Thursday, June 5, 2014

Chopsticks

Aku tak habis pikir. Baru dua bulan aku bersekolah disini dan aku sudah banyak mengalami kekerasan dari beberapa teman sekelasku. Seringkali aku pulang dalam keadaan babak belur dan kau tahu, aku terpaksa menahan rasa perih di sekujur tubuhku saat aku mandi. Terkadang mereka membuat lokerku berantakan, berhasil membuka pintunya dan mengobrak abrik isinya. Kadang mereka mempermalukanku di depan banyak orang, menumpahkan smoothies ke pakaianku lalu pergi begitu saja sambil tertawa puas. Aku tak bisa mengeluhkan masalah ini pada ibu dan ayah karena mereka sangat sibuk. Vivian dan Ken pun sibuk dengan kegiatan dan tugasnya masing-masing. Aku tak yakin untuk menceritakan apa yang terjadi pada pihak sekolah karena kurasa mereka pun tak akan begitu mempedulikan masalah ini. Aku belum punya cukup banyak teman di sekolah baruku dan di lingkungan tempat tinggalku yang baru. Semuanya terasa berbeda disini dan aku merasa sangat asing. 

Ini semua karena ayah yang dipindahtugaskan ke London. Seandainya saja ayah tak harus pindah ke London, maka semuanya tak perlu ikut pindah ke London dan aku masih berada di Singapura saat ini. Ah, aku rindu semuanya tentang Singapura. Aku lahir dan besar disana. Aku memiliki banyak teman disana. Aku merindukan Roxanne, Alvin, Rachel, Azzam, Noor, Rajiv, Farah, dan sahabat-sahabatku yang lainnya. Aku rindu suasana sore yang tenang di Boat Quay, atau bermain voli pantai di Siloso. Di Singapura, aku dan keluargaku tinggal di sebuah apartemen tiga kamar di Tampines. Di London, kami tak lagi tinggal di apartemen. Kami tinggal di sebuah rumah teras tiga lantai dengan perapian di ruang makan dan ruang baca. Ruangan-ruangan di rumah baruku lebih besar dan langit-langitnya lebih tinggi, hanya saja hawanya terasa jauh lebih dingin. Meskipun jarak dari satu rumah ke rumah lainnya sangat dekat, tapi aku bahkan tak mengenal tetangga-tetanggaku. Maksudku, tetangga-tetanggaku tak saling mengenal baik satu sama lain. 

Sore itu, Freddie dan teman-teman gengnya menggiringku ke kolam renang sekolah dan melemparkanku ke kolam renang. Seluruh pakaianku dan tasku basah dan kacamataku tenggelam ke dasar kolam. Aku terpaksa harus menyelam untuk mengambil kacamataku. Kau tahu itu sangat memalukan karena aku pulang dalam keadaan basah kuyup dan orang-orang menertawakanku, meskipun ada beberapa orang yang kasihan padaku. Saat ini London mulai memasuki musim gugur dan udaranya terasa cukup dingin. Aku menggigil hebat karena kedinginan. Untunglah seorang teman sekelasku, David, berbaik hati meminjamkanku tracksuit­-nya. Setibanya di rumah aku segera berbaring di atas sofa di ruang keluarga dan tertidur karena kelelahan. Saat aku terbangun, aku telah berada di kamarku. Ibu, Vivian, dan Ken juga berada di kamarku. Kepalaku terasa sangat berat dan pakaianku basah oleh keringatku. Rupanya aku terkena demam. 

Setelah sembuh dari sakitku, aku kembali ke sekolah dan penyiksaan terhadapku belum juga berakhir. Dengan kondisi yang masih belum benar-benar sembuh, aku harus mencari buku catatanku yang disembunyikan oleh Jonas. Tugas puisiku ada di dalam buku catatan itu dan aku belum bisa menemukannya saat pelajaran puisi dimulai. Itu sangat memalukan karena tuan Cedric nampak kecewa padaku. Saat pelajaran berakhir, Jonas melemparkan buku catatanku ke wajahku. Ia pergi begitu saja setelahnya. Saat kubuka buku catatanku, ia menuliskan sesuatu di halaman depannya. 

“Jason Chink!”

