photo credit: Ahnenerbe |
“Dimitri, kita harus pergi sekarang”
Aku tak mempedulikan suara yang berasal dari radio yang kupegang. Kakiku terus melangkah, hati-hati menapaki satu persatu anak tangga nampak rapuh. Aroma tembakau tercium kuat. Bukan karena ada kepulan asap rokok di sekitarku; udara yang kuhembuskan terjebak oleh masker kain berwarna biru muda yang menutupi mulut dan hidungku. Aku ingat aku sudah menghisap lima batang rokok hari ini dan mungkin aku akan menghisap lima batang lagi. Ya, dan mungkin ditambah beberapa gelas vodka di malam hari, seperti biasanya.
Aku tiba di lantai lima. Tepat dihadapanku adalah pintu lift yang berkarat, terbuka sedikit menampakkan kegelapan pekat dibaliknya. Dulu aku sangat takut akan kegelapan, dan sampai sekarang pun aku masih tak menyukai kegelapan. Siapa pula yang senang dengan kegelapan? Aku pernah beberapa kali mendengar cerita mengenai orang-orang yang mati karena terjebak di dalam kegelapan. Lampu kamarku tak pernah kumatikan di malam hari, bahkan saat aku tidur; neon putih yang terpasang di kap lampuku selalu menyala sepanjang malam. Aku terus berjalan menyusuri koridor yang berantakan. Mulai dapat kucium aroma kayu yang lembab dan membusuk. Di lantai berserakkan lembaran-lembaran kertas, potongan-potongan kayu, serpihan kaca, sampai benda-benda seperti boneka porselen tak berkepala, remote control televisi, bantal-bantal yang terkoyak, dan beberapa helai pakaian yang warnanya sudah pudar. Koridor remang ini hanya diterangi oleh cahaya matahari yang masuk melalui pintu kaca besar di kedua ujung koridor. Berada di tempat seperti ini, aku merasa seperti sedang bermain dalam satu scene dramatis di sebuah film. Semilir angin musim semi masih terasa dingin. Angin itu berdesir, lalu membelai pohon-pohon cemara yang kering, membuat mereka saling bergesekkan dan menghasilkan bunyi gemersik. Suara-suara itu terdengar seperti bisik-bisik beberapa orang yang mengikutiku di belakangku.
Tibalah akhirnya aku di depan pintu berwarna gading itu. Angka sepuluh yang ditempel pada papan pintu itu telah berkarat, seperti halnya plat bertuliskan Korzhakov yang ditempel di bawahnya. Untuk sejenak aku hanya terpaku menatap pintu itu. Tanganku lalu tiba-tiba dengan refleks memegang knop pintu perunggu itu. Knop pintu itu terasa dingin. Aku memutar knop itu dan pintu itu pun terbuka, menampakkan apa yang ada dibaliknya. Cahaya matahari menerangi ruangan yang kumasuki, masuk melewati dua jendela yang menghadap ke arah kota. Aku berjalan ke arah salah satu jendela. Cuaca hari ini nampak sedikit berbeda. Tiba-tiba kudengar suara pintu di belakangku tertutup. Aku terkejut dan segera berbalik.
“Bagaimana keadaanmu sekarang?”
Bibi Ivanka menghampiriku dan menyentuh dahiku. Aku mengernyitkan dahiku, menatapnya bingung. Wanita itu lalu meringis pelan.
“Bibi, kau tak pergi bekerja hari ini?” tanyaku.
“Tidak. Ibumu memintaku menjagamu hari ini jadi aku terpaksa mengambil cuti selama satu hari,” jawabnya.
Aku berjalan ke arah ruang makan. Bibi Ivanka baru saja membuatkan segelas susu untukku. Ia lalu membaca kembali catatan yang ibu sengaja tuliskan untuknya.
“Ya. Aku bahkan sudah mencuci mangkukku,” jawabku.
“Setelah minum susu, ada baiknya kau kembali beristirahat. Seperti yang kukatakan tadi, kau belum boleh banyak beraktivitas. Jika kau membutuhkan sesuatu, segera beritahu aku,” ujar bibi Ivanka, “Astaga, aku pun merasa sedikit pusing pagi ini. Apa mungkin aku tertular demam darimu?”
