Wednesday, July 16, 2014

Love. Modesty. Love

Pintu lift  di hadapanku terbuka. Dengan malas aku melangkah masuk bersama ketiga teman sekelasku. Lift itu kosong; hanya kami penumpang yang naik. Hanna menekan tombol ground floor. Kusandarkan tubuhku di dinding lift sementara kapsul lift ini turun ke lantai dasar. 

"Laper banget nih. Cari makan, yuk," ujar Hanna tiba-tiba. 
"Makan dimana memangnya?" tanya Reza. 
"Belum kepikiran sih. Yang jelas aku sih lapar," jawab Hanna. 
"Aku harus jemput dulu adik nih, tapi aku juga lapar sih sebetulnya," ujar Reza. 
"Jemput Reyhan?" tanyaku. 
"Siapa lagi. Adik cuma satu-satunya," jawab Reza. 

Hanna berfikir sejenak. 

"Gimana kalau kita pergi ke BIP?" usul Hanna, "Aku ingin makan di food courtnya" 
"Boleh tuh. Nanti habis jemput Reyhan, aku bisa nyusul kesana," sambung Reza. 
"Oh, ya. SMP 2 'kan dekat dari BIP," tambahku. 

Vinna tiba-tiba sibuk memeriksa isi tasnya, mencari-cari sesuatu. 

"Kenapa, Vin?" tanyaku. 
"Air mineralku kayaknya ketinggalan di kelas," jawab Vinna. 
"Hmm.. Ya sudah, sekalian jalan kita bisa sambil beli minum di Circle K," ujarku. 

Lift berhenti di lantai dasar. Reza berpisah dengan kami bertiga karena ia harus menjemput adiknya terlebih dahulu. Kami melangkahkan kaki keluar gedung kampus dan berjalan menuju gerai minimarket terdekat. Setibanya disana, kami disambut oleh sejuknya udara yang didinginkan oleh pendingin udara, barisan display makanan ringan, dan dua buah mesin slushie. Vinna berjalan ke arah kulkas minuman dingin sementara aku ingin menikmati segelas slushie coklat. Aku menarik tuas mesin slushie namun nampaknya mesin itu rusak sehingga slushie tak dapat keluar dari ujung keran. 

"Mas, kok slushie-nya nggak bisa keluar?" 

Seorang kasir yang sedang berjaga segera menghampiriku. Dengan ramah ia mencoba membantuku. 

"Sebentar ya, mbak. Saya coba cek dulu," ujarnya. 

Kasir itu pun mematikan mesin slushie lalu dengan sebuah sendok plastik panjang memeriksa apakah ada sesuatu yang menghambat jalan keluar menuju keran. 

"Wah, ada es yang belum hancur," ujarnya. 

Kasir bernama Abiel itu lantas mengambil es yang berukuran sedang tersebut. Ia kembali menyalakan mesin slushie dan memintaku untuk mencoba kembali. Kali ini slushie dapat keluar. Aku tersenyum dan berterima kasih pada kasir tersebut. 

"Terima kasih ya, mas," ujarku. 
"Sama-sama. Kalau sudah bisa langsung bayar aja," jawabnya. 

Aku pun segera membayar slushie-ku. Kasir tersebut melayaniku dengan ramah. Senyumnya nampak menenangkan dan untuk sejenak aku tertegun mendengar suara hangatnya. Memang, banyak gerai minimarket yang mengharuskan karyawannya untuk bersikap ramah, menyapa dan memberi senyum pada pelanggan yang datang. Namun aku merasakan hal yang berbeda pada kasir bernama Abiel ini. Senyumnya terasa berbeda--senyumnya nampak tulus. 

"Sedotannya lupa, mbak?" 

Aku terkejut, dan sebelum aku kembali untuk mengambil sedotan, kasir itu telah berlari lebih dulu ke arah mesin slushie dan mengambilkanku sebatang sedotan. Ia tersenyum padaku. 

"Jadi delapan ribu," ujarnya. 

Aku menyodorkan selembar uang sepuluh ribu. Ia dengan cepat mengambilkan uang kembalian untukku. 

"Terima kasih, mbak. Silahkan datang lagi," ujarnya. 

Aku membalas ucapannya dengan senyuman, dan ia membalas lagi senyumanku. Aku berbalik dan rupanya Vinna dan Hanna telah mengantri di belakangku. Mereka berdua mengernyitkan dahinya, seolah-olah ada sesuatu yang terjadi padaku. 

