Sunday, July 20, 2014

Two Different Worlds. Our Same Word

Dingin. Ya, dingin. Itulah yang kurasakan saat ini. Derasnya hujan yang turun Sabtu sore ini membuatku merasa semakin dingin. Koridor ini nampak lengang dan sepi. Aku dan Reyhan hanya mampu berdiri menatap ke arah lapangan basket sambil menanti hujan reda. Kudribble bola basketku dan bola itu memantul ke arah ujung koridor saat aku kehilangan kendaliku. Sekarang bola itu keluar dari koridor, menggelinding ke arah taman sekolah. Reyhan melirikku dan mengangkat kedua bahunya. Sudah jelas kami tak mau menerobos hujan hanya untuk mengambil bola itu. 

"Tunggu sampai reda ya," ujar Reyhan. 

Aku mengangguk pelan. Kutarik zipper jaketku dengan harapan aku dapat menangkal udara dingin namun celana basketku yang pendek jelas-jelas membuka pertahananku. Aku tetap merasa dingin. Reyhan menggigil pelan. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya lalu berjalan pelan, merapatkan dirinya ke dinding lalu duduk bersandar pada dinding. 

Aku menghampiri Reyhan dan duduk di sampingnya. Nafas kami mulai menampakkan uap. Aku segera menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku. Kulirik bangunan yang berseberangan dengan bangunan tempatku dan Reyhan berteduh. Nampak pintu-pintu kelas di lantai dua telah tertutup, kecuali sebuah pintu yang masih terbuka. Ia masih berada disana saat ini, tapi apakah ia baik-baik saja? Tak ada pesan apapun yang masuk ke ponselku. Apa yang sedang ia lakukan? Seharusnya ia sudah pulang sejak awal dan tak perlu menungguku. Apakah ia merasa kedinginan, sama sepertiku? 

"Gea belum kirim pesan apapun," ujarku pelan. 
"Coba SMS aja," usul Reyhan. 
"Udah, tadi waktu kita sampe disini," jawabku. 
"Mungkin ponselnya mati"
"Entahlah" 

Aku menggenggam salib yang menggantung di leherku. Kurasakan tubuhku mulai menggigil. 

"Andra besok ke gereja?" tanya Reyhan. 
"Ya. Pagi," jawabku. 
"Hmm" 

Reyhan melirikku. 

"Gimana sama Gea? Baik-baik aja, 'kan?" tanyanya. 
"Ya, lah. 'Kan selama ini kamu juga lihat kita kayak gimana," jawabku. 
"Syukurlah," ujar Reyhan. 
"Ada apa memangnya?" aku balik bertanya. 
"Nggak apa-apa sih.. Cuma.."

Reyhan mengerem kata-katanya. Ia ikut melirik ke arah pintu kelas yang kutatap sejak tadi. Bocah itu menggigit bibir bawahnya. Nampak ada keraguan di raut wajahnya.

"Ada apa, Rey?" tanyaku.
"Hubungan kalian udah sejauh apa?" tanya Reyhan.
"Sejauh apa? Masih pacaran kayak biasa kok," jawabku.
"Apa kalian pernah ngobrol tentang kelanjutan hubungan kalian di masa depan?" tanya Reyhan lagi.
"Hmm.. Belum, tapi kita sebisa mungkin pertahankan," jawabku.

Reyhan tiba-tiba melirikku, dan entah mengapa secara refleks aku melepaskan salib di genggaman tanganku. Kurasa aku tahu apa yang ingin Reyhan utarakan. Reyhan menatapku sedih.

"Orangtua kalian saling tahu kalau kalian pacaran?" tanya Reyhan.
"Tahu kok," jawabku.
"Respon mereka gimana? Terutama setelah tahu kalau kalian beda keyakinan?"
"Entahlah. Tapi kalau mama papaku sih bilang ini masih sekedar cinta monyet, jadi mereka nggak terlalu peduli. Mungkin kalau sudah masuk hubungan yang lebih serius, mereka bakal concern sama isu keyakinan"

Kini aku yang menatap Reyhan sedih. Tidak, aku tak iba padanya. Aku justru iba pada diriku sendiri.

"Rey, aku sayang sama Gea. Kamu tahu, 'kan?"

Reyhan tertunduk lesu.