Bibi Ivanka lalu berjalan ke arah ruang keluarga dan memutar piringan hitam musik. Ia lalu mengambil majalahnya di atas meja dan berbaring di atas sofa sambil membaca majalah. Aku kembali melirik ke luar jendela. Tadi malam sekitar pukul setengah dua, aku terbangun oleh suara telpon. Ayah menjawab panggilan telpon tersebut dan kedengarannya sesuatu yang sangat serius baru saja terjadi sehingga ia terpaksa harus pergi, padahal baru dua hari ayah berada di rumah. Sebelum pergi ayah sempat masuk ke kamarku dan berpamitan. Aku lalu beranjak menuju jendela dan melihat keluar. Ayah mengemudikan mobilnya keluar dari pelataran parkir apartemen dengan cepat lalu menghilang di ujung persimpangan. Sampai sekarang ayah belum kembali.
“Bibi, apa kau tahu bahwa ada kasus krminal yang terjadi tadi malam?” tanyaku.
“Tidak. Aku tak tahu apapun,” jawabnya.
“Ibu tak memberitahumu?” tanyaku lagi.
“Tidak. Ibumu tak bicara apapun tentang kasus apapun saat bertemu denganku,” jawabnya.
Aku beranjak dari kursiku dan berjalan menuju ruang keluarga. Aku naik ke atas kursi ayah dan membetulkan posisi bantalnya sehingga aku bisa duduk bersandar dengan nyaman. Kursi ayah berukuran besar, dengan sandaran dan bantalan yang empuk. Duduk di kursi besar itu membuatku merasa hangat, aman dan nyaman.
Bibi Ivanka tetap membaca majalahnya. Aku menatap ke arah jam. Waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Sebenarnya jika saja ayah tak harus pergi bertugas tadi malam, mungkin saat ini yang menjagaku adalah ayah, bukan bibi Ivanka. Bibi Ivanka bisa bekerja pagi ini, dan tak perlu menjagaku. Aku tak mau jika hanya berbaring di tempat tidurku karena itu membosankan. Seandainya Agnessa hari ini tak bersekolah, mungkin ia bisa menemaniku bermain kartu atau membaca buku bersama. Agnessa pulang dari sekolah pukul dua siang dan itu artinya aku masih harus menunggu selama empat jam sebelum ia tiba di rumah. Bibi Ivanka jelas bukan teman bermain yang baik.
Bibi Ivanka membetulkan posisi tubuhnya dan tertidur. Aku meringis pelan. Aku bangun dari tempat dudukku dan berjalan menuju kamarku, dan aku pun mulai merasa pusing. Kuharap dengan beristirahat aku akan merasa jauh lebih baik. Aku pun naik ke atas tempat tidurku, menarik selimutku, dan tertidur.
----
“Dimitri. Bangunlah”
Aku segera terbangun saat seseorang memanggil namaku. Saat kubuka mataku, kulihat bibi Ivanka sudah berada di sampingku, menepuk-nepuk lengan kananku.
“Dimitri, aku harus pergi sekarang menjemput kakakmu,” jawab bibi Ivanka.
“Ah. Apakah ini sudah pukul dua?” tanyaku lagi.
“Tidak. Ini masih pukul dua belas”
“Dua belas? Bukankah sekolah berakhir pada pukul dua?”
“Aku mendapat telpon dari pihak sekolah bahwa banyak anak-anak yang sakit hari ini. Beberapa bahkan mengalami muntah-muntah dan harus dilarikan ke rumah sakit”
“Rumah sakit? Bagaimana bisa?”
“Entahlah. Yang jelas aku ingin kau berhati-hati selama aku pergi. Jangan tinggalkan rumah dan jangan biarkan orang asing masuk. Aku membawa kunci cadangan apartemen ini. Aku harus pergi sekarang. Semoga saja Agnessa tidak ikut sakit seperti teman-temannya yang lain”
Bibi Ivanka lalu bergegas pergi, meninggalkanku yang masih tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Aku pun berjalan ke arah jendela dan melihat keluar. Ada beberapa ambulans terparkir di area parkir, dan dua mobil polisi yang melintas cepat di jalan utama. Kulihat beberapa orang dibawa masuk ke dalam ambulans.