"Merah gitu mukanya, Tha," ujar Hanna. 

Aku tersipu. Aku meringis pelan dan segera keluar dari gerai minimarket tersebut, meninggalkan Hanna dan Vinna yang masih harus menyelesaikan transaksi mereka. 

----


"Ye! Chicken steak aku datang!" 

Reyhan nampak senang saat pesanannya tiba. Bocah SMP kelas dua itu nampaknya sangat lapar, sampai ia begitu senang saat pesanannya tiba. Kakaknya, Reza, hanya bisa tertawa kecil melihat tingkah adiknya yang nampak seperti orang yang baru pertama kali menemukan steak

"Memang di kantin sekolah nggak ada yang jual steak, Rey?" tanya Reza. 
"Ada, tapi steak abal-abal gitu. Kelihatannya besar, padahal dagingnya secuil. Tepungnya aja yang tebalnya kayak aspal," jawab Reyhan seraya menikmati makanannya. 

Segelas es teh limun datang untukku. Aku tersenyum pada pelayan yang membawakanku pesananku, lalu segera meminum pesananku. Kerongkonganku terasa kering, padahal aku meminum slushie di sepanjang perjalanan. 

"Tadi ada kejadian rame gitu di Circle K," ujar Vinna tiba-tiba. 
"Ya. Ada yang malu-malu gitu disana," sambung Hanna. 

Aku melirik Vinna dan Hanna yang sedang tersenyum jahil padaku. 

"Apaan sih" 

Vinna dan Hanna tertawa kecil, sementara Reza dan Reyhan hanya tersenyum bingung. 

"Ada apa sih? Jadi penasaran," tanya Reza. 
"Ada kasir ganteng," jawab Hanna. 
"Kasirnya sampe lari-lari ngambilin sedotan gitu," tambah Vinna. 
"Terus si Aretha suka, gitu?" tanya Reza. 
"Apaan sih, Za!" sanggahku. 
"Ciyeee! Kasir ganteng!" goda Reza. 

Teman-temanku menggodaku, membuatku salah tingkah, kecuali Reyhan yang terlalu asyik dengan makanannya. Reyhan hanya melirikku, tersenyum kecil memamerkan deretan gigi putihnya, lalu kembali menikmati makanannya. 

"Kenalan aja padahal," ujar Reza. 
"Kenalan apaan!" sanggahku. 
"Namanya Abiel, 'kan?" sambung Vinna. 
"Ah, itu mah Vinna aja kali yang suka," balasku. 
"Eh, beda tahu perlakuan dia ke kita dan ke kamu," timpal Hanna. 

Aku mengernyitkan dahiku. 

"Masa sih?" tanyaku tak percaya. 
"Kalau ke kita, dia nggak sampai lari-lari buat ambil sedotan. Kalau kamu 'kan, dia sampai lari-lari ambil sedotan buat kamu," jelas Hanna. 

Aku meringis pelan. 

"Ya iya lah dia nggak kasih kalian sedotan! Kalian 'kan cuma beli air mineral sama Milo kaleng!" 

Vinna, Hanna, dan Reza tertawa, dan Reyhan tetap berfokus pada makanannya. Aku menghela nafas sejenak. Teman-temanku membuatku salah tingkah, tapi sejujurnya aku memang merasakan sesuatu yang berbeda pada orang itu--kasir yang melayaniku tadi. Kurasa aku memang menyukai senyumnya. Aku tahu ini terdengar bodoh karena aku belum pernah bertemu dan berbicara dengannya sebelumnya, tapi aku menyukai senyumannya--senyuman dan keramahan yang tulus. Ya, sesuatu yang tulus yang datang dari seorang kasir minimarket. 

----


Cuaca siang ini terasa panas. Matahari bersinar terik dan begitu menyengat. Aku mempercepat langkahku. Ah, cuaca panas seperti ini membuatku lelah dan haus. Aku melewati gerai minimarket itu dan tiba-tiba aku menghentikan langkahku. Terlintas dalam benakku untuk masuk dan membeli segelas slushie. Lebih dari itu, aku masih penasaran dengan seseorang yang kutemui di minimarket itu beberapa hari yang lalu. Apakah pikiranku tentangnya benar, atau salah? 

