Tuesday, July 29, 2014

Home

Sejak Reyhan diperbolehkan pulang dari rumah sakit, aku banyak menghabiskan waktu luangku untuk menemani adikku. Sepulang kuliah, sebisa mungkin aku segera pulang ke rumah dan merawat adikku yang masih sedang dalam tahap penyembuhan. Karena ulahnya yang nekat mencoba mengakhiri hidupnya, ia terpaksa harus dirawat di rumah sakit selama dan juga menjalani sesi konseling bersama psikiater dari rumah sakit. Namun ulah nekatnya berhasil meluluhkan hati ayah dan mengubah pikirannya. Kini adikku tak perlu lagi diikuti rasa takut akan bersekolah di luar kota, dan ia masih bisa bersekolah dengan ketiga sahabatnya. 

Jumat malam kemarin ayah meminta kami menemaninya membeli harddisk baru di sebuah pusat perbelanjaan. Reyhan yang sebetulnya masih dalam kondisi yang belum baik pun ikut, dan tentu saja, masih harus mengenakan pakaian tebal. Sembari ayah mencari apa yang ia butuhkan, aku dan adikku berjalan masuk ke sebuah toko yang menjual permainan untuk komputer. Mata kami sama-sama menatap ke arah deretan seri The Sims 3, dari mulai seri awal sampai pak ekspansi terbaru. Kami merogoh dompet masing-masing dan tak lama kemudian kami sudah saling mengeluarkan selembar uang senilai seratus ribu dan selembar uang senilai lima puluh ribu. Berpatungan, kami membeli permainan The Sims 3, termasuk beberapa seri Stuff dan pak ekspansi. Setibanya di rumah, aku dan adikku segera menginstall permainan itu dan sejak saat itu, kami mulai keranjingan bermain The Sims 3

Sore itu aku menjemput adikku pulang dari tempat kursus bahasa Inggrisnya dan mampir sejenak di sebuah kedai kecil untuk membeli jus alpukat kesukaan ayah. Kami kemudian pulang dan setibanya di rumah, adikku--masih mengenakkan celana jeans panjang dan jaket tebalnya dan tak mengganti pakaiannya seperti yang biasa ia lakukan--langsung saja berjalan menuju komputernya. Aku tahu apa yang akan ia lakukan; ia akan bermain The Sims 3. Aku mengintipnya dari ambang pintu kamarnya dan musik latar permainan itu pun terdengar, diikuti wajah serius adikku yang nampaknya sedang membangun sesuatu. Setengah berlari aku menuju dapur dan menyiapkan semangkuk sereal, lalu bergegas menuju kamar adikku untuk melihatnya bermain. Reyhan sedang membangun sebuah rumah di lahan berukuran 40 petak kali 40 petak. Aku memperhatikannya dengan seksama. Ia mencoba membuat sebuah rumah yang menurutku ukurannya kecil. Dilihat dari jenis penutup dinding dan lantai yang ia gunakan, serta beberapa furnitur yang ia taruh di dalam rumahnya, Reyhan membangun rumah bergaya kolonial Belanda, seperti rumah yang kami tempati saat ini. Dengan ukuran rumah yang tak besar, Reyhan memiliki halaman yang besar, yang ia tata dengan dua buah pohon apel dan semak berbunga. Ia juga tak menaruh sebuah mobil; ia justru menaruh dua buah tiang parkir untuk sepeda. 

"Rumahnya kecil gitu, Rey. Keluarga kamu emang berapa orang?" tanyaku.

"Empat," jawabnya, "Aku bikin ayah, ibu, mas Eza, sama aku sendiri" 
"Oh. Kamu mau bikin miniatur keluarga kita?"

"Ya"

"Tapi kok rumahnya nggak kayak rumah kita?" 

Adikku mengernyitkan dahinya. 

"Rumah kita mah susah dibuatnya," jawab Reyhan.

"Nggak kok. Mas Eza aja udah pernah coba bikin rumah kita dan berhasil," sanggahku.

"Well I don't build a nice house anyway," ujarnya.

"Tapi itu bagus kok," tukasku.

"But it doesn't look like our house," sanggahnya.

"Ada apa ini? Pulang les tiba-tiba jadi ngomong bahasa Inggris?" tanyaku heran.

"Tadi ada sesi conversation. Kata Ms. Alia, kita harus banyak berlatih supaya lancar," jawab Reyhan. 

Aku tersenyum kecil. 

"I can say I'm good at building houses," ujarku, "I mean.. I design fancy houses"

"On The Sims 3 only," jawab adikku seraya tertawa kecil.

"Well trying to design real houses.. Why not?" balasku, "I think I'm good enough to design real houses. I know well about interior designs"

"Hmm.. But I think it would be harder to build a home," ujar adikku.

"Home? House? What's the difference?"

"Well, it's different"

Reyhan tiba-tiba bangun dari kursinya dan setengah berlari keluar dari kamarnya. Ia tiba-tiba kembali dan berhenti di ambang pintu. 

"Mas Eza, Rey mau pipis. Itu tolong dong pindahin keluarganya ke rumah yang baru Rey bikin, terus kasih cheat uang yang banyak ya. Nanti ibunya suruh baca buku memasak sampai level tiga," ujarnya. 