Apa yang terjadi pada orang-orang? Mengapa banyak orang sakit hari ini? Beberapa anak di sekolah bahkan sampai harus dilarikan ke rumah sakit. Aku tertegun sejenak, merasa agak sesak setiap kali aku menarik nafas. Apakah terjadi perubahan cuaca? Atau mungkin, apakah ada virus yang tersebar melalui udara sehingga banyak orang-orang yang sakit hari ini? Jam di ruang keluarga berdentang, menandakan lima belas menit telah berlalu. Ah, kurasa sudah waktunya makan siang. Aku pun lalu beranjak menuju ruang makan. Rupanya bibi Ivanka telah menyiapkan makan siang untukku. Aku duduk di kursi makan dan mulai makan, namun rasa penasaranku membuatku tak nafsu makan. Setelah sepuluh suapan, aku memutuskan untuk berhenti dan meminum obatku, mengikuti dosis yang ada pada catatan yang ibu tulis dan tempel di pintu kulkas.
Setelah akhirnya mampu menelan pil-pil pahit itu, aku beranjak menuju ruang keluarga. Kunyalakan televisi dan aku duduk di kursi besar ayah, menonton acara televisi. Saat ini televisi sedang menyiarkan acara berita siang. Aku tak tertarik dengan acara seperti itu, lantas kupindahkan ke saluran televisi yang lain. Rupanya ada salah satu saluran televisi yang menyiarkan acara memasak. Ya, setidaknya ini lebih baik. Wanita muda itu sedang memasak hidangan Italia, dan itu sedikitnya membangkitkan selera makanku. Aku mulai merasa lapar lagi, tapi aku tak ingin memakan sisa makan siangku. Aku ingin makan pasta. Mengapa orang sakit harus memakan makanan yang sangat lembut? Tak bisakah menghidangkan sesuatu yang menggugah selera seperti pasta untuk orang sakit? Aku tak ingin makan bubur! Aku ingin pasta! Aku bahkan bisa merasakan bagaimana potongan-potongan fusili itu meluncur turun ke kerongkonganku bersama asam dan manis saus Bolognese yang merah mencolok. Aku pun bisa merasakan parutan-parutan keju meleleh di lidahku. Seandainya aku bisa memasak, mungkin saat ini aku sudah mengacak-acak dapur, mencari bahan-bahan yang kuperlukan untuk membuat pasta.
“Dimitri. Dimitri, bangunlah”
Aku mulai dapat melihat kembali. Kabut itu perlahan menghilang dan akhirnya dapat kulihat bibi Ivanka, kakakku Agnessa, dan televisi yang saat ini tak lagi memperlihatkan sepiring pasta lezat. Agnessa nampak pucat namun ia masih tetap mencoba tersenyum padaku.
“Ah.. Kurasa begitu,” jawabku, “Tadi aku sedang menonton program memasak”
“Memangnya apa yang mereka masak?” tanya Agnessa.
“Pasta. Kau tahu, fusili dengan saus Bolognese,” jawabku.
“Baiklah. Pasta. Dan kau belum menghabiskan makan siangmu,” sambung bibi Ivanka.
Aku meringis pelan.
“Aku merasa mual, jadi aku tak menghabiskannya,” balasku.
“Beberapa temanku tadi mengalami sakit kepala lalu mereka merasakan mual,” sambung Agnessa.
“Kurasa ada yang salah dengan hari ini. Banyak orang-orang yang sakit dan aku tak tahu apa sebabnya,” tambah bibi Ivanka, “Aku pun memang sempat mengalami sakit kepala sebelum dan dalam perjalanan untuk menjemputmu, Agnessa. Apa ada yang salah dengan cuaca hari ini? Kurasa cuaca hari ini baik-baik saja. Benar, ‘kan?”
Aku bangun dari kursi ayah dan berjalan menuju jendela. Kulihat cuaca di luar cerah berawan. Benar-benar hari yang cerah dan indah, menurutku. Tak ada yang salah. Jadi, apa yang sebenarnya terjadi? Bibi Ivanka lalu merapikan meja makan sementara kakakku berganti pakaian. Aku menoleh ke belakangku, menatap ruang keluarga yang kosong. Televisi menyala, namun tak ada siapapun yang duduk di kursi dan sofa yang ada. Aku lalu melirik jam yang menunjukkan pukul setengah tiga. Kapan ayah akan pulang?
“Bibi, kapan ayah akan pulang?” tanyaku.
“Entahlah, Dimitri. Aku tak tahu,” jawab bibi Ivanka.