Aku begitu saja melangkah masuk ke dalam minimarket tersebut. Kubuka pintu minimarket itu dan udara sejuk menyambutku. Aku melirik ke arah kasir dan rupanya tak ada siapapun disana. Aku mengernyitkan dahiku. Kemana pegawai yang bekerja di minimarket ini? Segera aku melangkah menuju mesin slushie dan menuangkan sendiri slushie mangga ke dalam gelasku. Aku pun membeli sebungkus kripik kentang dan Ritter-Sport dengan isi marzipan. Setelah selesai aku pun membawa belanjaanku menuju kasir dan memang tak ada siapa-siapa rupanya. Aku melihat ke arah sebuah pintu yang nampaknya menuju gudang dan seseorang segera muncul dari pintu tersebut, berlari ke arah kasir. Ia tersenyum padaku setibanya di kasir, meskipun nampak ia terengah-engah. 

"Maaf, tadi saya habis solat," ujarnya. 
"Nggak apa-apa, mas," jawabku. 

Pria ini lagi. Ya, pria ini kembali bertugas menjadi kasir hari ini. Tiba-tiba saja aku merasa gugup. Entahlah, namun aku merasa gugup. Aku tak berani menatap matanya meskipun aku ingin sekali menatap matanya. 

"Kuliah di Maranatha, mbak?" tanyanya. 
"Ya," jawabku. 
"Jurusan apa, mbak?" tanyanya lagi. 
"Saya ambil DKV," jawabku. 
"Wah, keren dong," ujarnya seraya tersenyum padaku. 

Senyumnya. Ya, senyum itu kembali ia layangkan padaku--senyum yang persis seperti yang kulihat siang itu. Dengan ramah ia tersenyum padaku dan sejujurnya, itu membuatku bahagia. 

"Semuanya jadi dua puluh enam ribu empat ratus" 

Aku menyodorkan selembar uang senilai dua puluh ribu dan selembar uang senilai sepuluh ribu. Pria itu hendak mengambil uangku namun ia justru menyentuh jemariku. Ia menyentuh jemariku selama beberapa detik dan waktu seolah berhenti. Kami saling menatap dan tiba-tiba waktu seolah diputar kembali. Dengan cepat pria itu menarik tangannya dan aku pun menaruh begitu saja uangku di atas meja kasir. 

"M-maaf," ujarnya gugup. 
"I-iya. Saya juga," jawabku. 

Aku tersipu, dan ia menundukkan kepalanya malu. Wajahnya memerah. Pria itu segera memasukkan uang ke dalam counter dan memberiku uang kembalianku. 

"Kembaliannya tiga ribu enam ratus. Maaf ya," ujarnya seraya tersenyum malu. 
"Ya, nggak apa-apa kok. Sama-sama," jawabku. 

Aku segera mengambil kantung belanjaanku dan keluar dari minimarket tersebut. Penasaran, aku kembali melihat ke dalam minimarket melalui jendela kaca. Kulihat pria itu nampak kikuk, menutup wajahnya dengan kedua tangannya seperti menahan malu. Aku meringis pelan. Kutatap jemariku yang sempat disentuhnya. Aku ingat betul jemarinya terasa hangat saat menyentuh jemariku. Hangat, sehangat senyumnya yang menyambutku. 

----


Waktu menunjukkan pukul delapan lebih dua puluh tiga menit di arlojiku dan hari sudah gelap. Aku meringis pelan, berdiri menunggu kendaraan umum yang lewat namun nampaknya ini adalah hari sialku. Sangat sulit mendapatkan kendaraan umum yang melintas dan aku tahu ibu pasti sudah menungguku di rumah. Ah, tahu begini tadi lebih baik aku ikut pulang saja bersama Hanna dan tak perlu ikut menonton film di kelas bersama teman-teman yang lain sampai malam begini. 

Dari arah utara meluncur sebuah motor yang kemudian melambatkan lajunya saat mendekatiku. Pengemudinya membunyikan klakson motor dua kali dan mematikan lampu motor. Motor itu berhenti tepat di depanku. Sang pengemudinya membuka kaca helmnya, menampakkan kedua matanya yang berbinar jernih. 

"Mbak yang ambil DKV di Maranatha itu, 'kan?" 

Aku mengernyitkan dahiku. Mengapa ia bisa tahu tentang itu? Tapi suaranya terdengar familiar bagiku, dan akhirnya aku dapat mengetahui siapa ia setelah ia melepaskan helmnya. Pria itu--kasir minimarket yang akhir-akhir ini menghantuiku dengan senyuman ramahnya. 

