Monday, July 14, 2014

Maaf, kak

Hujan mengguyur kota Bandung siang ini. Sudah sekitar sebulan ini hujan turun setiap harinya. Udara terasa lebih dingin akhir-akhir ini, membuatku malas bergerak dan bepergian kemanapun terutama jika menggunakan sepeda motor atau kendaraan umum. Langit seringkali berawan dan kurasa sudah cukup lama aku tak berjalan di bawah sinar matahari di siang hari. Aku pun lebih sering berganti sepatu dalam sebulan karena terkadang sepatuku basah terkena cipratan genangan air ataupun basah oleh air hujan. 

Kuletakkan kepalaku di atas meja, sembari menatap kosong jendela kelas yang menampakkan butiran-butiran hujan yang jatuh dari langit. Kulirik jam tanganku yang menunjukkan pukul setengah tiga sore. Ah, perutku mulai keroncongan dan aku belum makan apapun siang ini, kecuali sepotong biskuit yang kuminta dari Andra, teman sebangkuku. Jam sekolah telah berakhir, tetapi masih ada beberapa anak yang tinggal di kelas karena hujan masih turun di luar. 

"Reyhan belum pulang?" 

Aku mengangkat kepalaku dan melirik ke arah sumber suara. 

"Belum," jawabku datar. 

Gea menutup buku novelnya lalu menghampiriku. 

"Andra udah pulang?" tanyanya.
"Belum. Dia pergi ke kantin," jawabku.
"Kamu kenapa nggak ikut?" tanyanya lagi. 
"Malas pergi kemana-mana. Hujan begini lebih enak diam," jawabku. 

Ponselku bergetar di atas meja dan tak lama kemudian, Like A G6 berdering dari speaker ponselku. Nama kakakku muncul di layar ponselku. 

"Eh, mas Reza nelpon tuh!" seru Gea. 

Dengan malas aku menjawab panggilan telpon dari kakakku. 

"Ada apa?" jawabku malas. 
"Mas Eza udah nunggu di parkiran ya," ujarnya. 
"Balik sekarang? 'Kan masih hujan"
"Mas Eza 'kan bawa jas hujan" 

Aku meringis pela. 

"Malas ah! Tunggu sebentar lagi," ujarku enggan. 
"Eh, mas Eza udah lapar nih," balasnya.
"Salah sendiri kenapa nggak makan siang dulu" 
"Eh, mas 'kan niatnya mau ngajak kamu makan siang bareng, Rey" 

Aku mendengus kesal. 

"Ya udah! Tunggu bentar!" 

Bip! Aku mengakhiri percakapan dengan kakakku. Dengan kesal segera kubereskan tasku dan kukenakan jaketku. Gea nampak bingung dengan sikapku yang terburu-buru. 

"Kenapa, Rey?" tanyanya bingung. 
"Udah dijemput mas Eza. Padahal lagi hujan gini, eh dia malah ngajak makan," jawabku kesal. 
"Wah, asyik banget. Enak ya yang punya kakak," ujar Gea. 
"Gak juga sih kalau kakaknya rese," sanggahku. 

Aku pamit pada Gea dan teman-teman yang ada di kelasku. Di koridor aku berpapasan dengan Andra yang berjalan menuju kelas dari kantin, dengan membawa kantung plastik berisi makanan ringan. Kami melakukan hi-five seperti biasanya dan aku tersenyum kecut. 

"Kemana, Rey? Kok kelihatan buru-buru?" tanya Andra. 
"Udah dijemput mas Eza," jawabku. 
"Pulang sekarang? Masih hujan loh" 
"Tau tuh mas Eza. Inginnya sih masih disini sambil nunggu hujan reda" 

Aku pamit pada Andra dan segera berlari menyusuri koridor menuju area parkir sekolahku. Kakakku telah menungguku disana, duduk di atas motornya meskipun hujan turun menerpanya. Aku menghampirinya, menunjukkan wajah kesal yang ia balas dengan senyuman yang mengesalkan. 

