dingin. Sedari tadi aku belum melihat seseorang melintas di jalan ini. Ya, sejak aku memasuki jalan ini aku tak melihat siapapun melintas. Kemana perginya orang-orang? Apa mungkin mereka menghindari sengatan matahari Minggu sore ini? Aku begitu menikmati suasana sore seperti ini--suasana sore yang hangat yang empat tahun terakhir ini jarang kudapatkan. Setelah kuhabiskan minumanku, aku bangun dari tempat duduk dan saat aku hendak berjalan menuju ujung jalan, aku mendengar namaku dipanggil.
"Dira?"
Aku berbalik dan melihat sosok seseorang yang kukenal berdiri beberapa meter di belakangku. Tak banyak bicara, kami berdua duduk di bangku di depan toko yang sempat kudatangi sebelumnya. Aku terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba--kehadirannya yang tak kuprediksi sejak awal. Bagaimana bisa ia berada disini? Dan setelah empat tahun berlalu, ia bahkan tak berubah banyak. Hanya pakaiannya saja yang menunjukkan bahwa ia sudah tak se-tomboy dulu. Ia mengenakan kaus berwarna putih yang dipadukan dengan cardigan berwarna hitam dengan lengan yang digulung sampai sikut, celana panjang jeans biru muda, dan flat shoes berwarna krem. Ia membiarkan rambutnya yang kini panjang tergerai begitu saja dengan poni samping. Penampilannya nampak santai jika dibandingkan denganku yang mengenakan kemeja katun biru muda, jaket kulit hitam, celana katun hitam, dan sepatu kulit berwarna coklat tua.
"Udah lama nggak ketemu," ujar Milli.
"Ya. Sekitar empat tahun kita nggak ketemu," jawabku.
"Gimana di Kanada?" tanya Milli.
"Baik. Baik-baik saja," jawabku.
Milli mengangguk pelan.
"Aku juga disini baik-baik aja," ujarnya.
"Syukurlah," balasku singkat.
"Dira, berapa lama kamu di Indonesia?" tanya Milli.
"Belum tahu. Mungkin seminggu," jawabku.
"Tinggal di rumah orangtua kamu?" tanyanya lagi.
"Nggak. Aku tinggal di hotel di Jakarta. Ke Bandung ini hanya buat jalan-jalan sebentar," jawabku.
"Di Bandung kamu tinggal dimana?"
"Entahlah. Mungkin nanti cari hotel. Aku hanya bawa satu pasang baju ganti di tas, jadi mungkin besok sudah balik lagi ke Jakarta"
"Memang dalam rangka apa ke Indonesia?"
"Diundang jadi pembicara di seminar"
Milli menghela nafas lalu tertunduk pelan. Aku tak punya apapun lagi untuk dibicarakan dengannya. Aku tak tahu apa lagi yang harus kubicarakan. Milli sesekali melirikku, berharap aku akan menanyakannya sesuatu, mungkin tentang pekerjaan atau kegiatan sehari-hari, tapi aku benar-benar tak tahu apa yang harus kukatakan. Aku benar-benar tak punya satu hal pun yang ingin kutanyakan.
"Dira, waktu kita KKN bareng empat tahun yang lalu--"
"Empat tahun yang lalu," potongku, "Gang percontohan ini nggak banyak berubah, ya"
Milli mengangguk.
"Aku selalu datang kesini seminggu sekali di hari Minggu buat cek keadaan gang. Ada beberapa tanaman yang diganti sama pihak RW karena mati. Aku juga bantu-bantu pihak RW buat urus tanaman-tanaman disini," tuturnya.
"Baguslah. Terima kasih kamu masih mau datang kesini untuk cek kondisi," jawabku.
"Kadang-kadang yang lain pun datang kesini. Rabu kemarin Nathan main kesini. Minggu lalu, Hasna, Dewi, sama Gunadi yang main kesini," ujarnya.
"Oh, baguslah," jawabku singkat.
Milli meringis pelan.
"Kamu masih marah karena waktu itu aku dekat sama Gunadi?" tanya Milli.
"Itu 'kan empat tahun yang lalu. Buat apa aku masih marah? Toh aku tahu kalian bersahabat. Ditambah lagi, dulu memang aku terlalu cemburu, padahal kita nggak ada hubungan apapun," jawabku.
Aku meringis pelan lalu bangkit dari tempat dudukku.
"Aku harus cari hotel sekarang, sebelum terlalu malam," ujarku seraya meninggalkan Milli begitu saja.
Aku tak berbalik untuk menatapnya, tak juga pamit padanya. Aku berjalan, meninggalkannya dan melewati mural yang pernah aku dan Milli buat bersama. Saat aku melewati mural kami, aku melihat sesuatu yang ganjil. Ada hal yang ganjil yang baru kusadari adanya. Aku berhenti sejenak menatap mural tersebut. Kukernyitkan dahiku dan kutanyakan pada diriku apakah aku sedang berkhayal.
"Milli?"
Saat namanya kusebut, Milli bergegas berjalan ke arahku dan ikut menatap mural tersebut. Aku meliriknya bingung.
"Kamu apain mural ini?" tanyaku.
"Maksudnya?" tanya Milli.
"Kamu apain mural ini, Milli?!"
Milli terkejut dengan nada suaraku yang meninggi. Aku menatapnya tajam. Aku yakin Milli dapat melihat kekesalan, kebingungan, serta ketidakpercayaan di tatapan mataku padanya. Segera kutunjuk bagian di antara tangan kanan anak laki-laki dan tangan kiri anak perempuan yang ada di mural tersebut. Bagian itu, dulunya ada sebuah garis yang memisahkan mereka, yang kini telah hilang. Sebagai gantinya, kedua tangan anak tersebut saling berpegangan.