"Sudah malam, mbak. Kenapa masih disini?" tanyanya. 
"Oh, ya. Saya lagi nunggu angkot," jawabku. 
"Nggak ada yang lewat ya, mbak?" 
"Ya. Udah dari tadi padahal saya nunggu" 

Pria itu menjulurkan tangannya. 

"Saya Abiel," ujarnya. 
"Aretha," jawabku. 
"Mbak Aretha pulang kemana?" tanyanya. 
"Rumah saya di Pajajaran, dekat GOR," jawabku. 
"Mau bareng? Saya pulang ke arah sana juga kok," ajaknya. 

Aku berfikir sejenak. Bagaimana jika ia bukan orang baik? Bagaimana jika ia memiliki niat jahat? Tapi malam sudah semakin larut dan aku tak ingin pulang terlambat karena aku tahu ibu pasti mengkhawatirkanku di rumah. Ditambah lagi kendaraan umum yang tak kunjung datang, akhirnya aku mengiyakan tawaran Abiel. Segera aku naik ke atas motor, duduk di belakangnya. Abiel lalu menyodorkan sebuah helm untukku. 

"Dipakai, mbak. Saya takut ditilang di persimpangan," ujarnya. 

Aku segera mengenakan helm tersebut dan kemudian kami pun melanjutkan perjalanan. Di sepanjang perjalanan, Abiel banyak bercerita tentang pekerjaannya sehari-hari. Selain bekerja sebagai kasir minimarket, ia pun mengambil pekerjaan sampingan sebagai karyawan di sebuah outlet di jalan Trunojoyo. Ia pun bercerita sedikit tentang keluarganya. Ia lulus kuliah setahun yang lalu dan saat ini ia bekerja agar ia dapat mengumpulkan uang sehingga dapat melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. 

"Mbak Aretha ikut part-time job?" tanya Abiel. 
"Jangan panggil mbak. Rasanya aneh dipanggil begitu," jawabku. 
"Maaf. Jadi, ikut part-time job?" 
"Nggak. Aduh, sudah masuk semester akhir begini sih lagi sibuk-sibuknya urus skripsi" 

Akhirnya kami tiba di depan rumahku. Ya, Abiel mengantarku sampai ke rumahku. Aku turun dari motor dan mengembalikan helm yang ia pinjamkan padaku. Abiel tersenyum padaku. 

"Jangan terlalu sering pulang malam, soalnya kendaraan umum sudah jarang lewat kalau sudah malam," ujarnya. 
"Ya. Terima kasih ya, Biel, kamu sampai antar saya ke rumah begini," ujarku. 
"Nggak apa-apa kok. Kita 'kan pulang searah," jawabnya, "Saya pergi sekarang ya" 
"Ya. Hati-hati di jalan" 

Abiel pun kembali melanjutkan perjalanannya. Aku melihatnya sampai bayangan punggungnya menghilang di persimpangan jalan. Aku menghela nafas sejenak lalu tersenyum kecil. Pria itu rupanya pria yang baik. Aku malu karena ia sampai mengantarku ke rumahku. Aku malu sudah merepotkannya. Aku tak ingin merepotkannya lagi. Aku tak boleh sampai ikut menumpang pulang bersamanya. 

Tapi nampaknya aku memang ditakdirkan untuk pulang bersamanya. Pada akhirnya kusadari sudah selama satu bulan, bahkan hampir satu bulan, aku pulang bersamanya. Seolah-olah kami telah berjanji sebelumnya, aku selalu menunggunya di depan sebuah salon di dekat kampusku dan ia akan menghentikan motornya, menyuruhku naik dan meminjamkan helmnya, lalu kami pulang bersama. Kami sudah tak canggung lagi untuk mengobrol bahkan kami mulai menggunakan 'aku' untuk memanggil diri sendiri. Kini tak jarang aku mengetuk helmnya atau memukul gemas pundaknya saat Abiel menjahiliku atau menceritakan sebuah lelucon. 

"Biel, laper nih," ujarku. 
"Mau makan dimana?" tanya Abiel. 

Aku terdiam sejenak. Ah, rasanya tak enak jika aku yang menentukan tempat makan. Lebih baik Abiel saja yang menentukan. 