"Ayo makan siang!" ujarnya. 
"Kemana?" tanyaku.
"Kamu mau makan apa?" 
"Lha, kok nanya ke Rey?" 
"Mas Eza tanya aja kamu mau makan siang sama apa" 
"Terserah"
"Lha terserah kamu, Rey" 

Aku meringis kesal. 

"Yang ngajak makan siang 'kan mas Eza. Kenapa malah nanya Rey?" 
"Hmm.. Mas Eza sih lagi ingin makan ramen. Kayaknya enak ya hujan begini makan ramen
"Ya udah. Cari tempat ramen

Aku mengenakan setelan jas hujan yang dipinjamkan oleh kakakku lalu naik ke atas motor. Kami pun meninggalkan kompleks sekolahku dengan bangunan utama bergaya kolonial Belanda dan mulai bergabung dengan pengguna jalan raya lainnya. Dari jalan Jawa, kakakku memacu motornya memasuki jalan Sunda. Aku tak tahu kemana kakakku akan membawaku pergi tapi yang kutahu kami tak pergi ke arah dimana kedai ramen berada. 

"Mau kemana sih?" tanyaku yang mulai kesal. 
"Cari tempat ramen," jawabnya. 
"Memangnya ada di daerah sini?" tanyaku. 
"Gak tahu. Mas Eza jarang ke daerah sini sebetulnya," jawabnya enteng. 

Aku meringis kesal. 

"Eh, tapi kayaknya lebih enak makan mi baso," ujar kakakku tiba-tiba. 

Kekesalanku semakin memuncak. 

"Jadi mau ramen apa mi baso? Cepat putuskan! Rey udah lapar!" tegasku. 
"Mi baso aja deh. Kita makan di Karapitan aja, ya," jawabnya. 

Aku dan kakakku pada akhirnya menikmati makan siang kami di sebuah kedai baso yang cukup terkenal di jalan Karapitan. Hujan masih mengguyur meskipun tak sederas saat aku berada di kelas tadi. Kakakku banyak bercerita tentang kegiatannya di kampus. Aku tak tertarik dengan topik obrolannya. Aku bahkan tak banyak mengerti dengan apa yang ia ucapkan. Kontrak matakuliah, kredit, dan berbagai matakuliah dengan nama-nama yang masih asing bagiku--apa yang menarik? Ia pun selalu menenteng sebuah wadah berbentuk silinder kemanapun--sebuah wadah untuk menyimpan kertas-kertasnya agar tak rusak. Bagiku wadah itu lebih terlihat seperti tempat untuk menaruh stik drum. 

"Kelas delapan udah ada penjurusan 'kan, Rey?" tanya kakakku tiba-tiba. 
"Hah? Penjurusan?"
"Ya. IPA atau IPS" 
"Rey masih SMP, mas
"Oh iya. Mas Eza lupa" 

Kakakku menertawai kebodohannya sendiri sementara aku hanya menatapnya dingin. Apa yang lucu? 

"Mas Eza berisik. Nggak lucu," ujarku. 

Mas Reza meredakan tawanya lalu kembali menyantap makan siangnya. Aku meringis pelan. Lebih baik aku pergi makan siang bersama Andra dan teman-teman sekelasku yang lain. Aku tak suka pergi dengan kakakku. 

----


Dengan malas aku memotong daging di piringku. Ayah dan mas Reza berbincang-bincang dengan antusias sambil menikmati santap makan malam mereka. Mereka selalu berisik saat makan malam. Tak bisakah mereka tenang dan fokus pada makanan mereka? Beberapa kali aku dilibatkan dalam percakapan mereka, tapi aku tak tertarik. Aku lebih banyak mengangguk atau menggeleng pelan, dan kemudian melanjutkan santap makan malamku. 

