Dalam dunia gadget, nampaknya kita sudah nggak asing dengan satu aplikasi bernama Path. Ya, aplikasi itu bisa dibilang cukup baru tapi penggunaannya udah meledak sekitar tahun 2013an sampai sekarang (atau mungkin karena saya memang baru pakai Path tahun 2013 jadi dikiranya booming tahun segitu kali ya?). Awalnya saya nggak berminat untuk gabung dengan Path karena di ponsel dan beberapa device, saya sudah punya beberapa aplikasi media sosial semacam Facebook, Twitter, LINE, dan Whatsapp. Saya juga merasa bahwa saya sudah punya terlalu banyak akun media sosial dan nggak mau sekedar daftar tapi nantinya nggak dipakai, seperti akun Mavensay, Cyworld, dan about.me yang dibukanya satu rezim sekali. Tapi setelah saya baca-baca tentang Path dan memahami esensi dari aplikasi itu, saya akhirnya pakai juga dan sampai sekarang pun masih pakai.
Dulu saya kaget karena Path hanya mengijinkan penggunanya untuk punya 150 teman. Membandingkan dengan Facebook yang membolehkan penggunanya untuk punya teman sampai 5000 orang, Path jelas-jelas sangat membatasi. Tapi dari situ saya justru paham bahwa inilah yang bikin aplikasi ini unik. Kenapa unik? Karena aplikasi ini bikin kita jadi lebih selektif untuk menambahkan siapa aja yang bisa dijadikan teman. Selebihnya, saya bisa bilang kalau Path ini semacam Twitter yang digabung dengan Foursquare, Instagram, dan iMeem (hayo masih ingatkah dulu ada media sosial namanya iMeem?) dan sekarang ini Facebook mulai melengkapi apa-apa yang minus seperti penambahan pos timeline yang lengkap dengan pertanyaan lagi dengerin lagu apa, nonton film apa, dimana, sama siapa, tanggal berapa, sedang makan apa, sampai momen lepas behel.
Karena keunikan tersebut, saya di bulan-bulan pertama penggunaan Path merasa nyaman. Ya, nyaman karena saya hanya menambahkan sedikit orang dan itupun sahabat dan keluarga dekat saja. Bayangkan, kalau di Twitter atau Facebook setiap harinya kita buka dan lihat pos dari orang-orang yang nggak dekat dengan kita, bahkan retweet atau shared post dari orang-orang yang super duper asing, di Path kita bisa lihat pos dari orang-orang terdekat kita dan itu bikin kita lebih nyaman saat menjalin silaturahmi dengan mereka. Saat kita nggak bisa lihat kabar dari sahabat atau kerabat dekat di Facebook atau Twitter karena ketutupan pos atau twit dari orang-orang lain, kita bisa lihat kabar mereka di Path. Pokoknya sejak saya paham esensi dari aplikasi itu, saya jadi semacam berterima kasih sama founder Path karena aplikasinya cukup membantu saya yang--notabene--lebih nyaman berada dalam lingkup sahabat dan kerabat dekat daripada harus berbaur dengan banyak orang yang nggak terlalu akrab. Ya. Dari jatah 150 orang teman, sekitar satu semester saya cuma pakai satu pertiganya. Dengan kata lain, dalam satu semester saya cuma punya sekitar 50 teman di Path, dan saya tahu mereka semua. Moreover, mereka yang ada di list itu juga bisa dikatakan orang-orang yang cukup dekat dengan saya. Mungkin kelihatan seperti saya yang malas bergaul, tapi pada kenyataannya bukan begitu. Saya mencoba menggunakan Path sebagaimana mestinya--seperti apa yang jadi motto aplikasinya, "Simple, Beautiful Sharing". Sederhana saja saat kita mau berbagi kabar--maksudnya nggak perlu seluruh dunia mesti tahu juga. Yang penting orang-orang terdekat tahu kabar kita.
Sekarang sudah sekitar satu tahun saya pakai Path dan jumlah teman saya ada sekitar 2/3 dari jatah yang dikasih Path. Itu artinya, kenaikannya nggak cukup signifikan. Di awal-awal penggunaan Path, nggak banyak orang yang pakai Path. Dan sekarang, penggunanya jadi banyak dan saya rasa ini sejalan dengan apa yang dikatakan Desyana (2014) di situs berita Tempo bahwa Indonesia menjadi negara dengan pengguna aplikasi Path terbanyak di dunia, dengan jumlah yang mencapai lebih dari 4 juta pengguna.
More than four million Indonesian people use Path, and Indonesia has the largest number of Path users in the world. Well, we can see here that Path is somehow loved by Indonesian people and therefore, I can say that the number of users may increase again.
Or is it just us, Indonesian people, who are somewhat addicted to Path--to social media?