"Terserah Abiel deh," jawabku. 
"Aku sih terserah kamu. Aku takut selera kita nggak sama. Aku takut kamu nggak nyaman kalau aku ajak makan di tempat semacam angkringan," balasnya. 

Aku meringis pelan. Ah, Abiel membuatku tak nyaman sekarang. 

"Aduh.. Nggak apa-apa kok, Biel. Aku lapar, jadi yang penting bisa makan," jelasku. 
"Hmm.. Dimana ya?" Abiel kebingungan. 

Kami berhenti di persimpangan Pajajaran dan Pasir Kaliki, dan Abiel justru berbelok ke arah kanan. Kemana Abiel akan membawaku? Aku tak memerlukan waktu lama untuk mendapatkan jawabannya karena Abiel rupanya membawaku ke sebuah kedai nasi goreng yang letaknya tepat berada di seberang Istana Plaza. Kami berdua masuk ke dalam kedai tersebut dan memesan masing-masing satu porsi nasi goreng. Nampaknya Abiel biasa datang ke tempat ini karena ia sudah akrab dengan penjualnya. 

"Aku sering kesini," ujar Abiel. 
"Pantesan akrab sama penjualnya," jawabku. 
"He he.. Kamu belum pernah kesini, ya?" tanya Abiel. 
"Belum. Ini pertama kali aku kesini. Paling aku cuma lewat aja, nggak pernah sampai mampir," jawabku. 

Abiel menggaruk kepalanya. 

"Tha, maaf ya jadi makan disini," ujar Abiel malu. 
"Nggak apa-apa. Santai aja kali," jawabku, "Kok kamu kikuk gitu?" 
"Takutnya kamu nggak suka makan di tempat kayak gini

Aku meringis pelan. 

"Aku nggak suka, Biel, kalau kamu ngomong kayak gitu

Aku tertunduk malu. Ia meringis pelan. 

"Maaf, Tha," jawabnya. 

Aku tersenyum kecil. Wajah Abiel saat malu dan kikuk membuatku gemas. Pesanan kami akhirnya tiba, lengkap dengan dua gelas teh tawar hangat. Aku mulai menikmati pesananku. Saat kulirik Abiel, ia masih tertunduk dan sama sekali belum menyentuh makanannya. 

"Ada apa, Biel?" 

Abiel mengangkat wajahnya. Ia menatapku gugup. 

"Ada apa? Cerita aja, Biel," ujarku. 
"A-aku.." 
"Kamu kenapa?" 
"Aku mau cerita sesuatu sebetulnya" 

Abiel nampak lebih bingung kali ini, dan itu membuatku bingung. Wajahnya memerah seperti menahan malu. Ia menggaruk kepalanya, lalu lengan jaketnya, dan kemudian kembali menggaruk kepalanya. 

"Abiel kenapa? Kamu bikin aku penasaran," ujarku. 

Aku menatapku. 

"Tha, kayaknya aku suka sama kamu," ujarnya pelan. 

Aku mengernyitkan dahiku. 

"Kayaknya? Kok kayaknya? Perasaan kok setengah-setengah?" tanyaku. 
"Aku nggak yakin kamu bakalan suka sama aku. Apalagi aku 'kan cuma kasir. Makan aja di tempat kayak gini," jawabnya gugup. 

Aku menggenggam tangannya yang terasa dingin. 

"Kalau memang suka, jangan setengah-setengah. Lalu, kenapa kamu jadi sok tahu gitu sih, kayak kamu tahu aja perasaan aku ke kamu seperti apa? Aku tahu kamu kerja sebagai kasir, tapi ya.. terus kenapa? Memangnya kenapa kalau kita makan di tempat seperti ini?" ujarku. 
"Aku takut kamu nggak suka," jawabnya. 

Aku tertawa kecil. 

"Biel, kamu punya sesuatu yang orang lain nggak punya," jawabku. 
"Apa?" 
"Senyum kamu, dan ketulusan kamu saat tersenyum dan menyapa orang" 
"Maksudnya?" 
"Biel, aku nggak peduli apakah kita makan malam di tempat seperti ini, atau tempat yang mahal sekalipun. Aku juga nggak peduli apakah kamu kerja jadi kasir, atau jadi penjaga toko. Biel, satu bulan terakhir ini aku senang bisa bareng sama kamu. Aku senang sekarang aku bisa makan malam dengan orang yang aku suka" 

Abiel menatapku tak percaya. Matanya berbinar, seperti mata anak-anak. 