"Dulu juga kita pernah main ke Moko 'kan, Rey?" mas Reza menyikut lenganku. 
"Apaan sih," jawabku malas. 
"Bagus nggak tempatnya?" tanya ayah padaku. 
"Tempat apa?" 
"Bukit Moko"
"Dingin. Nggak asyik" 

Aku kembali menyantap makananku sementara ayah dan mas Eza kembali mengobrol. Ah, aku berharap agar kursi di hadapanku tak kosong. Kursi itu sudah kosong selama kurang lebih satu tahun. Dulu aku biasa bicara dengan sosok yang duduk di kursi itu, mengobrol tentang sekolahku ataupun teman-temanku. Tapi sekarang, aku justru harus mendengarkan obrolan bodoh ayah dan mas Reza tentang hal-hal yang tak kupahami. 

Selesai dengan makan malam, aku segera kembali ke kamarku. Kunyalakan pemutar musik dan aku pun beranjak menuju meja belajarku. Kutatap sebuah foto yang kutaruh di atas meja belajarku. Ibu, seandainya ibu masih ada disini mungkin aku tak perlu mendengar obrolan menyebalkan ayah dan mas Reza setiap makan malam. Seandainya ibu masih ada disini, aku pasti bisa duduk bersama ibu di sofa ruang keluarga, menyandarkan kepalaku di bahu ibu lalu bercerita tentang betapa mengesalkannya mas Reza dan betapa membosankannya ayah. Mataku terasa basah. Aku pun kembali merasa kesal mengapa Tuhan harus mengambil ibu di saat aku masih membutuhkannya. 

"Rey, mas boleh masuk?" 

Aku menyeka air mataku dan melirik ke arah pintu. Mas Reza telah membuka pintu dan berdiri di ambang pintu. 

"Ikut ngerjain tugas disini, ya," ujarnya riang seraya masuk ke kamarku. 
"Kenapa disini?" tanyaku. 
"Sepi di kamar. Malas," jawabnya. 

Mas Reza langsung begitu saja naik ke atas tempat tidurku, duduk bersandar pada kepala tempat tidur dan menaruh laptopnya di atas pangkuannya. Buku-bukunya kini berserakan di atas tempat tidurku. Aku meringis kesal. Kalau begini aku yang tak punya tempat untuk tidur. 

"Nanti aku tidur dimana?" tanyaku kesal. 
"Oh, gampang. Nanti buku-bukunya aku rapikan. Kalau mau tidur bilang aja," jawabnya santai. 

Aku mendengus kesal. Aku pun mulai membuka-buka buku pelajaranku dan mengerjakan tugas rumahku. Baru beberapa menit aku mengerjakan tugasku, mas Reza sudah mulai bernyanyi mengikuti alunan lagu yang kuputar melalui iPodku. Kucoba menahan kekesalanku namun semakin lama suaranya semakin terdengar mengesalkan. Aku tak tahan lagi. Kutaruh dengan kasar pensilku lalu berbalik ke arah kakakku. 

"Mas Eza berisik!" tegurku. 
"Oh.. Sorry!" jawabnya. 

Aku meringis pelan dan kembali mengerjakan tugasku, tapi kakakku kembali bernyanyi meskipun suaranya tak selantang sebelumnya. Aku tak suka belajar dalam keadaan seperti ini. Aku tak suka mendengar kakakku bernyanyi. Sementara itu tugasku belum selesai dan aku yakin kakakku akan ada di kamarku dalam waktu yang cukup lama. 

Ah, ini akan jadi malam yang sangat panjang. 

----


Ayah dan mas Reza pun mengobrol saat sarapan pagi. Itu hal yang mengesalkan bagiku. Sudah sekitar satu tahun aku terus mengalami kekesalan seperti ini setiap pagi dan malam. Mereka banyak bicara. Mereka berisik. Mereka tak bisa tenang. Keadaan tak pernah seperti ini sebelumnya, sebelum ibu pergi. 