Adikku kemudian berlari menuju kamar mandi, meninggalkanku di kamarnya sembari tertawa mengingat tingkahnya. Aku melakukan apa yang Reyhan minta dan tiba-tiba aku teringat ucapan adikku. Alia. Alia? Ya, Alia adalah teman sekampusku namun kami berbeda jurusan. Sudah cukup lama kami tak bertemu karena kesibukan kami masing-masing. Meski aku sering mengantar adikku ke tempat kursus bahasa Inggrisnya, aku tak pernah sekalipun bertemu dengan Alia. Aku ingin tahu kabarnya saat ini. Apa saja kesibukannya? Kurasa penampilannya berubah setelah menjadi pengajar. Atau mungkin ia tak berubah?

----

Aku akhirnya mendapatkan kesempatan untuk bertemu Alia. Bukan saat aku menjemput adikku dari tempat kursus bahasa Inggrisnya, tapi saat aku baru saja memarkirkan motorku di area parkir kampus. Aku melihatnya sama-sama meninggalkan area parkir dan tanpa pikir panjang segera kupanggil namanya. 

"Alia!" 

Gadis itu melihat ke arahku lalu tersenyum, melambaikan tangannya ke arahku. Aku setengah berlari menghampirinya dan saat aku berhadapan dengannya, aku tertegun. Alia nampak sedikit berbeda. Rambut panjangnya kini nampak bergelombang dan ia nampak manis dan rapi dengan kaus lengan pendek berwarna putih yang dipadukan dengan vest berwarna coklat gula, celana jeans panjang, dan sepatu berhak pendek. Penampilannya terbilang ringan dan santai untuk seorang pengajar, tapi mengingat ia pun hanya seorang pengajar bahasa Inggris di sebuah pusat kursus maka kurasa tak jadi masalah. Dan yang terpenting adalah aku menyukai penampilannya. 

"Tumben digerai," ujarku.

"Apa?" tanya Alia bingung.

"Eh.. Itu, maksudnya rambutnya. Tumben digerai. Dulu 'kan biasa diikat," jawabku yang agak salah tingkah karena menanyakan pertanyaan konyol saat kami bertemu kembali.

"Oh, sengaja kok, Za. Dari semester tiga sampai lima 'kan rambutku biasa diikat. Sekarang mau digerai aja, dan ternyata lebih nyaman," jawabnya seraya tersenyum manis.

"Hmm.. Kamu ada kelas?" tanyaku.

"Nggak ada, Za. Cuma mau ketemu dosen aja buat kasih surat rekomendasi, ke fakultas buat kasih berkas-berkas, habis itu makan siang," jawabnya.

"Makan siang? Kemana?"

"Belum tahu. Nggak ada teman makan siang pula" 

Aku meringis pelan. 

"Aku juga belum makan siang sih," jawabku yang memang belum makan siang.

"Kalau gitu bareng aja," usul Alia, "Kita cari tempat makan dekat sini aja"

"Boleh. Kalau gitu kita ketemu lagi jam berapa dan dimana?" tanyaku.

"Hmm.. Ketemu di parkiran lagi aja, sekitar jam satu. Gimana?"

"Oke. Kita ketemu jam satu ya" 

Alia pun berjalan menuju fakultasnya dan aku masih berdiri, memandang punggungnya yang semakin menjauh. Entah mengapa aku merasa begitu senang hari ini, padahal saat aku hendak berangkat ke kampus, aku sempat terjebak kemacetan dan seorang pengendara motor yang tak bertanggungjawab sempat menyenggol kaca spion kiri motorku dan pergi begitu saja. Biasanya jika mengalami hal buruk seperti itu, aku akan banyak diam karena kesal. Tapi kali ini tidak. Aku bertemu Alia dan.. Astaga, pukul 1 cepatlah datang! 

----

Gadis itu duduk dihadapanku. Jemarinya yang lentik menggenggam erat sebuah cangkir berwarna krem. Senyumnya timbul tenggelam karena sesekali ia mengecap dan menghisap pelan isi cangkir krem itu. Matanya pun sesekali melirik keluar jendela, menatap butiran-butiran air yang terpercik di kaca jendela lalu menjejak turun menyungai menyentuh bumi. Aroma lembut teh berpadu dengan kuatnya aroma espresso yang muncul bersama kepulan uap dari permukaan cangkirku. Gadis itu lalu menatapku dan saat kedua tatapan kami saling bertemu, ia tersenyum malu lalu melirik ke arah yang lain. Aku tersipu. Kutaruh cangkir kopiku di atas meja. 

"Maaf ya aku jadi ajak kamu kesini," ujarku, "Tiba-tiba ingin kopi"

"Nggak apa-apa kok, Za," jawab Alia, "Aku juga udah lama nggak ngopi

Alia lalu meletakkan cangkir tehnya di atas meja. 

"Jadi, gimana keadaan Reyhan sebenarnya?" tanya Alia.

"Kalau sekarang sih sudah jauh lebih baik, meskipun lukanya masih tetap harus diperiksa dan sesekali kita bawa dia ke rumah sakit untuk ikut sesi konseling," jawabku.

"Syukurlah kalau lebih baik. Memang sih dua bulan ke belakang keaktifan Reyhan di kelas menurun. Dia jadi banyak diam. Sekarang sih dia sudah mulai aktif lagi, sudah mau ikut kontribusi lagi di kelas," ujar Alia.