“Mengapa lama sekali ayah kembali?” tanyaku, “Bukankah saat ini seharusnya ayah sudah berada di rumah? Lagipula minggu ini adalah waktunya ayah berlibur”
Aku mendengus kesal. Kemarin ayah berjanji bahwa hari ini kami akan bermain monopoli. Jangan katakan bahwa ayah akan pulang pada malam hari di saat aku telah tidur. Ayah memang seringkali mendapat telpon mengenai beberapa kasus, baik kebakaran maupun kasus-kasus kriminal yang membuatnya terpaksa harus pergi ke tempat kejadian dan mengamankan tempat tersebut bersama rekan-rekan kerjanya. Sebenarnya apa yang ayah hadapi saat ini? Serumit apakah kasusnya sampai ayah yang sedang berlibur terpaksa terlibat untuk menyelesaikan kasus itu?
“Untuk apa, Dimitri?” tanya bibi Ivanka.
“Menanyakan keberadaan ayah. Tanyakan pada mereka kapan ayah akan pulang,” jawabku.
“Aku tidak bisa, Dimitri,” sanggah bibi Ivanka, “Aku tak bisa mengganggu pekerjaan mereka”
“Tapi itu tak mengganggu. Hanya menanyakan pada mereka kapan ayah akan pulang”
“Dimitri, kita tak tahu seperti apa kasus yang ayahmu tangani. Jangan sampai satu panggilan telpon mengacaukan tugasnya”
Aku memajukan bibirku. Mataku mulai terasa panas dan berair. Memangnya apa yang salah dengan menanyakan hal seperti itu? Aku hanya ingin tahu kapan ayah akan pulang. Tak lebih dari itu. Aku pun lantas berjalan ke kamar Agnessa. Ia rupanya sedang merapikan buku-buku ceritanya. Saat aku berdiri di ambang pintunya, kakakku melihatku dan segera menghampiriku.
“Astaga, Dimitri! Apa yang terjadi? Mengapa kau menangis?” tanyanya seraya mengusap air mataku.
“Agnessa, maukah kau menghubungi kantor polisi?” tanyaku.
“Kantor polisi? Untuk apa?” tanya Agnessa.
“Tanyakan pada mereka kapan ayah akan pulang,” jawabku.
“Ah, sayang sekali aku tak bisa melakukannya,” sanggah Agnessa, “Kita tak tahu apa yang terjadi disana dan kau tahu kita tak boleh mengganggu mereka saat bekerja”
“Tapi aku ingin ayah pulang!”
“Mungkin ayah akan pulang nanti malam. Bukankah sudah biasa ayah pulang di malam hari?”
Aku mulai terisak. Agnessa membawaku masuk ke kamarnya dan membuka papan permainan monopoli di atas karpet. Kami lantas duduk di atas karpet, saling berhadapan.
“Kita bisa bermain bersama ayah saat ayah pulang,” jawab Agnessa.
“Aku ingin ayah pulang sekarang,” tegasku.
“Kita tetap harus menunggu, Dimitri,” tegas Agnessa, “Sembari menunggu kita bisa bermain berdua. Kau mau bemain denganku sambil menunggu ayah pulang, ‘kan?“
Dengan enggan aku menerima beberapa lembar uang yang dibagikan Agnessa. Ia merapikan tumpukkan uang dan mengambil satu pion berwarna hijau sebagai pionnya. Aku mengambil pion berwarna biru, warna kesukaanu. Agnessa memulai permainan seperti biasa, karena ia lebih tua dariku. Ia mengocok dadu dan mendapat angka enam. Pion hijau itu digerakannya enam langkah dari petak mulai.
“Giliranmu,” ujar Agnessa seraya memberikanku dua buah dadu.
Aku mulai mengocok dadu dan melemparkannya ke tengah-tengah papan permainan. Kedua dadu itu menunjukkan angka yang sama, enam. Aku memajukan pionku dua belas langkah dari petak mulai.
“Kau mendapat giliran lagi. Tadi kedua dadumu menunjukkan angka yang sama,” ujar Agnessa.
Aku mengocok lagi dadu dan kali ini angka tujuh yang muncul. Belum sempat aku menggerakkan pionku, terdengar telpon berdering dari arah ruang keluarga. Aku melihat ke arah pintu yang terbuka. Terdengar pula langkah bergegas dan akhirnya nampak bayangan bibi Ivanka berlari menuju telpon dari arah ruang makan.
Aku segera menggerakkan pionku sejauh lima langkah. Saat ini aku benar-benar tak ingin bermain. Aku hanya ingin ayah pulang. Itu saja. Kami baru bermain beberapa menit dan permainan ini sudah terasa membosankan bagiku. Aku kemudian mengembalikan uang mainan yang kumiliki ke tempatnya. Agnessa terkejut saat aku melakukannya.
“Ada apa? Kau tak ingin bermain?” tanya Agnessa.