"Reyhan, kamu nanti dijemput pulang sama Reza, ya," ujar ayah. 
"Apa? Dijemput?" tanyaku kaget. 
"Ya. Kamu sore ini ada les, 'kan?" sambung mas Reza. 
"Kenapa harus dijemput? Rey bisa pergi sendiri ke tempat les," jawabku. 
"Akhir-akhir ini 'kan sering hujan. Lebih baik kamu pergi dengan Reza," jelas ayah. 
"Lagipula jadwal kuliah mas Eza hari ini cuman sampai jam dua belas kok," tambah mas Reza. 

Aku meringis kesal. 

"Rey pergi sendiri aja, yah," jawabku. 

Aku melirik arlojiku yang menunjukkan pukul enam. Segera kuhabiskan sarapanku dan kemudian bergegas berangkat menuju sekolah. Pak Sigit telah menunggu di mobil. Aku pun lantas masuk ke dalam mobil dan meminta pak Sigit untuk segera membawaku ke sekolah. 

Aku teringat ucapan ayah tentang hujan yang akhir-akhir ini selalu mengguyur kota Bandung. Saat ini pun sejujurnya aku lebih ingin berada di kamarku, meringkuk di bawah selimutku. Udara terasa dingin meskipun aku telah mengenakan jaketku. Aku menggigit bibir bawahku. Akan repot jadinya jika aku pergi ke tempat les dengan menggunakan kendaraan umum. Saat ini saja gerimis sudah mulai turun. 

"Pak Igit bisa jemput Rey sepulang sekolah?" tanyaku. 
"Jam berapa memangnya?" tanya pak Sigit. 
"Sekitar jam dua, pak," jawabku. 
"Waduh, kalau jam dua sih pak Igit nggak bisa jemput. Hari ini pak Igit disuruh ayah ke bandara untuk jemput teman kerja ayah yang baru pulang dari Solo," ujar pak Sigit. 

Aku meringis kesal. 

"Kenapa nggak minta tolong mas Reza buat jemput saja?" tanya pak Sigit. 

Aku tak menjawab. Kulayangkan pandanganku ke jendela di sampingku. 

----


Bel pulang berdering. Semua anak-anak ribut seperti biasanya. Aku, Andra, Gea, dan Dilla memutuskan untuk tetap tinggal di kelas sembari menunggu hujan reda. Hujan kembali turun siang ini dan itu membuatku semakin gusar. Ya, gusar, karena aku akan dijemput oleh kakakku. 

"Ada apa, Rey? Kok kelihatan bete?" tanya Dilla. 
"Nggak apa-apa," jawabku, "Lagi nggak enak badan" 
"Kalau nggak enak badan, nanti sore kamu nggak perlu les. Kita nanti bilang ke kak Wira kalau kamu lagi sakit," ujar Andra. 
"Ah, nggak usah. Aku masih kuat kok," sanggahku. 

Sambil menunggu, kuputuskan untuk bermain UNO bersama teman-temanku. Gea mengeluarkan pak kartu UNOnya dan mulai membagikan kartu untuk kami. Permainan itu benar-benar membuat suasana meriah dan menyenangkan. Satu putaran belum berakhir tapi kami sudah tertawa sampai sakit perut. Belum ada satupun dari kami yang memenangkan permainan. 

"Reverse!" seru Andra seraya menaruh kartu reverse
"Sial! Andra sialan!" seruku karena aku tak mendapatkan giliran main. 
"Tujuh biru!" seru Gea, melemparkan kartu biru berangka tujuh. 
"Aku punya bonus buat Reyhan," ujar Dilla, meletakkan dua lembar kartu plus dua berwarna biru dan merah seraya tertawa kecil, "Maaf ya, Rey" 
"Hmm.. Bonus buat Andra. Plus empat. Andra ambil delapan!" ujarku, memberikan siksaan tambahan untuk Andra dengan menaruh kartu plus empat. 