"Ya. Syukurlah" 

Aku dan Alia tertawa kecil. 

"Jadi, kegiatan Reyhan di rumah ngapain aja sekarang? Dia udah beres ujian nasional 'kan, dan masih dalam waktu libur?"

"Kegiatannya sih untuk sekarang paling lebih banyak main, karena dia 'kan pas persiapan ujian nasional kemarin habis-habisan belajar. Sekarang lagi sering main The Sims 3 sama aku"

"The Sims 3? Wah, aku juga suka main itu!"

"Wah? Kamu pakai expansion apa aja?"

"Dari base sampai Supernatural. Kalau kamu?"

"Dari base sampai Island Paradise, tapi minus Generation dan Ambition

Kami pun lantas berbincang mengenai permainan yang sama-sama kami mainkan. Perbincangan semakin seru karena rupanya Alia sudah lama memainkan permainan itu. Kami mengobrol tentang gaya arsitektur bangunan kesukaan kami. Alia lebih menyukai bangunan bergaya modern minimalis, sementara aku menyukai bangunan bergaya klasik. Alia juga suka membangun rumah di lahan yang berada di tengah kota, sementara aku lebih suka membangun rumah di lahan yang letaknya di sisi kota atau di perbukitan. Namun kami berdua sama-sama menyukai rumah yang memiliki pemandangan yang indah dari jendela, baik pemandangan alam maupun pemandangan kota. 

Obrolan kecil mengenai permainan itu membuat kami semakin akrab. Kini kami semakin sering bertemu untuk makan siang bersama atau sekedar menikmati secangkir kopi. Terkadang kami hanya bertemu untuk bermain The Sims 3 bersama. Alia tak begitu pandai dalam membuat desain rumah sehingga seringkali aku membantunya. Aku bahkan telah membuat tiga rumah bergaya modern di lahan kosong yang tersedia di kotanya. Setelah rumah selesai kudesain, Alia akan menempatkan keluarga-keluarga yang ia buat di rumah-rumah tersebut. Aku memperhatikan saat ia memainkan keluarga-keluarga yang ia buat. Ia selalu membuat keluarga beranggotakan sepasang suami istri dan seorang anak, baik laki-laki ataupun perempuan. Anaknya tak pernah berusia remaja; selalu saja anak dari keluarga-keluarga yang ia buat masih seusia siswa sekolah dasar. Hal itu membuatku penasaran, karena memang jika bermain The Sims 3 aku lebih berfokus pada mendesain dan membangun rumah. 

"Alia, semua keluarga kamu kok sama ya?" tanyaku.

"Sama? Maksudnya?"

"Selalu gitu. Ayah, ibu, dan anaknya cuma ada satu"

"Nggak kok. Ada keluarga yang punya anaknya dua atau tiga"

"Tapi kalau bikin kamu selalu bikin seperti itu. Aku perhatikan kamu kok

Alia menjeda permainannya lalu menatapku. Ia menyunggingkan sebuah senyum untukku. 

"Setiap mainin satu keluarga, aku selalu ngebayangin kalau aku adalah anggota keluarga itu. Pasti bahagia kayaknya ngeliat anaknya pergi sekolah. Nanti saat si ibu hamil lagi, si anaknya senang karena punya adik baru. Aku juga ngebayangin kayaknya asyik buat punya keluarga kecil beranggotakan ayah, ibu, dan seorang atau dua orang anak" 

Aku mengangguk pelan. 

"Za, setiap rumah yang kamu bikin selalu berukuran besar ya?"

"Eh?"

"Rumah yang kamu desain besar-besar. Bangunannya maksudku"

"Oh.. Ya, itu supaya ada banyak space aja jadi nggak terlihat sempit"

"Tapi terlalu besar kesannya malah dingin, apalagi kalau keluarga kecil yang menempati"

Laptop menjadi barang andalan yang selalu kami bawa setiap kali kami bertemu. Kami akan bermain The Sims 3 bersama atau menggunakan laptopku atau laptop Alia untuk bermain The Sims 3. Kami tak selalu pergi makan siang atau mengunjungi kafe untuk bermain. Terkadang aku mengunjungi tempat kostnya dan bermain di pekarangan komplek kostnya yang luas. Sesekali Alia yang datang berkunjung untuk bermain The Sims 3 bersama. Bukan sekali dua kali aku pulang larut malam karena keasyikan bermain The Sims 3 di tempat kost Alia. Saat Alia memintaku menginstall pak ekspansi Island Paradise, ia mengunjungiku dan kami bermain di kamarku.