“Aku sedang tak ingin bermain”
Terdengar suara obrolan yang serius dari arah ruang keluarga. Aku dan Agnessa saling melempar pandangan bingung. Apa yang terjadi? Bibi Ivanka terdengar panik, cemas, dan kebingungan. Agnessa segera bangun dan menarik tanganku, membawaku ke ambang pintu. Kami menguping perbincangan antara bibi Ivanka dengan seseorang di telpon saat ini. Agnessa menatapku dan menaruh telunjuknya di bibirku.
“Jangan bicara apapun,” bisiknya.
Aku mengangguk pelan. Obrolan terus berlanjut tapi aku tak dapat benar-benar memahami apa yang mereka bicarakan. Aku hanya dapat menangkap beberapa kata; ledakan besar, polisi, kebakaran, rumah sakit. Polisi? Ayah adalah seorang polisi. Apa yang terjadi dengannya? Apakah ledakan besar itu melukai ayah? Apakah ayah baik-baik saja saat ini? Rumah sakit. Apakah ayah berada di rumah sakit saat ini? Lamunanku terpecahkan oleh kehadiran bibi Ivanka secara tiba-tiba. Agnessa terkejut sampai ia hampir jatuh. Bibi Ivanka menatap kami berdua. Matanya nampak sangat merah.
“Ada apa, bibi?” tanyaku.
Bibi Ivanka lalu berlutut dan memeluk kami berdua. Aku tak mengerti apa yang terjadi namun bibi Ivanka mulai menangis. Aku mulai memikirkan tentang hal yang buruk. Tidak. Itu tak boleh terjadi. Itu tak akan pernah terjadi.
“Apakah ayah baik-baik saja?” tanyaku.
Bibi Ivanka melepaskan pelukannya, menghapus air matanya, lalu tersenyum pada kami berdua.
“Ayah kalian baik-baik saja,” jawabnya.
“Apakah ayah berada di rumah sakit?” tanyaku.
“Ya. Tapi ia baik-baik saja saat ini,” jawabnya lagi.
“Apakah ayah akan pulang hari ini?” tanya Agnessa.
“Entahlah, aku tak yakin,” jawab bibi Ivanka ragu.
“Kumohon! Katakan pada mereka agar mereka mengijinkan ayah pulang. Kumohon,” rengekku.
Bibi Ivanka mulai menangis lagi. Aku dan Agnessa terdiam. Agnessa lalu mencubit lenganku.
Aku terdiam sejenak dan tertunduk. Apa yang harus kulakukan sekarang? Apa yang sebenarnya terjadi? Aku telah melihat mobil-mobil ambulans. Ledakan besar itu terjadi di tempat yang cukup jauh dari tempat tinggal kami, tapi mobil-mobil ambulans berkeliling kota. Sirene nyaring mereka membuatku takut. Ya. Bunyi sirene itu membuatku takut.
Ibu belum juga pulang; begitupula ayah. Bibi Ivanka menemani kami menyantap hidangan makan malam. Dihadapan kami terhidang makerel saus tomat, tapi aku sama sekali tak tertarik. Agnessa menghabiskan makanannya, tapi tidak denganku. Aku tak selera makan sejak siang ini. Banyak hal yang mengganggu pikiranku, terutama tentang ayah.
“Dimitri, mengapa kau tak menyentuh makananmu?” tanya bibi Ivanka.
“Aku tak lapar,” jawabku pelan.
“Kau sedang sakit. Kau harus makan,” bujuk bibi Ivanka.
“Aku tak mau,” jawabku seraya turun dari kursiku.
Aku berjalan ke arah kamar ayah dan ibu. Memasukinya, aku melihat kamar itu nampak rapi. Meja kerja ayah nampak berantakan, tapi lain halnya dengan meja kerja ibu yang tertata rapi. Aku naik ke tempat tidur orangtuaku dan merebahkan tubuhku di atasnya. Menatap langit-langit putih di atasku, aku mencoba menenangkan diriku. Sedari tadi aku menunggu ibu dan ayah. Mereka belum juga tiba. Mengapa lama sekali mereka pergi? Kupejamkan mataku sejenak, mengingat kembali apa yang kulihat siang tadi. Mobil-mobil ambulans, asap yang mengepul dari kejauhan, dan laporan-laporan tentang anak-anak yang sakit secara mendadak. Hal-hal itu membuatku tak mengerti akan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Kubuka mataku dan kembali kulihat langit-langit berwarna putih itu. Aku bangun dari tempat tidur dan berjalan menuju gantungan pakaian di dinding. Kuambil topi polisi ayah dan kukenakan topi itu lalu berkaca. Suatu hari nanti aku ingin menjadi polisi seperti ayah, pikirku. Aku pun berlari menuju lemari pakaian ayah dan mengambil jaket polisi ayah lalu mengenakannya. Jaket itu terasa berat dan terlalu besar di tubuhku, tapi aku tak peduli. Aku tetap mengenakannya dan kemudian aku kembali berkaca.