"Aku tahu, Andra. Aku sendiri 'kan yang jadi saksi mata hubungan kalian dari awal sampai sekarang. Aku sendiri yang bantu kamu waktu kamu mau nembak Gea, sampe aku dan Dilla terharu waktu kalian akhirnya jadian. Tapi keyakinan kalian berbeda dan kalau kalian mau mempertahankan hubungan kalian, cepat atau lambat kalian harus mulai mikirin tentang hal itu," ujar Reyhan.
"Kalau misalnya mama papaku setuju meskipun aku dan Gea beda keyakinan, aku rasa nggak jadi masalah. Kalaupun ada, aku rasa masalahnya muncul dari keluarga Gea karena mereka bisa jadi nggak setuju sama aku yang beda keyakinan," balasku.
"Bukan hanya itu, Dra. Di agama kami, dalam pernikahan nggak seharusnya dipimpin oleh suami yang agamanya non-Islam. Aku bukannya mau menyudutkan kamu, Dra, tapi aturannya memang gitu," tambahku.
"Jadi.. Aku nggak bisa buat bareng sama Gea?"
"Kamu bisa, tapi itu artinya kamu harus convert. Sementara itu aku tahu, Dra, kamu taat banget dalam ibadah dan juga bakalan sangat berat buat kamu untuk tinggalin apa yang kamu percaya"

Mataku mulai terasa sembab. Ya Tuhan, aku benar-benar mencintai gadis itu.

"Rey, hidup itu jahat, ya"

Aku menarik nafas dalam dan menahannya untuk beberapa saat. Kuhembuskan nafasku perlahan.

"Hanya karena beda keyakinan, aku sama Gea nggak bisa bersatu. Hidup ini jahat, Rey. Mungkin kesannya terlalu berlebihan buat aku dan Gea yang masih kelas tiga SMP, tapi memang gitu kenyataannya yang aku rasakan. Rey, aku sayang sama Gea. Aku sayang banget sama Gea. Gea juga sayang sama aku. Kami saling sayang dan cepat atau lambat, kami harus dihadapkan dengan kenyataan bahwa perbedaan keyakinan kami harus bikin kami berpisah. Rey, aku nggak mau pisah sama Gea"

Aku tertunduk lesu dan mulai terisak pelan. Aku tak peduli. Toh hanya Reyhan dan Tuhan yang melihatku menangis. Memangnya salah jika aku menangis? Toh aku menangis karena aku sedih jika harus berpisah dengan seseorang yang kusayangi. Kurasa semua orang pun begitu; akan ada perasaan sedih saat harus berpisah dengan yang terkasihi.

"Tuhan mengajarkan cinta dan kasih sayang kepada semua orang. Tuhan mengajarkan orang untuk saling menyayangi dan mengasihi. Tapi kenapa hanya karena perbedaan keyakinan, kita jadi nggak bisa menyayangi dan mencintai seseorang? Kenapa harus kayak gitu? Rey, kenapa aku nggak boleh sayang sama Gea?"

Rey terdiam. Ia tak menjawabku. Ada keheningan yang menyelimuti kami untuk sejenak, sampai akhirnya Rey mulai berbicara.

"Orang-orang bilang aku masih kecil buat suka sama orang lain. Setiap aku tanya ayah apakah aku mulai cinta sama seseorang, ayah bakalan ketawa karena kata ayah aku masih kecil, masih SMP. Aku nggak tahu banyak hal tentang cinta. Aku iri sama kamu, Dra, karena kamu meskipun masih SMP tapi punya pemikiran yang dewasa tentang hubungan kamu dan Gea," ujar Reyhan.

Aku mengernyitkan dahiku.

"Kamu benar, Dra. Aku bingung kenapa perbedaan keyakinan bisa sampe memutus hubungan dua orang yang saling sayang. Tapi Dra, aku jadi inget sesuatu. mas Eza punya sahabat, namanya mbak Aretha. Mbak Aretha pacaran dengan seorang cowo yang kerja jadi kasir minimarket. Beberapa temannya sempat ragu karena pekerjaan si cowonya itu, tapi aku justru kagum karena meskipun.. ya, kamu tahu lah perbedaannya dalam hal apa.. Hati mereka tetap bilang satu kata yang sama. Mereka saling mencintai. Dari sana, aku mulai belajar bahwa mencintai itu nggak harus berarti menjadi sama secara mutlak. Maksudku, kamu sama Gea nggak harus punya keyakinan yang sama untuk bisa saling mencintai dan menyayangi. Bahkan meskipun kalian nggak pacaran, kalian bisa tetap saling menyayangi kok"

Aku meringis pelan.

"Dra, kamu tetap bisa sayang sama siapapun yang kamu sayangi, dengan cara apapun dimana seseorang dapat disayangi dan dicintai. Cinta nggak buta, tapi mencintai nggak seharusnya pilih kasih, 'kan?"