"Pokoknya master bedroom harus ada di lantai dua. Terus kamarnya punya jendela dan balkon yang menghadap ke laut. Aku juga pengen di balkonnya ada semacam kursi santai dan mejanya, jadi pasangan yang tinggal di rumah itu bisa menikmati waktu berdua di balkonnya tanpa perlu keluar rumah"

Aku mencoba merealisasikan idenya melalui permainan ini. Kubuat sebuah kamar yang cukup luas, terletak di lantai dua, dengan jendela-jendela besar yang menghadap ke laut dan sebuah balkon yang memanjang. Kamar itu didominasi dengan warna putih dan abu-abu, serta sentuhan warna coklat kopi. Di satu sisi ruangan kutaruh meja kerja yang juga menghadap ke arah laut. Di balkonnya ada sepasang kursi santai, tempat untuk pasangan yang menempati rumah itu melepas lelah sembari menikmati panorama laut lepas. Alia memperhatikanku dengan seksama dan sesekali ia meletakkan kepalanya di bahuku. Sembari membuat aku membayangkan bagaimana rasanya menempati rumah itu. Aku juga ingin menempati rumah itu, bekerja ditemani deburan ombak laut, menikmati langit senja yang jingga dan laut yang berkilau saat matahari berpulang, tenggelam dalam lautan bintang-bintang di atas samudra, dan terbangun oleh belaian sinar mentari yang masuk melalui jendela dan nyanyian samudra di pagi hari. Aku ingin menikmati itu bersama orang yang kusayangi.

"Pasti senang kalau setiap hari bisa ada di tempat ini sama orang yang kita sayang," ujar Alia.

"Er.. Ya. Pasti senang," jawabku.

Alia tersenyum padaku, kemudian ia mencubit hidungku pelan. Aku menyayanginya. Ya, aku menyayangi gadis ini dan seharusnya aku menyadari itu sejak awal. Aku baru menyadarinya akhir-akhir ini, dan aku ingin tahu apakah ia juga menyayangiku. Gadis itu belum sempat memindahkan keluarganya ke rumah baru yang kudesain karena ia tertidur kelelahan di atas tempat tidurku. Kubelai pelan rambutnya dan kubetulkan posisi tidurnya. Kuletakkan laptopnya di atas meja kerjaku dan kuselimuti ia agar tak kedinginan. Saat aku berbalik, ayah telah berdiri di ambang pintu dan melihatku.

"Ketiduran?" tanya ayah.

"Kasihan, yah. Besok pagi aja aku antar pulang," jawabku.

"Ya. Kasihan. Malam ini kamu tidur di kamar Reyhan saja ya," ujar ayah.

Aku pun lantas meninggalkan kamarku dan sebelum kututup pintu kamarku, kutatap Alia sekali lagi. Aku belum tahu pasti perasaannya. Apakah ia merasakan hal yang sama denganku?

----

Kedua tanganku sulit kukendalikan. Tangan kananku menarik gas cukup dalam dan motor ini dengan cepat melaju di jalanan yang ramai, menyalip banyak kendaraan yang menyerangku dengan klakson karena cara mengemudiku yang sembarangan. Meskipun begitu aku tak peduli. Aku tak peduli meskipun dibentak oleh pengemudi lain, diserang oleh klakson kendaraan lain, hampir menabrak pembatas jalan, ataupun menerobos lampu lalu lintas. Pikiranku sangat kacau saat ini dan rasanya aku ingin menabrakkan diriku sendiri ke tiang lampu jalanan, atau ke sebuah pohon, atau ke gedung tinggi sekalipun. Rasanya aku ingin berbalik, lalu memacu cepat motorku di jembatan flyover dan melompat pembatas jembatan, terjun bebas dan menghantam tanah. Aku tak bisa lagi membedakan kemarahan yang kurasakan dengan rasa kecewa, sedih, dan takut. Aku tak yakin aku dapat kembali untuk menjemput adikku pulang dalam keadaan seperti ini. Aku tak tahu siapa yang harus kubentak, kupukul, kutikam, bahkan kubunuh. Tubuhku terasa jauh lebih berat saat ini, mengemban amarah yang tak tahu harus kulemparkan pada siapa, dimana, dan kapan.

Adikku memberitahuku hal yang tak kuketahui; hal yang tak gadis itu katakan padaku. Seandainya Reyhan tak memberitahuku, mungkin aku tak akan pernah tahu, dan mengetahuinya sangat terlambat, dan mungkin merasakan sakit yang lebih hebat daripada sakit yang kurasakan saat ini. Reyhan memberitahuku bahwa mulai hari ini Alia tak lagi mengajar di kelasnya. Kelasnya akan mendapat pengajar baru. Alia terpaksa berhenti mengajar karena ia harus pergi ke tempat yang sangat jauh. London. Aku tak tahu mengapa Alia harus pergi ke London, namun ia tak memberitahuku tentang hal itu. Ia bahkan tak membiarkanku mempersiapkan diriku untuk sebuah perpisahan. Kedekatanku dengannya satu bulan terakhir ini harus berakhir dengan kepergiannya yang tiba-tiba. Ya. Alia tak pernah sekalipun membicarakan apapun tentang London, atau tentang rencananya pergi keluar negeri. Aku tak pernah tahu, dan saat adikku memberitahuku tentang hal ini, aku tak siap. Aku tak siap jika Alia harus meninggalkanku.