Pasti sangat menyenangkan bekerja menjadi seorang polisi. Polisi membantu memberantas kejahatan, menegakkan keadilan, dan menjaga keamanan kota. Aku bangga karena ayahku adalah seorang polisi. Aku juga ingin dibanggakan, seperti halnya ayah yang dibanggakan olehku dan keluarga. Karena itu, suatu hari nanti aku harus menjadi seorang polisi. Pintu kamar terbuka dan bibi Ivanka masuk ke kamar. Ia melihatku, menatapku khawatir.
“Dimitri. Apa yang kau lakukan?” tanyanya.
“Mengenakan topi polisi dan jaket ini. Aku ingin menjadi polisi,” jawabku.
Bibi Ivanka menghela nafas lalu segera menghampiriku dan memelukku erat. Aku berada dalam pelukannya cukup lama. Entah berapa lama, namun cukup lama sampai aku merasa gerah. Bibi Ivanka melepaskan pelukannya lalu menatapku. Ia melepaskan topi polisi ayah yang kukenakan dan mengusap pelan rambutku.
“Apakah ayah akan pulang malam ini?” tanyaku.
“Entahlah. Kurasa tidak malam ini,” jawabnya.
Aku tertunduk lesu. Kapan ayah akan pulang?
----
Aku terbangun oleh suara obrolan dari arah ruang keluarga. Rasa sakit di kepalaku sudah mulai berkurang meskipun tubuhku masih terasa lemas. Perlahan aku turun dari tempat tidurku dan berjalan menuju pintu kamarku. Aku membuka sedikit pintu kamarku dan mengintip ke arah ruang keluarga. Agnessa duduk di ruang keluarga, menonton televisi dengan serius. Matanya nampak merah seperti habis menangis. Sementara itu, bibi Ivanka mondar-mandir berjalan sambil bicara di telpon dengan seseorang yang kurasa adalah ibu.
“Apa yang harus kulakukan sekarang? Kau harus segera pulang. Aku tak ingin salah ambil keputusan”
Aku mengernyitkan dahiku. Apa bibi Ivanka dan ibu sedang bertengkar sekarang?
“Apa yang harus kukatakan pada anakmu? Ia sedang sakit sekarang. Agnessa? Ya, kau tahu ia mengetahuinya. Kami baru saja melihat berita tentang ledakan besar itu di televisi. Ya. Pihak sekolah menghubungiku tadi pagi, memberitahuku bahwa sekolah diliburkan hari ini”
Aku keluar dari kamarku. Bibi Ivanka dan Agnessa terkejut melihat kehadiranku. Agnessa mengecilkan suara televisi dan bibi Ivanka mengakhiri obrolannya di telpon. Aku menatap kedua orang tersebut dengan tatapan bingung. Apa yang sebenarnya terjadi?
“Ya,” jawabnya, “Ia masih berada di rumah sakit”
“Kapan ibu akan pulang?”
“Entahlah. Kuharap ibumu akan pulang secepatnya”
“Bersama ayah?”
“Aku tak tahu”
Agnessa bangun dari tempat duduknya dan berjalan ke arahku. Tanpa sepatah kata ia menggenggam tanganku dan membawaku kembali masuk ke kamarku. Bibi Ivanka sempat ingin ikut masuk ke kamarku namun Agnessa melarangnya. Pintu kamarku ia kunci dari dalam.
“Apa yang terjadi? Mengapa kau membawaku kembali ke kamarku?” tanyaku.
“Kau harus tetap berada di kamarmu,” jawabnya, “Jendela-jendela kamarmu sudah kau tutup rapat?”
“Aku tak membukanya”
“Kau tak boleh membuka jendela”
“Agnessa, bagaimana dengan ayah? Apa kau tahu kapan ayah akan pulang?”
“Tidak. Kurasa ayah tak akan pulang”
“Maksudmu, ia masih harus dirawat di rumah sakit? Bisakah kita mengunjunginya?”