"Apa maksud kamu?!" tanyaku geram.
"Itu.."
"Kamu tahu aku sengaja buat garis di antara dua anak ini! Kamu tahu aku lakukan itu waktu kita bertengkar hebat! Kenapa sekarang kamu hilangkan garisnya dan satukan kedua anak ini?!"
Milli menatapku takut. Bibirnya bergetar dan air mata tiba-tiba meluncur turun dari kedua matanya. Ia menangis dihadapanku. Awalnya tangisannya biasa saja, namun semakin lama ia semakin terisak. Aku meringis pelan. Kurogoh saputanganku dari saku celanaku dan kuusap air mata di pipinya. Kugenggam tangannya dan telunjuk kananku mengangkat dagunya, agar Milli dapat menatap mataku.
"Kenapa kamu hapus garisnya?" tanyaku dengan nada suara yang diturunkan.
Milli masih terisak. Aku menggigit bibir bawahku.
"Kenapa? Kenapa kamu hapus?"
"Karena aku nggak mau kedua anak itu terpisah"
"Tapi.. Kamu tahu aku sampai paksa Aria supaya garis itu nggak dihapus, dan aku tahu Aria nggak akan ingkar sama janjinya"
"Aku yang hapus garis itu, Dira. Aku yang hapus"
"Tapi kedua anak itu cuma mural, Milli! Mereka cuma mural!"
"Mereka bukan hanya mural! Mereka itu kita!"
Aku mengernyitkan dahiku.
"Kita? Apa maksud kamu? Saat itu kita nggak ada hubungan apapun!" tanyaku bingung.
"Kita memang nggak ada hubungan apapun, tapi kita saling tahu perasaan masing-masing, bukan?" jawabnya.
"Aku.. Aku bahkan nggak yakin dengan perasaan aku sendiri," tukasku.
"Kamu bohong, Dira. Kamu cemburu saat itu. Kamu lupa?"
"Tapi.. Ah! Aku nggak peduli. Kenapa kamu anggap bahwa dua anak di mural itu adalah kita? Kenapa kamu hapus garisnya dan satukan genggaman kedua anak itu?"
Milli menyeka sendiri air mata di pipinya. Ia lalu menatapku dalam.
"Kita mungkin nggak punya hubungan apapun empat tahun yang lalu, tapi aku nggak bisa bohong kalau aku sayang kamu. Saat ini pun, aku nggak bisa bohong kalau aku masih sayang kamu. Waktu kamu buat garis di antara kedua anak itu, aku kecewa. Nggak seharusnya kedua anak itu terpisah. Setelah kita bertengkar hebat, kamu nggak pernah kembali ke posko, dan tiba-tiba aku dengar berita kalau kamu pindah ke Kanada. Aku sedih saat tahu tentang hal itu. Kenapa aku harus terpisah sama kamu? Kenapa kita harus terpisah jarak yang sangat jauh? Aku lantas balik lagi kesini dan aku sengaja hilangkan garisnya dan satukan genggaman dua anak itu. Setidaknya walaupun aku sama kamu terpisah, kedua anak di mural itu bisa bersatu. Walaupun sebatas mural, sebatas gambar yang kita buat empat tahun lalu, setiap aku datang kesini dan lihat mural itu aku bahagia karena empat tahun yang lalu kita pernah bersama"
Milli mulai menangis lagi.
"Aku nggak mau berpisah sama kamu, Dira"
Tangis Milli meledak saat ia ada di dalam dekapanku. Empat tahun berlalu dan ini pertama kalinya aku berada sedekat ini dengan Milli. Aku mendekapnya, mendekapnya erat. Milli menangis hebat dalam pelukanku. Aku mengusap rambutnya, mencoba menenangkannya.
"Aku minta maaf, Milli. Aku minta maaf," ujarku.
"Dira, jangan pergi lagi," isak Milli, "Tolong jangan pergi lagi"
Aku menghela nafas.
"Aku sendiri nggak mau pergi meninggalkan orang yang aku sayang. Empat tahun tinggal di Kanada dan akhirnya dapat pekerjaan disana, kukira aku bisa hidup tenang tanpa ada pikiran tentang kamu. Tapi aku salah. Aku nggak pernah bisa lupakan kamu, Milli, meskipun aku sakit setiap aku ingat pertengkaran itu"
Kami berpelukan cukup lama dan aku tak mengkhawatirkan sekitarku. Sejak tadi tak ada orang yang lalu lalang dan saat ini pun tak ada siapapun kecuali aku dan Milli di jalan kecil ini. Kami melepaskan pelukan kami dan kucondongkan wajahku ke dekatnya. Kukecup dahinya dan kugenggam erat jemari tangannya seraya kubisikkan permohonan maaf dan keinginanku untuk bisa bersama-sama dengannya. Milli mengangguk pelan dan kami kembali berpelukan. Saat berpelukan aku melihat pot bunga yang pernah tak sengaja aku dan Milli jatuhkan. Pot itu kami tanami sebuah tanaman yang nampaknya tak akan tumbuh karena tak ada daun yang muncul. Namun hari ini, sore ini, aku melihat kembali tanaman tersebut dan kulihat tanaman tersebut telah berdaun. Aku bahkan melihat bakal buah yang menggantung di salah satu dahannya.
"Jangan pernah buat garis lagi di antara dua anak itu," ujar Milli.
Aku tersenyum.
"Ya. Kedua anak itu harus bersatu," jawabku.
0 comments:
Post a Comment