Thursday, June 12, 2014

Astraphobia

Setiap orang punya ketakutannya masing-masing dan kadang-kadang objek yang ditakutinya itu unik buat beberapa orang. Saya pernah baca tentang orang yang fobia terhadap kacang (what's so wrong with peanuts?). Dulu waktu masih kecil sekali adik saya malah takut sama satu butir nasi kalau nasi itu nempel di bajunya (well I found it cute anyway). Teman saya, Adele, fobia terhadap dengan pola lingkaran berukuran kecil-kecil atau lubang-lubang kecil. Awalnya saya nggak ngerti kenapa Adele bisa setakut itu sampai akhirnya saya ditunjukkan gambar-gambar tentang trypophobia dan malah ikutan merinding juga, meskipun nggak sampai fobia (dan dari situ saya mikir, pantas aja orang bisa punya fobia semacam ini lha wong gambar-gambarnya memang bikin merinding). Saya sendiri waktu kecil punya ketakutan terhadap beberapa hal. Beberapa ketakutan itu bisa saya tangani dan sekarang saya udah nggak takut lagi. Tapi sejauh ini masih ada dua hal yang bikin saya takut. Mungkin konyol sih, but it happens to me

Astraphobia
Yes, I'm a person with astraphobia. Saya paling nggak bisa berhadapan dengan kilat dan petir. Seriously, I can't handle them! Setiap turun hujan deras saya pasti langsung paranoid,  nggak berani lihat keluar jendela dan langsung pasang headphone untuk dengar lagu dengan volume yang cukup keras. Saya orang yang suka dengan gerimis dan hujan ringan. Saya biasanya jadi melankolis kalau turun gerimis, ambil foto-foto tentang hujan, bahkan sampai bisa buat puisi pendek. Tapi saat hujan badai yang datang, keadaan bisa berubah 180 derajat (sebetulnya siapa sih yang suka badai?). Saat orang-orang sibuk angkat jemuran pakaian mereka ketika hujan deras, saya sibuk cari tempat sembunyi yang kedap suara dan nggak berjendela karena saya nggak mau lihat kilat dan nggak mau dengar suara petir. Biasanya kalau di rumah saya sering sembunyi di ruang makan atau kamar mandi. Ya, kamar mandi. Kalau sedang tidak di rumah, saya biasanya langsung masuk ke tempat-tempat besar seperti mal. 

Mere pictures don't scare me; real lightning and thunder do
Saya mengalami fobia terhadap kilat dan petir sudah sejak lama, sejak saya masih TK. Waktu itu setiap hujan deras turun disertai kilat dan petir, saya biasanya nangis. Biasanya mama saya akan coba menenangkan saya dan bilang kalau kilat dan petir itu ciptaan Tuhan yang harus kita kagumi. Tapi boro-boro mengagumi dan mengagungkan nama Tuhan, yang ada malah saya tetap tutup kuping sampai kuping saya merah, sampai keringat dingin, dan sampai tangan saya pegal. 

Saya kira ketakutan saya terhadap kilat dan petir bakalan hilang saat saya beranjak dewasa, tapi nyatanya sampai sekarang pun saya masih takut. Waktu saya SMP pernah suatu waktu sedang solat Jum'at berjamaah dan masjid di sekolah saya itu bangunannya semi-outdoor, dengan banyak bukaan yang bikin udara bebas keluar masuk masjid. Saya waktu itu kebagian solat Jum'at di barisan yang cukup depan, meskipun nggak paling depan. Sialnya, waktu itu hujan turun sangat lebat disertai petir. Dari mulai khotbah Jum'at pun saya udah ngerasa uneasy karena kilat sudah flash disana sini mirip flash kamera DSLR dan petir sudah nembak disana sini. Saat solat Jum'at, ada kilat yang paling terang dengan garis kilat yang kelihatan jelas, diikuti suara ledakan super besar yang bikin semua orang yang sedang solat kaget (tapi solatnya tetap berlangsung). Pokoknya setelah kilat itu saya mulai nggak konsentrasi dan setelah solat Jum'at beres saya langsung kabur ke tempat yang lebih aman (dan halaman sekolah pun banjir setinggi mata kaki). 

Nggak bisa tidur saat kemah
Waktu saya kelas 1 SMA, saya ikut kemah alam. Sebagai siswa tahun pertama, saya dan teman-teman kelas 1 dan senior-senior kelas 2 mau nggak mau harus ikut serangkaian acara yang memang udah sengaja disiapkan oleh senior-senior kelas 3. Di sore hari kedua (malam terakhir), ada jejak alam sore dimana kita harus datang ke beberapa pos dan ikut tantangan disana. Sore itu hujan turun. Nggak deras memang, tapi cukup bikin menggigil (ditambah dengan lokasi yang berada di kaki gunung, bikin udara tambah dingin). Waktu malam saya mulai ngerasa demam dan memutuskan untuk lebih banyak tinggal di dalam tenda. Syukurlah saya satu kelompok sama teman-teman dekat saya, jadi minta tolong pun lebih mudah sama mereka. 