Agnessa terdiam sejenak.
“Kita tak bisa mengunjunginya,” jawab Agnessa pelan.
“Mengapa begitu?” tanyaku kesal, “Maksudmu, kita hanya bisa menunggu sampai ibu dan ayah pulang?”
“Ibu akan pulang hari ini, tapi tidak dengan ayah,” jelas Agnessa.
“Mengapa? Mengapa ayah tak bisa pulang hari ini?”
Agnessa tak bicara. Ia hanya memelukku erat. Aku mendengarnya menangis dan tangisannya membuatku takut. Refleks air mataku ikut mengalir keluar. Aku tak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi tapi aku punya firasat bahwa ayah memang tak akan pulang. Ayah tak akan kembali. Agnessa melepaskan pelukannya. Ia menyeka air matanya. Ia membawaku duduk di atas tempat tidurku.
“Aku tak tahu bagaimana menjelaskan ini padamu,” ujarnya.
“Kau harus menceritakan semuanya padaku,” pintaku, “Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi”
Agnessa pun menceritakan tentang ledakan besar itu—ledakan besar yang terjadi di reaktor nuklir yang letaknya tak jauh dari kota. Ledakan itu terjadi pada malam itu, di malam ayah terbangun di malam hari karena mendapat telpon untuk memeriksa lokasi kejadian. Reaktor yang meledak itu menyebarkan partikel-partikel kimia yang sangat berbahaya. Ayah memang tak terluka oleh ledakan tersebut namun berada cukup lama di luar ruangan dan terlalu dekat dengan reaktor itu membuatnya terekspos dengan radiasi nuklir yang merusak tubuhnya. Agnessa menjelaskan bahwa zat-zat berbahaya itu terbawa angin menuju kota dan itulah yang menyebabkan banyak orang-orang yang sakit kemarin. Ibu berada di rumah sakit untuk memeriksa keadaan ayah namun ibu sendiri tak bisa bertemu ayah secara langsung. Kondisi ayah semakin memburuk. Radiasi nuklir benar-benar merusak tubuhnya.
Aku tak bisa berhenti menangis saat Agnessa menceritakan semuanya padaku. Aku bahkan masih menangis saat Agnessa selesai bercerita. Kakakku memelukku erat, lebih erat. Aku ingin ayahku saat ini. Aku tak tahu apapun tentang reaktor nuklir ataupun zat-zat radioaktif yang mencemari udara saat ini; aku hanya ingin ayahku. Aku ingin bertemu ayah untuk setidaknya bicara padanya. Mungkin untuk yang terakhir kalinya.
Berjam-jam aku berada di kamarku, duduk di atas tempat tidurku. Aku melarang siapapun masuk ke kamarku. Aku tak ingin diganggu. Aku tak merasa lapar dan aku tak peduli jika aku tak makan seharian ini. Toh Agnessa yang bilang bahwa zat-zat radioaktif berbahaya itu telah mengkontaminasi udara kota. Makanan apapun yang dibuat akan terekspos dengan udara dan pada akhirnya makanan tersebut ikut terkontaminasi. Saat ini pun udara yang kuhirup pasti mengandung racun. Mungkin seluruh warga kota ini tinggal menunggu waktu untuk mengalami sesuatu yang ayah alami saat ini. Aku membetulkan posisi topi polisi ayah yang kukenakan. Siang hari ini cuaca sangat cerah dan hangat dan aku tetap mengenakan jaket polisi ayah. Terdengar suara bising dari arah luar, seperti sebuah pengumuman yang diumumkan untuk seluruh warga kota. Aku tak peduli. Pasti itu pengumuman tentang ledakan reaktor nuklir itu yang menghimbau warga untuk mengenakan masker agar tak menghirup udara yang beracun ini. Pintu kamarku tiba-tiba terbuka, menampakkan sosok ibuku. Aku meliriknya dan kemudian kembali kulayangkan pandanganku pada dinding kosong di hadapanku.
Ibu menghampiriku dan memelukku. Seperti halnya yang dilakukan Agnessa pagi tadi, ia menangis sambil memelukku. Aku sendiri sudah tak mampu menangis. Maksudku, saat ini aku menangis, tapi air mataku habis terkuras. Saat ibu memberitahuku bahwa ayah tak akan pernah pulang, aku sudah tak mampu berkata apa-apa lagi. Aku sudah mengetahuinya. Zat-zat radioaktif itu telah membunuhnya. Aku yakin bukan hanya ayah yang mengalami hal seperti itu; beberapa rekan kerjanya yang pada malam itu pergi ke lokasi reaktor nuklir itu pasti mengalami hal yang serupa. Anak-anak mereka pasti sedang menangis sepertiku saat ini. Menangis. Kehilangan ayahnya dalam sekejap. Aku bahkan belum sempat bermain monopoli dengan ayah.