"Aku juga suka sama kamu, Biel" 

Abiel mulai tersenyum. Aku membalas senyumnya, dan ia pun akhirnya tertawa. Kami berdua akhirnya tertawa. Abiel menggenggam kedua tanganku dan mengecupnya pelan. Malam itu akhirnya aku dan Abiel secara resmi memulai hari pertama kami sebagai pasangan. Aku dan Abiel sangat bahagia, kami akhirnya bisa menjadi pasangan. Kami bahagia, meskipun setibanya kami di rumah kami sama-sama merasakan sakit perut karena nasi goreng yang terlalu pedas dan teh tawar yang rupanya terlalu panas. 

Tapi setidaknya kami bahagia, dan kami saling menyayangi. 

----


Dihadapanku, telah terhidang satu paket bento yang membawa aroma yang menggugah selera. Vinna dan Hanna telah menyantap hidangan mereka karena pesanan yang datang lebih dulu. Sementara itu Reza justru sibuk membantu adiknya, Reyhan, mengerjakan tugas rumahnya. 

"Ini 'kan variabelnya beda. Kalau dijumlahkan harus dengan variabel yang sama. Ingat 'kan, ayam harus dimasukkan ke kandang ayam lagi. Bebek dengan bebek," ujar Reza. 
"Berarti x kuadrat ini dijumlahkan dengan x kuadrat lagi, 'kan?" tanya Reyhan. 
"Ya. Tinggal sekarang yang variabel y," jawab Reza. 

Reza kemudian mulai menyantap makan siangnya, sementara Reyhan tetap mengerjakan tugas rumahnya. Suasana menjadi hening karena kami sibuk dengan kegiatan masing-masing. 

"Tha, hari ini dijemput sama Abiel?" tanya Hanna tiba-tiba. 
"Ya. Kenapa memangnya?" tanyaku. 
"Nggak apa-apa," jawab Hanna, "Dia bukannya masih dalam jam kerja?" 
"Dia bilang izin sebentar buat antar aku pulang. Aku udah bilang sih supaya dia tetap kerja, tapi dia maksa mau antar aku pulang," jelasku. 

Vinna dan Hanna saling menatap, lalu mereka melayangkan pandangannya ke arahku. 

"Sejauh ini kalian sudah ngapain aja?" tanya Vinna. 
"Ngapain aja? Aduh, kesannya kayak kita sudah macem-macem," jawabku kaget, "Biasa aja, pacaran selayaknya pasangan-pasangan lain" 
"Tha, kalian sudah mulai ngomongin hal yang serius? Maksud aku, sudah mulai ngomongin untuk masa depan?" tanya Hanna. 
"Belum. Memangnya kenapa?" tanyaku. 

Hanna meringis pelan. 

"Tha, aku sama Vinna nggak ngelarang kamu untuk dekat dengan Abiel. Tapi maksud kita.. Ya, kamu tahu 'kan Abiel sekarang kerja di minimarket. Maksudku, Abiel harus cepat cari pekerjaan yang lain," jelas Hanna, "Kita berdua takut mamamu nggak setuju" 
"Kita berdua sih mendukung keputusan kamu, dan berharap itu keputusan yang terbaik. Tapi Tha, kita takut mamamu nggak setuju dengan keputusan itu," tambah Vinna. 

Aku tertegun sejenak. Ah, aku tahu kemana arah obrolan ini berjalan. Aku pun sempat memikirkan hal itu. Bagaimana jika Abiel akan terus melanjutkan hubungan ini sampai tingkat yang lebih serius? Aku tak berharap banyak dari pasanganku, tapi setidaknya pasanganku harus dapat menghidupi anak dan istrinya. Aku sebetulnya tak peduli dengan omongan orang-orang, tapi ucapan Hanna dan Vinna tentang ibuku membuatku gugup. Bagaimana jika ibu tak setuju? Bisa dikatakan saat ini Abiel memang belum mapan secara ekonomi, tapi toh ia bekerja untuk melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi, dan itu artinya, ia bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik nanti. 

"Nanti aku coba bicara sama Abiel," ujarku, "Toh sekarang ini dia kerja untuk kumpulkan uang supaya bisa lanjut kuliah S2" 
"Ya, Tha. Kita paham kok. Maaf ya kita bikin kamu gamang," ujar Hanna gugup. 
"Ya, kita minta maaf," tambah Vinna. 