Kubelokkan stang dan aku berbalik menuju persimpangan. Kuarahkan motorku naik menuju jembatan flyover dan kupacu secepat mungkin motorku. Saat tiba di tengah jembatan, aku mulai kehilangan konsentrasiku. Motorku oleng saat aku melewati tiang penyangga jembatan ini dan akhirnya jatuh ditarik gravitasi. Tubuhku terseret sejauh beberapa meter dan akhirnya menghantam pembatas jembatan. Punggungku terasa retak, tapi aku tak peduli. Terdengar klakson dan deru kendaraan bermotor lainnya yang diikuti oleh suara panik orang-orang. Ya. Aku membuat kemacetan dan kepanikan bagi pengguna jalan yang lain. Mereka berlari menghampiriku untuk menolongku. Seseorang melepas helmku dan aku dapat merasakan darah mengalir dari pelipisku, masuk ke mata dan mulutku. Aku masih dapat melihat apa yang terjadi di sekitarku, meskipun semuanya nampak kabur. Kendaraanku terpisah beberapa meter dihadapanku.

"Kamu nggak apa-apa?"

"Kamu bisa dengar kita?"

Aku segera mendapatkan kesadaranku dan bangkit. Kakiku terasa sangat sakit tapi aku tak peduli. Terpincang-pincang aku berlari menuju motorku yang terpisah beberapa meter di hadapanku. Tanpa pikir panjang aku kembali mengemudikan motorku secepat mungkin menuju tempat itu. Aku tak peduli jika aku tak mengenakan helm dan kepalaku berdarah hebat. Aku terus mengemudi dan akhirnya aku tiba di tempat itu. Aku pun masuk ke pekarangan depan bangunan itu dan tiba di depan pintu utama, kuketuk pintu itu berkali-kali. Pintu itu lalu terbuka dan seorang wanita seusiaku menyambutku dengan ekspresi terkejut.

"K-kamu siapa?" tanyanya.

"Alia.. Apa Alia ada?" tanyaku.

"Tapi kamu siapa?"

"Apa Alia ada?! Saya harus ketemu sama Alia!"

"A-Alia udah pindah sejak kemarin"

"Pindah? Maksud kamu dia.."

"Ya. Alia udah pindah dari kemarin. Katanya sih dia keluar negeri"

Aku tak mempercayai ucapan gadis itu. Aku memaksa masuk meskipun gadis itu mencoba menahanku. Segera aku berjalan menuju kamarnya dan kuketuk pintu kamar Alia berkali-kali sambil kupanggil namanya.

"Alia buka pintunya! Alia, ini aku, Reza! Tolong buka pintunya!"

Alia tak juga membukakan pintunya. Aku terus menggedor pintunya dan memanggil-manggil namanya, namun ia bahkan tak menjawabku. Aku mulai lelah dan air mataku mengalir semakin deras. Dengan sebuah hantaman keras kutinju pintu kamarnya, namun itu tak membuahkan hasil, kecuali tanganku yang kini berdarah hebat.

"Alia tolong buka pintunya!!"

Aku jatuh, berlutut di hadapan pintu kamarnya dan menangis. Kini aku nampak memalukan di hadapan penghuni komplek kost yang berkumpul mengerumuniku. Tangisanku semakin menjadi seiring aku memanggil namanya, memintanya untuk membukakan pintunya untukku. Tapi gadis itu benar. Alia telah pergi dan pintu itu tak akan terbuka. Tak akan terbuka.

Alia telah pergi, dan ia tak memberitahuku.

----

"Reza, makan dulu sarapanmu"

Aku melirik ayah dan adikku, lalu kembali melirik keluar jendela. Awan kembali menyelimuti pagi ini. Bekas hujan tadi malam masih dapat kulihat di jendela. Aroma sup sayuran hangat tak berhasil menggodaku, pun juga aroma coklat panas yang adikku buat.

"Mas Eza, keburu dingin tuh makanannya"

Aku menghela nafas sejenak lalu mulai memakan sarapanku. Ayah pandai memasak sup sayuran dan adikku pandai membuat minuman coklat panas, namun pagi ini semuanya terasa hambar. Mungkin lidahku yang bermasalah, atau mungkin memang masakan dan minuman yang dihidangkan untuk sarapan pagi ini hambar.

"Za, sudah dong sedihnya. Ayah dan Reyhan khawatir sama kamu," ujar ayah.

"Nggak perlu khawatir, yah. Aku nggak apa-apa," jawabku.

"Mas Eza ini sebetulnya sedih karena apa sih? Coba cerita," bujuk adikku.

"Mas Eza nggak apa-apa kok, Rey"

Sepuluh suap dan aku pun tak menghabiskan makananku. Aku meninggalkan meja makan begitu saja, meninggalkan ayah dan adikku yang masih sarapan. Berjalan kembali ke kamarku, aku merasa langkahku begitu berat. Kepalaku pun terasa pusing. Perban yang membalut kepalaku membuatku merasa tak nyaman. Aku segera merebahkan tubuhku di atas tempat tidurku. Mataku menangkap tumpukan DVD The Sims 3 yang ada di atas meja kerjaku, dan seketika aku teringat gadis itu. Air mataku kembali meleleh. Setelah aku membangun dan mendesain banyak rumah untuknya, sekarang ia pergi. Ia bahkan tak memberiku kabar. Teganya Alia.

"Mas Eza, boleh Rey masuk?"

Aku mengusap air mataku.

"Masuk aja, Rey"

Reyhan masuk ke kamarku lalu melirikku. Ia meringis pelan.

"Kalau lihat mas Eza kayak gini, aku ikut sedih," ujarnya.

"Nggak apa-apa, Rey. Kamu jangan jadi ikut sedih," tukasku.