Dan di tengah malam saya terbangun dan nggak bisa tidur. Bukan karena sakit demam, tapi karena turun hujan dan disertai angin kencang dan petir. Petir! Sepanjang malam saya nggak bisa tidur dan gelisah (tapi tidak mendesah ya guys). Teman saya, Ferry, langsung bangun dan coba buat menenangkan saya. "Itu cuma petir kok, bukan apa-apa", kata Ferry. Tapi tetap saja, petir ya petir, dan saya takut petir. Saya nggak bisa tidur, sampai kakak senior saya ikut turun tangan, sampai pinjamkan saya jaket karena saya menggigil. Pokoknya malam terakhir kemah alam benar-benar menyiksa. 

Menyusahkan
Sebetulnya astraphobia yang saya alami ini menyusahkan, baik buat saya maupun buat orang lain (tapi seringnya sih untuk saya secara pribadi). Gimana tidak, saat saya sedang jalan sambil bawa barang-barang di tangan lalu tiba-tiba muncul kilat, masa saya harus lepaskan barang-barang itu begitu saja supaya saya bisa tutup telinga pakai tangan? Masa saya harus minta orang lain untuk tutup telinga saya? 

Fobia ini juga merusak suasana. Sudah berapa kejadian saya sedang makan di luar sama keluarga atau teman, dan muncul kilat disertai petir yang bikin acara makan saya terganggu. Orang lain memang nggak masalah dan mencoba memaklumi (kecuali ibu saya yang justru sering tegur saya kalau saya sudah mulai ketakutan, but mom, please do understand that I'm a person with astraphobia so stop scolding me!), tapi 'kan saya jadi malu sendiri, dilihatin orang lain dan dianggap unik. Tidak dianggap aneh sih karena mereka tahu kadang suara petir itu memang menyeramkan, tapi dianggap unik dengan tatapan yang seperti itu malah bikin saya jadi kikuk. Kemarin ini saat saya makan siang dengan Ayu di Zombie CafĂ©, turun hujan badai (benar-benar badai) disertai kilat dan petir yang bikin saya lebih sibuk dealing dengan fobia saya daripada dengan makanan saya, sementara Ayu sudah menghabiskan spaghetti pesanannya. 

Ketakutan lain
Ketakutan saya nggak berhenti sampai kilat dan petir aja. Sebetulnya saya juga takut terhadap ledakan (atau intinya, suara-suara nyaring yang muncul tiba-tiba). Sampai sekarang pun saya masih bisa dibilang takut terhadap petasan. Kecuali kembang api yang memang meledak untuk menjadi indah (halah bahasa gue!), petasan justru meledak untuk.. meledak! Makanya di momen bulan puasa atau momen tahun baru Cina, saya suka menghindari tempat-tempat yang disinyalir akan banyak petasan. Apalagi kalau imlek, petasan yang dinyalakan biasanya dalam bentuk rantai. Bonus hebat deh itu ledakannya. 

Waktu kecil dulu, teman-teman yang tinggal di lingkungan tempat saya tinggal biasanya sering main petasan saat bulan puasa dan itu mengganggu sekali buat saya. Untuk sekarang ini sih saya bisa lebih tenang karena nampaknya anak-anak lebih banyak main dengan gadget mereka daripada petasan, dan maraknya berita-berita tentang insiden petasan yang memakan nyawa saya rasa sudah cukup bikin anak-anak takut tentang bahaya petasan. Saat saya dengar bahwa satu rumah produsen petasan meledak, saya malah senang karena dengan itu setidaknya produsen petasan itu sadar bahwa produk ciptaannya yang dibuat untuk anak-anak memang berbahaya. Harusnya orang-orang pun sadar ya bahwa mainan untuk anak-anak harusnya yang memang tidak berbahaya. 

Menanggulangi ketakutan
Untuk saat ini saya masih belum punya ide bagaimana untuk dealing dengan rasa takut saya. Setiap hujan pasti saya jadi paranoid. Untuk petasan sendiri sih biasanya saya ambil tindakan yang agak ekstrim: saya datangi anak-anak yang main petasan itu dan saya marahi, bahkan kadang sampai panggil satpam kompleks untuk usir anak-anak itu (dan biasanya anak-anak yang main petasan itu masih anak-anak tetangga juga jadi saya bisa datangi rumahnya dan laporkan ke orangtuanya kalau anak-anak mereka sudah cukup jadi sampah masyarakat dengan bikin berisik lingkungan kompleks). Tapi untuk petir, sampai sekarang saya masih bingung harus gimana. Saya sadar betul ketakutan saya sangat mengganggu tapi masalahnya, berbagai cara udah dicoba dan saya tetap tutup kuping saat ada kilat. Bahkan peringatan dari teman saya bahwa haram hukumnya saat ada kilat dan petir lalu kita tutup telinga pun nggak berhasil. 

Jadi yang bisa saya lakukan sih saat ini hanya menjalani saja. Toh saya yakin setiap orang punya ketakutannya masing-masing dan cara mereka menghadapi ketakutan tersebut. Saya sih percaya suatu hari ketakutan saya terhadap petir dan kilat akan berkurang. Dan dari adanya ketakutan, saya secara pribadi jadi belajar bahwa dengan adanya ketakutan, orang bisa belajar untuk berani. Itu aja sih. 

By the way, apa kemarin ada yang daerahnya kebanjiran karena hujan besar? 

2 comments:

  1. Entah kenapa yang semua situ tulis bener2 sama persis kayak yg saya alamin. Ternyata ada yg senasib sama saya. Terharu

    ReplyDelete
  2. Saya mengalami hal yg sama mas, udah berobat ke hipnotherapy tetep aja nggak sembuh malah habis uang

    ReplyDelete