Kami tertawa puas melihat Andra harus mengambil delapan lembar kartu. Andra melirikku kesal dan mendorong kepalaku. Aku hanya bisa tertawa melihatnya kesal seperti itu. Salah sendiri ia membuatku melewatkan giliranku. Sekarang ia merasakan balasanku. 

"Rey, ponselmu tuh," ujar Dilla sambil menunjuk ke arah ponselku. 

Sebuah panggilan masuk diterima. Dengan malas aku menjawab panggilan tersebut. 

"Apa?" jawabku tak antusias. 
"Mas Eza udah di parkiran," ujar mas Reza. 
"Aku masih main UNO. Perginya nanti aja," ujarku. 
"Mendingan kita pergi sekarang sebelum hujannya tambah besar. Lagipula 'kan belum makan siang," balas mas Reza. 
"Siapa suruh nggak makan siang di kampus"
"Mas Eza 'kan sengaja nggak makan di kampus supaya kita bisa makan siang bareng, Rey" 

Kesal, kulempar kartu-kartuku ke atas meja, mengejutkan Andra, Gea, dan Dilla. Tanpa basa basi segera kuakhiri percakapan di telpon. Kumasukkan ponselku ke dalam saku jaketku dan segera kukenakan tasku. 

"Kenapa lagi, Rey?" tanya Andra. 
"Dijemput mas Eza," jawabku. 
"Kok kayak yang kesal?" tanya Dilla. 
"Karena aku nggak suka sama mas Eza," jawabku blak-blakan. 

Ketiga temanku nampak terkejut. 

"Kok bisa nggak suka begitu, Rey? Bukannya dulu kalian akrab?" tanya Andra bingung. 
"Itu 'kan dulu, sebelum ibu meninggal. Setelah ibu meninggal, semua orang di rumah jadi menyebalkan," jawabku ketus. 
"Rey, mungkin bukan mereka yang menyebalkan. Mungkin kamu masih sedih karena kepergian ibu kamu," ujar Dilla. 

Aku meringis pelan. Mungkin yang Dilla katakan benar, tapi saat ini aku memang tak menyukai kakakku. Sifat kami berbeda. Wajah kami pun bahkan tak mirip. Ia lebih mirip dengan ayah, sementara aku lebih mirip dengan ibu. Mas Reza adalah sosok yang berisik dan mengganggu, sementara aku lebih menyukai ketenangan dan tak suka banyak bicara. 

"Aku duluan," ujarku seraya meninggalkan kelas. 

Tiba di area parkir, kulihat mas Reza menungguku di atas motornya. Mengapa ia tak turun dari motornya dan menungguku di tempat yang teduh? 

"Ayo cepat naik. Kita makan siang dulu," ujarnya. 
"Kemana?" tanyaku. 
"Hmm.. Kamu maunya kemana, Rey?" 
"Kenapa tanya Rey?"
"Mas mau tau aja kamu mau makan siang sama apa"
"Yang ngajak makan siang 'kan mas Eza. Mas Eza yang harusnya tentukan" 

Mas Reza berfikir sejenak. 

"Bento. Mau nggak?" tanyanya. 
"Terserah," jawabku dingin. 

Mas Reza pun segera memacu motornya dan membawaku ke restoran cepat saji Jepang di jalan Merdeka. Aku lagi-lagi tak dapat menikmati makan siangku dengan nyaman karena mas Reza kembali bercerita tentang kegiatan di kampusnya dan topik-topik menyebalkan lainnya. Ia bahkan sempat menceritakan satu lelucon yang menurutku sama sekali tak lucu. Ia terus berbicara dan itu membuatku kesal.

"Parah banget deh, Rey. Teman mas Eza sampai kejebak di lift dan ngompol. Kasihan banget pokoknya"

Aku sangat berharap saat ini aku sedang tak bersama kakakku. Aku lebih baik sendirian saat ini. Kakakku berisik dan banyak bicara. Aku tak suka dengannya. Jika aku boleh memilih bersama siapa aku saat ini, aku lebih memilih bersama ibu. Tapi sayang sekali, ibu tak akan pernah bisa bersamaku lagi. 