Aku hanya mampu berbaring di atas tempat tidurku, menatap langit-langit kamarku saat bibi Ivanka dan ibu memasukkan pakaian-pakaianku ke dalam sebuah tas besar. Bibi Ivanka terpaksa bolak-balik dari kamarku menuju kamar Agnessa karena gadis itu pun perlu bantuan. Apa yang mereka lakukan? Mengapa mereka mengemasi barang-barangku?
“Dimitri, bangunlah. Kita akan pergi,” ujar ibu.
“Aku tak ingin pergi,” tolakku pelan.
“Kita akan pergi dari tempat ini. Kita semua,” jelas ibu.
“Tidak. Tidak jika tanpa ayah,” tolakku lagi.
Dalam beberapa menit, ibu, bibi Ivanka, dan Agnessa telah siap untuk pergi. Mereka berkumpul di ruang keluarga sementara aku masih berada di atas tempat tidurku. Aku tak ingin pergi. Aku tak ingin meninggalkan tempat ini. Tidak, selama ayah belum kembali. Tapi aku tahu ayah tak akan kembali. Ia tak akan pernah kembali. Zat-zat radioaktif berbahaya itu telah membunuhnya. Ibu masuk ke kamarku, dengan susah payah berusaha agar aku mau duduk di atas tempat tidurku.
“Dimitri, kita akan pergi sekarang,” ujar ibu.
“Kalian yang akan pergi,” balasku.
“Dimitri, kita semua akan pergi dari tempat ini. Kita semua,” jelas ibu.
“Aku ingin ayah pulang, bu. Aku ingin ayah ikut pergi bersama kita”
Ibu kembali mendekapku. Ia mengusap pelan rambutku.
“Kita harus pergi sekarang”
Ibu melepaskan pelukannya dan menggenggam tanganku, membawaku keluar dari kamarku. Aku melepaskan genggaman tangannya.
Ibu, bibi Ivanka, dan Agnessa pergi terlebih dahulu. Mereka menungguku di koridor luar. Kini hanya ada aku sendiri di apartemen ini. Kosong. Ya, kosong. Tembok putihnya tak akan pernah lagi sama. Aku menutup pintu kamarku dan sesaat sebelum pintu kamarku tertutup, aku melihat baik-baik bagian dalam kamarku, mencoba menyimpan gambaran letak tempat tidurku, kursi, meja belajar, dan lemari pakaianku di dalam otakku. Aku menutup pintu kamarku lalu menutup pula pintu kamar orangtuaku dan pintu kamar Agnessa. Aku berjalan ke arah dapur dan membuka keran bak cuci. Kubiarkan air dari keran dapur membasuh tanganku untuk yang terakhir kalinya. Kututup keran air tersebut dan aku mengumpulkan seluruh tenaga dan keberanianku untuk meninggalkan tempat ini. Sesaat sebelum kubuka pintu keluar, aku menatap kembali apartemen kosong ini. Semua masih berada pada tempatnya. Aku pasti akan merindukan semuanya.
Pintu putih itu kubuka, menampakkan koridor yang remang dan lembab. Kayu-kayu yang membusuk membuat koridor ini bau. Aku berbalik dan kembali kulihat apartemen putih itu. Cat temboknya mengelupas. Dindingnya tak benar-benar putih; dindingnya menguning. Semua tak lagi sama. Aku menutup pintu apartemen itu. Kubetulkan posisi plat nama Korzhakov yang miring namun plat itu justru terlepas dari pintu itu. Aku memungutnya, meniup debu yang menempel di permukaannya. Kugenggam erat plat nama tersebut lalu kumasukkan ke dalam saku jaketku. Radioku kembali mendapat panggilan. Suaranya memecah kekosongan koridor ini.
“Dimitri Korzhakov. Kau dapat mendengar kami?”
Aku mengambil detektor partikel yang kukaitkan pada celanaku. Kulihat layar detektor tersebut menunjukkan angka yang menandakan tingkat radiasi di tempat ini.
“Nol koma sembilan,” jawabku, “Nol koma sembilan mikrosievert per jam”
----
0 comments:
Post a Comment