Reyhan menepuk pundakku dan meninju bahuku.

"You're gonna make it, bro" 

Aku mengangkat wajahku dan menatap sahabatku. Reyhan tersenyum padaku dan aku membalas senyumnya. Ucapan Reyhan akan selalu kuingat dan apa yang ia katakan benar. Cinta tak seharusnya pilih kasih. Cinta tak pandang bulu. Kita bisa mencintai siapapun tanpa syarat, dan dengan cara apapun dimana seseorang dapat dicintai. Sahabatku menguatkanku, mendukungku saat aku merasa takut dan ragu.

----

Dingin. Ya, dingin. Itulah yang kurasakan saat ini. Derasnya hujan yang turun Sabtu sore ini membuatku merasa semakin dingin. Kelas ini terasa lengang dan sepi. Langit-langitnya yang tinggi membuatku merasa rendah. Angin berhembus masuk melalui pintu kelas, mencoba membekukanku. Di sekitarku adalah bangku-bangku kosong, kecuali sebuah bangku di depanku dimana sahabatku Dilla sedang duduk berhadapan denganku. Ia menatapku iba, sambil sesekali mengusap tanganku.

"Pada akhirnya kalian memang harus mulai mikirin hal itu, Gea"

Aku tertunduk pelan.

"Dil, aku sayang banget sama Andra. Sayang banget," ujarku pelan.
"Aku tahu, Gea. Aku tahu hubungan kalian dari awal sampai sekarang. Aku yang temenin kamu waktu kamu ditembak sama Andra, sampe aku dan Reyhan terharu waktu kalian akhirnya jadian," balas Dilla.
"Aduh.. Aku nggak tahu deh, Dil. Andra nggak bisa pindah begitu aja dan aku, jelas aku nggak akan pernah melepas apa yang aku percaya selama ini"
"Hubungan kalian memang sudah sejauh apa?"

Aku meringis pelan.

"Kami emang masih pacaran. Mungkin bisa dibilang cinta monyet karena kita masih SMP, tapi Andra sama aku pernah ngobrol bahwa meskipun cuman pacaran anak SMP, tetap kita harus bisa saling menghargai. Kita juga inginnya mempertahankan hubungan ini," jawabku.
"Kalau gitu, kalian cepat atau lambat harus mulai pikirkan tentang perbedaan keyakinan kalian," ujar Dilla.
"Tapi aku nggak mau pisah sama Andra, Dil. Aku sayang sama Andra!"
"Aku tahu, Gea. Pacaran semasa kalian SMP atau SMA, mungkin isu perbedaan keyakinan masih bisa dicuekin. Tapi saat kalian kuliah nanti, dan akhirnya memutuskan untuk hidup bersama, kalian nggak bisa ngelak dari masalah itu"

Dilla menepuk bahuku.

"Gea, kalau kalian nikah nanti sementara keyakinan kalian masih beda, pernikahan kalian nggak sah"

Aku menghela nafas sejenak.

"Kita bisa obrolkan itu nanti kok. Mungkin Andra mau berubah," ujarku.
"Andra? Aku rasa bakalan susah, Gea. Andra itu Katolik yang taat," sanggah Dilla.

Setetes air mata jatuh dari pelupuk mataku. Perlahan-lahan, air mataku menganak sungai. Ya Tuhan.. Aku mencintainya. Aku mencintai Andra, seperti halnya Andra yang mencintaiku. Aku tak ingin berpisah dengan Andra hanya karena kami berbeda keyakinan.

"Aku sayang Andra, Dil. Kamu tahu 'kan aku sayang Andra," isakku.
"Aku tahu, Gea. Kamu nggak perlu lagi tanya tentang hal itu. Aku sama Reyhan paham posisi kalian seperti apa. Aku juga ingin kalian berdua bisa bersatu sampe tua nanti. Mungkin kedengarannya terlalu serius untuk ukuran anak SMP, tapi kalian berdua.. Gea, kamu sama Andra emang masih SMP tapi pola pikir kalian udah cukup dewasa, terutama dalam hubungan kalian," ujar Dilla.
"Aku takut buat kehilangan Andra, Dil. Aku takut!"

Tangisku menjadi kacau.