Kakakku seringkali tak bisa membuat keputusan dan itu membuatku marah. Kakakku banyak bicara, terlalu sering mengajakku mengobrol tentang hal-hal bodoh dan itu menggangguku. Kakakku seringkali plin plan dan itu pun membuatku marah. 

"Mas Eza berisik!" 

Bentakkan itu keluar begitu saja dari mulutku. 

"Rey nggak suka kalau mas Eza udah banyak omong! Bisakah mas Eza diam satu hari aja? Rey kesal karena mas Eza selalu plin plan dan bicara tentang hal-hal bodoh! Rey nggak tertarik dengan topik obrolan mas Eza! Kenapa mas Eza sering ganggu Rey? Mas Eza nggak perlu sok peduli sama Rey, jemput Rey pulang sekolah padahal mas Eza sendiri sibuk di kampus! Ayah dan mas Eza itu sama-sama menyebalkan! Kalian selalu berisik kalau sarapan atau makan malam! Seandainya ibu masih ada, kalian pasti nggak akan mengganggu saat sarapan dan makan malam!" 

Kakakku terkejut dengan ucapanku. Sorot matanya seketika berubah. Ia tersenyum kecut. 

"Salah mas Eza apa? Kenapa jadi mas Eza dimarahi?" 

Kini aku yang terkejut mendengar jawaban mas Reza. 

"Mas Eza bukannya sok peduli. Mas Eza memang peduli. Adik mas cuman kamu aja, dan ibu memang berpesan ke mas buat jaga kamu, Rey. Selama ini mas Eza hanya coba buat bisa akrab lagi dengan kamu. Semenjak ibu meninggal, kamu banyak berubah dan jadi pemurung. Mas Eza cuma mau kita bisa akrab seperti dulu, waktu ibu masih ada. Kalau kamu memang nggak suka dengan topik obrolan mas Eza atau kamu ingin mas Eza diam, kamu tinggal bilang baik-baik. Mas Eza hanya coba hibur kamu karena selama ini kamu nggak banyak bicara di rumah. Mas Eza dan ayah juga nggak bermaksud untuk ganggu kamu waktu sarapan dan makan malam. Memang apa salahnya mengobrol dengan orangtua saat sarapan dan makan malam? Toh kamu 'kan tahu ayah pulang kerja sore hari, jadi wajar kalau ayah ingin waktu untuk bisa dekat dengan anak-anaknya" 

Kakakku kembali menghabiskan makanannya. Kali ini suasana menjadi hening, persis seperti yang kuinginkan. Namun aku merasa tak enak. Ada perasaan yang mengganjal--perasaan bersalah yang membuatku ingin mengubur diriku sendiri. Aku tak seharusnya mengatakan hal itu pada kakakku. Kali ini aku mendapatkan apa yang kuinginkan--makan siang yang tenang dengan kakakku yang tak banyak bicara. 

Tapi ini justru membuatku tak tenang. 

Aku akhirnya tak menghabiskan makananku, sementara kakakku telah menyantap semua pesanannya. Aku hanya bisa terdiam dan tertunduk. Aku tak berani menatap kakakku. Ia pasti sangat tersinggung dengan ucapanku. Aku menyesal. Aku tak seharusnya mengatakan hal seperti itu padanya. Selama ini aku tak pernah mencoba untuk berada di posisinya. Aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri, terlalu larut dalam kesedihan setelah kepergian ibu. Aku terlalu sinis pada mas Reza dan ayah karena apapun yang mereka lakukan untuk menghiburku tak akan pernah mengembalikan ibu.

"Mas Eza juga kangen sama ibu. Tapi mas nggak kayak kamu. Mas coba buat bahagia dan nggak mau larut dalam kesedihan. Siapa juga sih yang nggak sedih saat ditinggal ibunya? Mas Eza seperti ini karena mas Eza ingin kita bisa tetap bahagia meskipun ibu sudah nggak ada. Kalau kamu berfikir bahwa mas Eza seperti ini buat ganggu kamu, maka kamu salah, Rey"

Aku menelan air liurku sendiri.