Ini bakalan jadi agak melenceng pembicaraannya karena saya jatohnya bakal ngomongin tentang budaya media sosial di masyarakat Indonesia. Melihat besarnya pengguna Path di Indonesia, maraknya konsumsi smartphone dan gadget, dan hingar bingarnya tempat-tempat yang menawarkan wi-fi dengan kecepatan heboh semacam memberi indikasi bahwa masyarakat Indonesia bisa jadi sudah kecanduan media sosial--and definitely--dunia maya. Kita jadi terbiasa dengan dikit-dikit check-in saat tiba di suatu tempat, unggah foto ke media sosial dan kasih hashtag, tulis dan pos status setiap hari, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan media sosial. Sekarang, bayangkan kalau semua orang seperti itu. Saya bisa membayangkan dunia maya adalah dunia yang sangat penuh dan sareukseuk oleh pos dari orang-orang, mau foto atau status atau apalah, dengan populasi yang setiap harinya semakin meningkat. Dan jika satu brand media sosial adalah negara, mungkin Facebook bakalan jadi negara dengan populasi terbanyak di dunia, dan mungkin saingan dengan Twitter. Ya, atau anggaplah keduanya adalah negara dengan populasi terbanyak.
Sadarilah bahwa kita juga hidup di dua dunia, dunia nyata dan dunia maya. Kita punya hak prerogatif untuk jadi warga di beberapa negara, tapi mungkin nggak semua negara akan dirasa nyaman untuk ditempati. Mungkin karena terlalu sesak dengan orang-orang? Atau mungkin karena terlalu banyak hingar bingar yang bikin pusing mata dan telinga?
Sekarang ada Path, negara di dunia maya yang mengijinkan kita untuk bertetangga dengan 150 orang saja. Saya jujur aja termasuk orang yang nyaman tinggal di Path karena nggak perlu ketemu dengan terlalu banyak orang. Tapi menyadari bahwa setelah satu tahun penggunaan Path ternyata saya masih banyak menemukan orang-orang asing dan pos yang bikin pusing, saya jadi mempertanyakan defense saya sendiri. Yakin nggak nih saya menambahkan si ini atau si itu sebagai teman? Akhirnya sore tadi saya me-remove beberapa orang dari akun Path saya, bukan untuk memutus silaturahmi, tapi karena saya merasa bahwa orang-orang tersebut adalah orang-orang yang bisa saya kunjungi dengan mudah di negara lain semacam Twitter atau Facebook, bahkan LINE untuk komunikasi yang lebih personal. Setelah pembersihan itu, sekarang saya punya kurang dari 100 orang teman di Path.
Kalau mengingat lagi esensi dari Path, mari kita bertanya kepada diri sendiri (kalau memang pengguna Path). Siapa aja yang ada di daftar tetangga Path kita? Apa kita akrab dan kenal baik dengan orang-orang tersebut? Apa orang-orang tersebut adalah orang-orang yang sama dengan yang muncul setiap harinya di Twitter atau Facebook, dengan kesibukan unggah pos yang sama? Apakah kita punya orang-orang yang sangat dekat (paling dekat) dengan kita di Path? Kalau ada, apakah kabar dari mereka nampak di linimasa Path kita, atau nggak nampak karena tertutup oleh kabar dari orang-orang lain yang tidak begitu akrab dengan kita tapi ada di linimasa Path kita?
Jujur saja, sejak pakai Path saya jadi seringkali bertanya tentang penggunaan media sosial. Saya ini sudah pakai media sosial dengan benar atau tidak? Apakah saya membagikan kabar saya ke orang-orang yang tepat? Kalau misalnya penggunaan media sosial justru nggak membuat efek positif ke kita dan justru semakin menjauhkan kita dari sahabat dan kerabat dekat kita, sisi mana yang salah? Apakah media sosialnya yang salah, atau kita sebagai penggunanya yang salah?
At least, maaf untuk yang di-remove dari Path saya tadi sore. Bukan maksud untuk putus silaturahmi ya. Kita bisa tetap saling komunikasi lewat media sosial yang lain seperti Twitter dan Facebook. Maaf sekali lagi karena untuk Path, saya memang ekstra selektif dalam memilih siapa saja yang bisa ada di circle saya. Saya nggak mau kabar dari mereka-mereka, sahabat dan kerabat dekat saya justru nggak muncul karena linimasa dipenuhi oleh kabar-kabar dari orang yang saya rasa nggak dekat atau akrab dengan saya.
Referensi
Referensi
- Desyana, C. (2014). Indonesia has the Largest Number of Path Users. Retrieved on July, 30 2014 from http://en.tempo.co/read/news/2014/02/25/240557214/Indonesia-has-the-Largest-Number-of-Path-Users
Wah aku ga di remove di pathmu, berarti masuk ke golongan 2/3 nyaaa yaaa.. hahahahaha...
ReplyDeletesebagai tambahan, kamu juga teman lama dan kita kan persahabatan jarak jauh wkwkw btw kangen ngebaso sama kalian lagi brosis..
Delete