"Gea, kamu masih tetap bisa sayang sama Andra kok. Kamu 'kan tahu sendiri Allah menyuruh semua orang untuk saling peduli dan menyayangi kepada sesama. Buat aku sendiri sih, meskipun beda agama atau beda usia, kalau memang kita bisa berbagi kasih sayang kepada sesama lantas kenapa nggak?" ujar Dilla.
"Aku takut, Dil. Aku takut pisah sama Andra," jawabku.
"Gea, masa depan nggak ada yang tahu. Cuma Allah yang tahu masa depan. Toh misalnya nanti kalian nggak bisa pacaran, seenggaknya kalian masih bisa saling peduli dan menyayangi satu sama lain dengan cara apapun. Mungkin kamu akan nikah dengan orang lain, tapi nggak berarti bahwa kamu akan berhenti peduli dan sayang sama Andra, meskipun konteks sayangnya jadi berubah"

Aku terdiam sejenak.

"Kalau kalian saling sayang, aku yakin kok Ge, kalian berdua pasti bisa melewati fase ini. Kalau kalian nanti benar-benar serius, aku yakin kalian bisa bareng-bareng. Tapi ya, menurut aku sih untuk saat ini kamu sayangi Andra. Mumpung kalian masih bersama, manfaatkan waktu kalian. Kalian masih muda, Ge, dan kamu udah punya Andra. Sayangi yang kamu punya, Ge. Tentang perbedaan keyakinan, aku yakin kok suatu hari nanti kalian bisa memecahkan masalah itu. Untuk saat ini, sayangi Andra"

Aku tersenyum kecil pada Dilla.

"Thanks, Dil" 

Ucapan Dilla akan selalu kuingat dan apa yang ia katakan benar. Kita bisa mencintai siapapun tanpa syarat, dan dengan cara apapun dimana seseorang dapat dicintai. Aku sungguh bersyukur memiliki sahabat yang benar-benar peduli padaku.

----

"Balik duluan, bro!"

Aku melambaikan tanganku pada Reyhan yang masih berkutat dengan laptopnya. Reyhan membetulkan posisi kacamatanya dan membalas salamku.

"Hati-hati di jalan, Dra!"

Aku tersenyum dan segera berlari menyusuri koridor menuju area parkir sekolahku. Kulihat Gea telah menungguku di motorku, mencari-cariku.

"Gea!"

Gea menatap ke arahku. Aku setengah berlari menghampirinya. Senyuman dari bibir mungilnya menyambutku hangat. Ya, senyuman itu--senyuman yang selama tiga tahun ini menemaniku, menyemangatiku dan menenangkanku.

"Reyhan masih di kelas?" tanya Gea.
"Ya. Biasa.. Dia jadi sok rajin gitu semenjak masuk IPA," jawabku.
"Hehehe.. Jangan gitu ah, Dra. Dia 'kan sahabat kamu," tegur Gea seraya mencubit hidungku.
"Bercanda, Ge. Hehehe"

Aku merogoh saku celana panjang abu-abuku dan mengambil kunci motorku. Kukeluarkan motorku dari barisan parkir. Kusodorkan helm cadanganku pada Gea dan kami pun keluar dari area sekolah kami. Mulai kupacu motorku dengan kendaraan-kendaraan lainnya di jalan raya, menyusuri jalanan yang rimbun oleh pepohonan ini.

"Dra, besok kamu ikut kumpul OSIS, 'kan?" tanya Gea.
"Nggak tahu. Kenapa emangnya?" tanyaku., "Kamu emangnya nggak ikut?"
"Aku ikut kumpulan, tapi males kalau sendiri. Kamu temenin, ya," bujuk Gea.
"Hmm.. Boleh. Pulang kumpulan kita bisa sekalian makan siang bareng," ujarku.
"Kamu yang traktir, 'kan?"
"Oke. Aku traktir kamu air putih aja ya"
"Ah, Andra!"

Gea mencubit lenganku lalu memelukku. Aku hanya bisa tersenyum. Kupelankan motorku saat kami mulai mendekati Masjid itu. Kumasuki pelatarannya dan berhenti di area parkir. Gea turun dari motor dan mengembalikan helm yang kupinjamkan.

"Beres jam berapa kira-kira?" tanyaku.
"Jam setengah lima juga kayaknya udah beres. Aku nggak akan lama kok," jawab Gea.
"Oke. Aku balik lagi sekitar jam empat lebih seperempat," balasku.
"Emang kamu di gereja sampai jam berapa, Dra?" tanya Gea.
"Sampai jam empat," jawabku, "Nggak lama kok. Aku hari ini cuma ngurus surat buat acara Paskah nanti"

Gea tersenyum kecil.