"Kalau kamu memang nggak suka dengan mas Eza, mas Eza minta maaf. Mas nggak akan paksa kamu untuk pulang dan makan siang bareng mas Eza lagi kalau memang kamu nggak suka"

Kakakku merapikan tasnya dan mengenakan jaketnya. Ia lalu beranjak dari tempat duduknya.

"Lesnya mulai jam berapa?"

Aku menaikkan kepalaku dan menatapnya. Tatapan mas Reza tak lagi sama, tak lagi ceria seperti dulu. Aku tak lagi melihat raut ramah dan hangat di wajahnya. Ia menjadi sosok yang lebih dingin. Matanya seolah berkata bahwa ia harus segera mengantarku ke tempat lesku, bukan karena agar aku tak terlambat namun agar kami tak perlu bersama-sama.

"Jam empat," jawabku pelan.
"Ayo cepat. Sudah jam tiga lebih dua puluh," ujarnya.

Kami pun segera pergi dari restoran. Kakakku nampak terburu-buru membawa motornya keluar dari tempat parkir. Saat kami masuk ke jalan raya, dengan cepat ia mengendarai motornya. Tak biasanya kakakku mengebut seperti ini. Biasanya ia akan mengendarai motornya dalam kecepatan sedang sehingga kami bisa melihat-lihat berbagai hal di sepanjang perjalanan. Tapi tidak kali ini. Tidak. Kakakku mengebut meskipun sebenarnya aku masih memiliki cukup banyak waktu sebelum kelas tambahanku dimulai.

Mas Reza pasti marah padaku.

Perasaan bersalahku semakin membuatku tak nyaman. Mataku mulai terasa sembab dan pada akhirnya aku mulai menangis. Persetan dengan rasa malu karena menangis dalam perjalanan. Toh orang-orang tak akan tahu bahwa aku menangis. Motor ini melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi, jadi akan sulit bagi orang-orang untuk melihat dengan jelas bahwa aku sedang menangis. Kuharap saat ini mas Reza mau memperlambat laju motornya. Kuharap ia akan mengajakku berbicara sembari mengemudi. Kuharap ia mau mengatakan sebuah lelucon--lelucon apapun. Aku tak ingin mas Reza diam saja seperti saat ini.

Aku ingin kakakku yang dulu.

Aku mulai terisak saat kami melewati jalan di samping katedral Santo Petrus. Kurasa isakanku cukup jelas terdengar namun mas Reza tak mengatakan apapun. Ia terus mengemudikan motornya. Ia bahkan sama sekali tak melihat ke arah kedua kaca spionnya. Tak lama kemudian kami tiba di depan pusat bimbingan belajarku. Aku turun dari motor dan melepaskan helmku. Saat itu mas Reza melihatku menangis. Ia mengernyitkan dahinya.

"Kenapa, Rey?"

Aku sudah tak bisa berkata-kata lagi. Aku sudah terlanjur menangis. Aku hanya bisa menyeka air mataku dengan lengan jaketku. Mas Reza semakin bingung. Ia akhirnya turun dari motornya.

"Kenapa sih, Rey?" tanyanya.
"Rey.."
"Kamu kenapa? Coba cerita"

Aku menyeka kembali air mataku.