Reza diam saja. Nampaknya ia tak ingin ikut campur dalam urusan ini, meskipun aku tahu sebetulnya ia ingin mengatakan sesuatu. 

"Kalau memang sayang, ya sayang. Masa sayang setengah-setengah?" 

Aku, Vinna, Hanna, dan Reza terkejut. Reyhan tiba-tiba berbicara. 

"Maksudnya, Rey?" tanya Reza. 
"Kalau mbak Etha memang sayang sama mas Abiel, maka lanjutkan. Yang bikin mbak Etha sayang sama mas Abiel apa sebetulnya? Kalau mbak Etha sayang sama mas Abiel karena hal materi, mendingan mbak Etha berhenti aja. Jangan mencintai seseorang sepenuhnya karena materi karena yang namanya uang bisa lenyap begitu saja. Cintai seseorang karena dirinya, bukan uangnya. Kalaupun mau, carilah uang bersama-sama jadi nanti kalian sukses bersama," jelas Reyhan. 

Ucapan Reyhan membuat kami tertegun. Astaga.. Bocah kelas 2 SMP ini.. 

"Rey jadi ingat waktu dulu Rey sama mas Eza nggak akur. Rey berubah setelah Rey sadar bahwa Rey harusnya menyayangi apa yang Rey punya saat ini. Rey masih punya mas Eza dan ayah meskipun yang Rey inginkan adalah ibu kembali. Tapi daripada terlalu sibuk mengharapkan dan menyayangi sesuatu yang nggak akan kita dapat, lebih baik kita fokus dan menyayangi apa yang ada saat ini. Selagi kita masih dikasih kesempatan untuk menyayangi apa yang kita punya, maka sayangi dan jaga baik-baik" 

Reza terharu dengan ucapan adiknya. Ia merangkul dan mengacak-acak rambut bocah kelas 2 SMP tersebut, sementara aku tak sadar aku telah menangis terharu. Kuseka air mata di pipiku. Kulihat ke arah jendela, sosok Abiel dengan motornya memasuki area parkir. Aku menghabiskan minumku lalu membereskan barang-barangku ke dalam tasku. 

"Mau kemana, Tha?" tanya Hanna. 
"Abiel udah datang," jawabku. 
"Pergi sekarang?" tanyanya lagi. 

Aku mengangguk pelan. 

"Masa depan nggak ada yang tahu. Aku nggak tahu apakah nanti Abiel akan kerja di perusahaan besar, atau masih tetap jadi kasir. Yang aku tahu saat ini adalah aku dan Abiel saling menyayangi. Reyhan benar. Sayangi apa yang kita punya selagi kita masih punya kesempatan. Dan juga, aku sadar aku sayang sama Abiel bukan karena uangnya. Aku sayang sama Abiel karena Abiel punya sesuatu yang orang lain nggak punya. Vin, Han, aku udah suka dengan senyum dan keramahan Abiel sejak pertama aku lihat dia siang itu," ujarku. 

Hanna, Vinna, dan Reza tersenyum padaku, sementara Reyhan kembali mengerjakan tugas rumahnya. 

"Terima kasih ya, Reyhan," ujarku seraya mengacak-acak rambut bocah itu. 

Aku pamit pada teman-temanku lalu setengah berlari keluar menuju area parkir. Abiel telah menungguku disana. Tersenyum ramah padaku, Abiel meminjamkanku helmnya. 

"Pulang sekarang?" tanyanya. 
"Ya," jawabku, "Aku sudah beres kok" 

Aku segera naik ke atas motor. Abiel lalu memacu motornya di jalan raya. 

"Tha, aku kepikiran untuk lamar kerja di bank. Menurut kamu, bagus nggak kalau aku kerja di bank?" ujarnya. 

Aku mengusap pundaknya. 

"Biel, apapun pekerjaan kamu, yang penting kamu ikhlas dan tulus melakukannya. Meskipun upahnya nggak besar, tapi kalau memang itu passion kamu, pekerjaan yang kamu lakukan bakalan terasa menyenangkan dan kamu akan semangat mengerjakannya," jawabku, "Yang jelas, aku akan tetap sayang sama kamu kok, Biel" 

Abiel tertawa kecil. 

"Terima kasih, Tha," ujarnya. 

Kujawab ucapan terima kasihnya dengan sebuah pelukan hangat. 

0 comments:

Post a Comment