"Ah, mas Eza ini. Waktu Rey sedih aja mas Eza habis-habisan hibur Rey"

Reyhan tiba-tiba menyalakan komputerku. Ia yang mengetahui password akunku lantas masuk begitu saja dan membuka aplikasi permainan itu, The Sims 3. Ah, kumohon jangan mainkan permainan itu. Aku masih belum siap untuk melihat permainan itu--permainan yang mengingatkanku pada Alia. Tapi musik permainan itu terlanjur memecah keheningan kamarku dan aku tak bisa berbuat apapun lagi. Kutarik selimutku dan kubalut setengah tubuhku.

"Mas Eza kalau ada apa-apa bilang dong sama Rey. Rey 'kan nggak mau lihat mas Eza sedih begini. Kemarin mas Eza pulang-pulang udah banyak luka memar dan kepalanya berdarah. Nelangsa banget kelihatannya"

Aku menghela nafas panjang.

"Oh ya, waktu itu aku sama Miss Alia main The Sims di kafetaria," ujar Reyhan.

"Terus?" jawabku dingin.

"Rumahnya bagus-bagus," ujarnya, "Keluarganya juga. Miss Alia jago bikin Sim"

Aku berdehem pelan.

"Keluarganya lucu banget, dan kenapa aku harus jadi anaknya?"

"Eh?"

"Ya. Ada rumah yang lokasinya bagus banget, dengan view laut. Yang tinggal disitu ada satu keluarga dengan satu orang anak. Miss Alia namain anaknya Reyhan"

"Reyhan?"

"Ya. Suami istrinya sendiri dikasih nama Ezar sama Alia"

Aku mengernyitkan dahiku. Segera aku duduk di atas tempat tidurku.

"Ezar dan Alia?" tanyaku tak percaya.

"Ya. Miss Alia sendiri yang kasih nama gitu," jawab Reyhan, "Ehm.. Kayaknya miss Alia suka deh sama mas Eza. Kalian juga sering pergi bareng, 'kan?"

"Ah, nggak mungkin. Nama karakter suaminya 'kan Ezar, bukan Reza," sanggahku.

"Ah, itu 'kan anagram," balas Reyhan, "Lagian aku dari awal udah curiga kayaknya kalian saling suka"

Aku segera bangkit dari tempat tidurku dan menghampiri adikku. Ia terkejut karena aku menghampirinya tiba-tiba dan kemudian refleks aku mengguncang-guncangkan bahunya.

"Rey, Alia pergi ke London tanggal berapa?" tanyaku gusar.

"Mas Eza kenapa sih?" adikku memberontak, melepaskan tanganku dari bahunya.

"Kapan, Rey? Kapan Alia berangkat?" tegasku.

"Siang ini. Katanya sih pesawatnya berangkat dari Soekarno-Hatta," jawab adikku, "Mas Eza ini kenapa?"

Aku terdiam sejenak. Siang ini? Bagaimana mungkin aku bisa tiba di bandara Soekarno-Hatta siang ini sementara saat ini saja aku belum bersiap-siap dan kondisiku seperti ini? Belum lagi ada kemungkinan terjebak macet. Aku tak akan bisa tiba disana siang ini. Hidupku tak seperti apa yang terjadi di opera sabun yang ditayangkan di beberapa stasiun televisi. Bukannya aku tak ingin mengejarnya ke bandara tapi melihat kondisi lalu lintas yang padat dan keadaanku saat ini, kurang memungkinkanku untuk pergi dan bertemu dengan Alia. Adegan aku dengan tubuh yang penuh memar dan luka yang belum pulih berlari di koridor bandara lalu memaksa masuk ke ruang tunggu untuk bertemu dengan Alia tak akan terjadi. Tidak akan. Kuhela nafas panjang lalu kembali berjalan menuju tempat tidurku dan menjatuhkan tubuhku di atasnya begitu saja. Menatap kosong langit-langit kamarku, air mataku meleleh lagi. Ah, aku nampak memalukan saat ini, menangis seperti anak kecil. Tapi aku memang tak ingin berpisah dengan Alia. Tidak dengan cara seperti ini. Berpisah dengannya, tanpa kata-kata perpisahan, dan gadis itu pergi begitu saja--bukan ini yang kuinginkan.

"Mas Eza, Rey keluar sebentar ya," ujar Reyhan seraya pergi meninggalkan kamarku.

Aku menenggelamkan wajahku ke dalam bantalku dan berteriak sekeras mungkin, meluapkan kemarahan dan kekecewaanku. Aku tak peduli. Tak akan ada yang mendengarku berteriak dan menangis. Suaraku tak akan bisa menembus ketebalan bantalku. Lagipula sekeras apapun aku berteriak, Alia tak akan mendengarnya. Ia tak akan tahu betapa kecewa dan marahnya aku karena kepergiannya yang tiba-tiba tanpa kabar apapun. Ia tak akan peduli. Ia terlalu egois untuk peduli padaku.

----

"Mas Eza. Bangun!"

Kurasakan tubuhku diguncang cukup kuat. Aku mengangkat sedikit kepalaku dan melirik ke sisi kananku. Dengan kesadaran yang belum pulih, dari tangan dan pakaiannya kutebak adikku yang membangunkanku, mengguncangkan tubuhku seolah memberitahuku seperti inilah rasanya mengalami gempa bumi. Aku mengerang pelan dan menyuruh adikku berhenti.