"Rey minta maaf. Rey.. Rey nggak bermaksud buat bikin mas Eza marah," ujarku terbata-bata.
"Mas Eza nggak marah. Mas Eza cuman bingung dan sedih kenapa selama ini kamu sering bersikap dingin sama mas Eza. Mas Eza takut kamu benci sama mas Eza," jawab mas Reza.
"Rey nggak benci mas Eza. Rey nggak benar-benar benci sama mas Eza. Rey terlalu sedih dan selama ini Rey terlalu sinis sama mas Eza dan ayah," jelasku.
"Kalau kamu rindu sama ibu, kamu bisa cerita sama mas Eza atau ayah. Kamu nggak boleh pendam sendiri. Kalau ada apa-apa kamu harus cerita"
"Tapi sekarang mas Eza pasti marah dan benci--"
"Mas Eza nggak marah, apalagi sampai benci. Tenang aja. Mas Eza paham posisi kamu seperti apa"

Aku masih mencoba meredakan tangisanku. Mas Reza akhirnya tersenyum dan menepuk pundakku.

"Adik mas Eza 'kan cuma kamu, Rey. Kalau mas benci sama adik mas satu-satunya, nanti siapa yang bisa mas datangi kamarnya buat kerjakan tugas sambil dengar lagu? Nanti siapa yang bisa mas ajak makan mi baso bareng?"

Aku tertegun. Mulai hari ini aku tak akan bersikap dingin dan sinis lagi pada kakakku.

"Rey minta maaf sekali lagi," ujarku.
"Mas Eza maafin, tapi kalau ada apa-apa kamu harus cerita sama mas atau sama ayah. Kamu nggak boleh lagi bersikap sinis dan dingin sama mas dan ayah. Kamu juga nggak boleh lagi terlalu larut dalam kesedihan. Kamu 'kan masih punya mas Eza dan ayah. Oh ya, kamu juga nggak boleh bentak-bentak orang seperti tadi kamu bentak mas Eza. Untung mas Eza bisa paham, kalau orang lain yang nggak paham 'kan bisa jadi kamu malah dibentak balik"

Aku mengangguk pelan.

"Rey janji"

Mas Reza tersenyum kembali.

"Cepat sana masuk. Nanti kamu telat"

Aku mengangguk pelan dan tersenyum pada kakakku. Setengah berlari aku menuju lobi pusat bimbingan belajar, namun aku teringat sesuatu dan kembali untuk menemui kakakku. Mas Reza terkejut karena aku kembali lagi.

"Ada apa? Kok balik lagi?" tanyanya.
"Mas Eza nanti akan jemput Rey, 'kan?" tanyaku gugup.
"Ya lah. Nanti kamu pulang gimana?" jawabnya.

Aku tersenyum.

"Syukurlah. Rey beres kelas jam setengah enam. Rey tunggu, ya"

Mas Reza tersenyum dan menyuruhku segera masuk. Aku berlari masuk dan lagi-lagi aku teringat sesuatu. Aku pun kembali lagi dan mas Reza lagi-lagi kebingungan.

"Ada apa lagi?" tanya mas Reza.
"Pulang les.. Er, gimana kalau kita makan mi baso sepulang les?" tanyaku.
"Tumben kamu mau makan mi baso," jawab mas Reza heran.
"Mas Eza 'kan kemarin bilang ingin makan mi baso," jelasku.
"Hmm.. Boleh deh"

Kali ini aku benar-benar berpamitan dan berlari masuk. Aku ingat saat Gea bilang betapa beruntungnya aku karena memiliki seorang kakak, dan aku menyangkalnya. Aku menarik kembali ucapanku. Aku bersyukur memiliki seorang kakak. Aku akan menjaga janjiku dan tak akan lagi bersikap dingin dan sinis pada kakakku dan ayahku. Aku ingin kembali dekat dan akrab dengan kakakku, dan kali ini aku tak akan membentaknya saat ia menceritakan sesuatu padaku sembari kami menikmati makan siang. Aku akan mendengarkan cerita-ceritanya, karena aku tahu mas Reza pun akan mendengarkan cerita-cerita dan keluh kesahku. Kulirik arlojiku yang menunjukkan pukul empat. Rasanya tak sabar aku menunggu sampai waktu menunjukkan pukul setengah enam. Aku ingin segera bertemu dengan kakakku dan menikmati mi baso bersamanya. 

0 comments:

Post a Comment