"Thanks ya, Dra," ujarnya.
"Sama-sama, Ge. Aku jemput lagi nanti ya," jawabku, "Baik-baik ya. Jangan nakal. Ngaji yang bener. Jangan ngegosip"

Kulihat gadis itu lalu memasuki Masjid, melepas sepatunya di depan batas suci dan menjinjingnya untuk ia titipkan. Gadis itu menghilang di balik pintu besar Masjid. Aku tersenyum. Teringat ucapan Reyhan sekitar tiga tahun yang lalu, rasanya aku begitu bersyukur memiliki sahabat seperti Reyhan. Aku dan Gea berbeda, namun hubungan kami dapat bertahan sejauh ini. Kami bahkan semakin menyayangi satu sama lain. Kami telah melewati masa sulit itu. Kami berhasil membuktikan bahwa perbedaan tak menghalangi kami untuk saling menyayangi. Kunyalakan mesin motor dan segera aku meninggalkan area parkir, masuk kembali ke jalanan.

Dan kulanjutkan kembali perjalananku.

----

Kutunggu pria itu di depan motornya. Aku duduk di atas jok motornya, menatap ke sekelilingku mencari-cari sosoknya yang tak kunjung tiba. Akhirnya sosok itu muncul dari balik tembok koridor, menatap mataku dan tersenyum padaku.

"Gea!"

Sosok itu memanggilku, lalu berlari ke arahku. Kusambut ia dengan sebuah senyuman, dan ia menunjukkan ekspresi bahagianya--ekspresi yang selama tiga tahun ini dengan hangat menenangkanku.

"Reyhan masih di kelas?" tanyaku.
"Ya. Biasa.. Dia jadi sok rajin gitu semenjak masuk IPA," jawab Andra.
"Hehehe.. Jangan gitu ah, Dra. Dia 'kan sahabat kamu," tegurku seraya mencubit hidungnya.
"Bercanda, Ge. Hehehe," jawabnya.

Andra mengeluarkan motornya dan meminjamkanku helm cadangannya. Kami pun segera keluar dari area parkir dan memasuki jalan raya, berkendara di bawah rimbunnya pepohonan yang meneduhi jalanan ini. Bangunan SMA bergaya kolonial Belanda itu semakin jauh di belakang kami, menatap kami yang pergi melalui jendela-jendela besarnya.

"Dra, besok kamu ikut kumpul OSIS, 'kan?" tanyaku.
"Nggak tahu. Kenapa emangnya?" tanyanya, "Kamu emangnya nggak ikut?"
"Aku ikut kumpulan, tapi males kalau sendiri. Kamu temenin, ya," bujukku.
"Hmm.. Boleh. Pulang kumpulan kita bisa sekalian makan siang bareng," ujarnya.
"Kamu yang traktir, 'kan?"
"Oke. Aku traktir kamu air putih aja ya"
"Ah, Andra!"

Aku mencubit lengannnya lalu memeluknya erat. Ia melambatkan laju motornya saat kami mulai mendekati Masjid yang biasa kukunjungi untuk hadi di acara pengajian mingguan setiap Jumat sore. Kami memasuki pelataran Masjid dan Andra menghentikan motornya di area parkir. Segera aku turun dari motornya dan mengembalikan helm yang ia pinjamkan.

"Beres jam berapa kira-kira?" tanya Andra.
"Jam setengah lima juga kayaknya udah beres. Aku nggak akan lama kok," jawabku.
"Oke. Aku balik lagi sekitar jam empat lebih seperempat," balasnya.
"Emang kamu di gereja sampai jam berapa, Dra?" tanyaku.
"Sampai jam empat," jawabku, "Nggak lama kok. Aku hari ini cuma ngurus surat buat acara Paskah nanti"

Aku tersenyum.

"Thanks ya, Dra," ujarku.
"Sama-sama, Ge. Aku jemput lagi nanti ya," jawabnya, "Baik-baik ya. Jangan nakal. Ngaji yang bener. Jangan ngegosip"

Setelah pamit, aku setengah berlari ke bangunan utama Masjid. Kulepaskan sepatuku di depan batas suci dan menjinjing masuk sepatuku untuk kutitipkan. Aku tersenyum sembari memasuki Masjid, teringat ucapan Dilla beberapa tahun yang lalu saat kami masih SMP. Aku bersyukur memiliki sahabat seperti Dilla. Memang benar bahwa aku dan Andra berbeda keyakinan, namun kami membuktikan bahwa perbedaan itu tak menghalangi kami untuk saling menyayangi. Kami telah bertahan sampai sejauh ini dan akan terus mempertahankan hubungan ini sebisa mungkin. Melalui jendela, kulihat Andra menyalakan mesin motornya, lalu pergi.

Dan ia pun melanjutkan kembali perjalanannya.

0 comments:

Post a Comment