"Diam ah, Rey. Mas Eza gak mau diganggu"

Aku kembali menaruh kepalaku di atas bantalku dan menarik selimutku untuk menutupi sekujur tubuhku, namun itu tak menghentikan adikku dari percobaannya membangunkanku.

"Mas Eza bangun! Bangun cepetan!"

Aku mengerang lebih keras.

"Reyhan berisik ah!"

Adikku sepertinya putus asa karena ia akhirnya berhenti mengguncang-guncangkan tubuhku. Tapi guncangan itu kembali muncul, meskipun skalanya lebih kecil. Ada apa ini? Apa adikku benar-benar ingin aku merasakan bagaimana rasanya mengalami gempa bumi dalam beragam skala? Apa ia mencoba memberikan sensasi gempa bumi dengan skala tiga richter?

"Reza. Bangun dong. Sebentar aja"

Suara itu.. Suara itu! Aku seketika terbangun dan membuka selimutku. Aku pun langsung duduk saat kulihat sosok Alia duduk di samping tempat tidurku. Kulihat juga Reyhan berdiri memperhatikanku. Disampingnya ada sebuah koper besar. Alia? Mengapa ia bisa ada disini?

"Rey tinggalin mas Eza sama miss Alia berdua dulu. Kalau ada apa-apa panggil aja," ujar adikku, "Oh ya hampir lupa. Miss Alia, I have made a cup of tea for you. It's in the dining room. Would you mind to try it?"

"Sure. Thank you, Reyhan," jawab Alia.

Reyhan meninggalkanku dan Alia berdua di kamar. Ia menutup pintu kamarku rapat. Kini hanya ada aku dan Alia di kamarku. Aku merasakan tatapan Alia padaku, tapi aku tak menatapnya. Aku memalingkan wajahku dan menatap keluar jendela. Untuk apa ia datang ke rumahku? Bukankah seharusnya ia pergi? Bukankah sejak awal ia tak mengabariku bahwa ia akan pergi? Mau apa lagi ia bertemu denganku?

"Reza, I know you're mad at--"

"Bukannya harusnya kamu udah di jalan ke bandara sekarang ini?" potongku.

"Aku tahu, Za. Maafin aku karena aku nggak kasih kamu kabar bahwa aku akan ke London," ujar Alia.

"Kamu ini mau terlambat atau apa?"

Alia meringis pelan. Ia lalu menyentuh bahuku dan segera kutepis tangannya.

"Kalau memang mau pergi dan nggak mau kasih kabar sejak awal, buat apa kamu balik lagi? Buat apa kamu ambil resiko terlambat check-in hanya karena kamu datang kesini?" tanyaku sinis.

"I know that's my fault," jawab Alia.

"Oh ya, siapa juga aku? Harusnya kamu nggak datang lagi kesini," balasku.

"I'm really sorry, Reza"

"Sorry? Huh. What for?"

Alia kembali mencoba menyentuh bahuku dan kembali kutepis, namun gadis itu terus mencoba sampai akhirnya aku membiarkan ia menyentuh bahuku. Terdengar Alia terisak pelan. Aku kini menundukkan wajahku dan nampak gadis itu menyeka air matanya.

"I was afraid to tell you about it. I don't want a farewell. I hate farewell," ujarnya.

"Is that your reason? You were afraid to tell me about it?"

"Because I didn't want to come to see you, face to face, and tell you that I'd leave for London. I know I'd leave you, too, and it would make me cry. I didn't want to cry in front of you and I didn't want you to cry"

"Knowing that you'll go has made me sad and realizing that you didn't tell me firsthand that you'd leave has destroyed me!"

"I know! I'm sorry. I'm so sorry, Reza"

Aku menelan air liurku. Aku terlanjur marah dengan semua ini.

"Reza, honestly I don't want to leave you. But you know, I want to reach my dream"

"Then go"

"I'll go, but I'm not ready to face the truth that I'll leave you, too"

"Why bother yourself thinking about me?"

"Because there is something undone"

Aku menghela nafas.

"What's undone?"

"Well.. The Sims 3. You know.."

"You.. Wait? You came here just to ask me to design you houses, risking yourself who right now should be on the way to airport. Are you insane? Alia, are you insane?!"

"I don't ask you to build me houses! I want you to build me a home!"

"Ah, what's the difference? Both are same!"

"It's different!"

Aku mengernyitkan dahiku dan menatapnya bingung.

"Reyhan saw me playing The Sims 3 and he told me that it was easy to build a house," ujar Alia.

"Then?"

"He told me that building a home is a different case. I thought about it for a while until I realize that not all houses can be your home. Home is where you feel warm and comfort. Home is where you feel free to speak. Home is where you feel safe from all sinister things. It is a place where you love and are loved. It doesn't have to be large or fancy--as long as happiness is there and you feel loved, it's home"

Aku tertegun.

"Why do you want me to build you a home?"

"I.. I actually.. I've found one. It's you"

Setetes air mata mengalir keluar dari mata gadis itu. Ia mencoba tersenyum, meskipun ia begitu gugup.

"You're my home. Reza, you're my home"

Aku menangis terharu. Beberapa saat kemudian Alia sudah berada dalam dekapanku. Kami berdua sama-sama menangis. Aku mendekapnya semakin erat. Tuhan, aku tak ingin berpisah dengan gadis ini. Aku tahu perpisahan ini hanya sementara, tapi bagaimana bisa aku membiarkannya berada di tempat asing sendirian, sementara ia tempat bernaung yang lebih dari sekedar rumah. Ia membutuhkanku, dan aku pun membutuhkannya. Alia pun rumah bagiku. Bagaimana bisa aku merasa tenang jika rumahku berada jauh dariku?

"I'll come back home. I'll come back to you," ujar Alia.

"I'm gonna miss you. Really," jawabku.

Kami melepaskan pelukan kami. Kini kami saling menatap dan aku kali ini benar-benar menatapnya di matanya. Kuseka air mata di pipinya dan kami semakin mendekat. Sedetik kemudian aku dapat merasakan hangat nafasnya di pipiku dan tak lama kemudian kupejamkan mataku. Kukecup bibir mungilnya. Kami membuka mata dan kemudian kembali berpelukan. Kubelai lembut rambutnya yang panjang.

"Sorry for making you like this," ujar Alia, "You're hurt badly"

"It's okay. I am okay," jawabku.

"Please recover soon for me"

"Sure. I will"

"I'll come back home for you. I will"

"I'll be waiting for you"

Kami melepaskan pelukan kami dan sekali lagi, kami berciuman. Kami menarik diri kami lalu saling menatap. Alia akhirnya dapat tersenyum dan aku tertawa kecil. Kugenggam tangannya dan kuusap pelan jemarinya dengan jempolku.

"I want to build you a real home," ujarku.

"Reza. Really?" tanya Alia tak percaya.

"Yes. I should have told you from the beginning that I.. I like you, I mean, I love you," jawabku.

"Your eyes have told me everything," balas Alia seraya mencubit hidungku, "Then, I'll be waiting for the design"

"What do you want our house to be?"

"Umh.. A two-story house, with a fireplace in our living room. It should be a Victorian house. I also want a library and a music room"

"Victorian? I thought you liked modern houses" 

"I want Victorian for our home and I want one baby blue and one lemon chiffon bedroom for our children"

"Children? Well.. that's still too far to talk about children"

"But can we make one in our home?"

"Yes. Sure we can"

Alia mencubit lagi hidungku.

"I'll work hard and finish my novel. I'll write more novels later," ujar Alia.

"As for me, I'll get a job and make much money. I'll build a home for us," jawabku.

Pintu kamarku terbuka dan sosok Reyhan menatap kami dari ambang pintu. Ia tersenyum pada kami.

"Miss Alia, pak Sigit udah siap buat antar ke bandara," ujar Reyhan.

"Oh, ya. Aduh, maaf ya jadi merepotkan," ujar Alia.

"Nggak apa-apa kok. Yang penting miss Alia sama mas Reza sekarang sudah baikan," jawab Reyhan. "Oh ya, tehnya diminum dulu ya. Keburu dingin"

"Padahal nggak perlu repot-repot buatkan teh, Rey. Mbak 'kan nggak lama disini," Alia nampak malu.

"Disuruh ayah buat teh. Kalau ayah nggak suruh mungkin Rey nggak akan buat," jawab adikku.

Alia tertawa mendengar ucapan adikku. Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Reyhan. Rasanya ingin sekali aku menghampirinya dan menjewer telinganya. Anak ini benar-benar.. Ah! Tapi tanpa adikku, Alia tak akan mungkin berada di kamarku saat ini.

"Mas, Rey mau ikut ke bandara loh," ujar Reyhan seraya tersenyum kecil.

"Seneng ya kamu bisa jalan-jalan," jawabku, "Memang dibolehin sama ayah?"

"Boleh. Nih lihat perban Rey juga sudah diganti," jawab adikku.

"Apa hubungannya sama perban kamu?" tanyaku sinis.

"Rey," tegur Alia.

Aku dan Alia tertawa kecil. Kami tak bisa lagi berpelukan, bahkan untuk mencium kening karena ada adikku yang melihat kami. Kami hanya saling menggenggam tangan, mengucapkan janji untuk saling menyayangi, dan kemudian Alia ikut dengan adikku menuju ruang makan. Saat hanya aku yang ada di kamarku, kurebahkan tubuhku di atas tempat tidurku lalu kupejamkan mataku. Aku tersenyum. Aku tak percaya bahwa ini memang terjadi. Kubuka mataku dan kutatap langit-langit kamarku. Tergambar seperti apa rumah yang ingin kubangun. Rumah dua lantai dengan perapian di ruang keluarga, sebuah perpustakaan, dan sebuah ruang musik. Terdapat juga kamar anak dengan dinding berwarna biru muda. Aku pun ingin sebuah ruang kerja yang menyatu dengan perpustakaan, dengan sebuah meja catur. Terbayang fasad bangunan rumah itu, didominasi oleh warna putih dengan jendela-jendela dan pintu yang besar, dan taman depan yang tertata rapi dengan sebuah air mancur dan ayunan kecil.

"I'll build a home for us. I promise," ujarku dalam hati. 

0 comments:

Post a Comment