Dengan geram aku merobek halaman depan buku catatanku. Ia sudah sangat keterlaluan. Semua orang yang selama ini menggangguku sudah sangat keterlaluan. Aku tak mengerti mengapa mereka terus menggangguku, padahal aku tak pernah mengganggu mereka sama sekali. Apa karena aku memiliki mata yang berbeda? Apa yang salah dengan mataku? Aku masih bisa melihat dan tak ada yang salah dengan penglihatanku—ya setidaknya aku masih bisa melihat dengan jelas dengan kacamataku. 

Keesokan harinya Jonas bersama Freddie dan teman-temannya membawaku ke gymnasium untuk ‘bermain basket’. Mereka berbaris membentuk setengah lingkaran dan yang berdiri di setiap ujung berada di samping dinding. Sementara itu aku berada di tengah, dikelilingi mereka. Masing-masing dari mereka memegang sebuah bola basket dan secara bersamaan, mereka melempariku dengan bola basket yang mereka pegang. Aku harus menghindari lemparan-lemparan tersebut jika tak ingin pulang dalam keadaan memar. Tapi jumlah mereka banyak dan postur tubuh mereka lebih besar dariku. Beberapa kali aku terkena hantaman bola di lengan, punggung, dan kepalaku. Mereka mengakhiri permainannya saat aku telah terkapar di lantai dan kacamataku tergeletak hancur di sampingku. 

Aku mengunci diriku di kamarku setibanya aku di rumah. Pertama kalinya semenjak aku pindah dari Singapura aku menangis. Kacamataku hancur. Sudut bibirku berdarah dan pipiku memar. Sekujur tubuhku lebam. Aku dianiaya karena aku tak seperti mereka. Aku berbeda dari mereka. Aku dipukuli karena mataku. Ini tak adil. Ini jelas-jelas tak adil. Aku tak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Aku tak ingin tinggal lagi di tempat ini. Aku ingin kembali ke Singapura. Ini bukan rumah untukku. Rumahku adalah Tampines, bukan London. Aku tak peduli jika aku harus tinggal di kamar yang ukurannya lebih kecil, tapi setidaknya aku merasa nyaman saat berada di kamarku. Saat kumatikan lampu kamarku sebelum tidur, aku selalu tersenyum karena aku tahu esok hari aku akan disambut oleh cahaya matahari yang masuk ke kamarku melalui celah-celah tirai, membentuk bayangan yang indah di dinding kamarku. Disini semuanya terasa berbeda. Aku tak bisa tidur. Aku selalu dibayang-bayangi mimpi buruk. Sejak kepindahaknku ke London, aku tak pernah mematikan lampu kamarku sebelum tidur. Aku tak pernah bersemangat untuk bangun pagi. Bahkan terkadang aku berharap agar aku tak usah bangun lagi. 

Saat makan malam, seluruh keluargaku akhirnya melihat luka-luka di wajah dan lenganku. Kedua orangtuaku dan kedua kakakku untuk pertama kalinya mendengarkan ceritaku tentang kekerasan yang kualami di sekolahku. Aku sudah tak menangis lagi, tapi kau tahu, tubuhku masih merasakan sakit, seperti halnya batinku. Aku menceritakan semuanya, semua yang pernah teman-temanku lakukan padaku. Ayah dan ibu geram, seperti halnya kedua kakakku. Mereka geram, namun mereka tak memutuskan untuk membantuku begitu saja. Aku protes dan marah pada ayah mengapa ayah harus pindah ke London sehingga kami semua harus ikut bersama ayah. Semua ini tak akan terjadi jika ayah memutuskan untuk tetap tinggal di Singapura. Ayah hanya tersenyum padaku dan menjawab semua keluhanku. 

“Kau hanya belum terbiasa menjadi bagian masyarakat minoritas” 

Aku mengernyitkan dahiku. 

“Tapi ayah, mereka memukuliku! Kau tak lihat wajahku penuh memar? Lihat! Lenganku pun penuh dengan luka memar! Kacamataku hancur dan.. ah, entahlah! Aku tak tahu bagaimana aku akan melihat dengan jelas tanpa kacamataku,” keluhku. 
“Jason, selama ini kau tak pernah melawan balik. Itulah yang sebetulnya harus kau lakukan sejak awal,” jawab ayah. 
“Tapi mereka lebih besar dariku. Maksudku, aku bisa saja di—“ 
“Kau tahu Napoleon Bonaparte?” potong ayah. 
“Ayah, kumohon. Aku sedang tak ingin bicara tentang sejarah!” tegasku. 
“Napoleon bertubuh pendek jika dibandingkan dengan musuh-musuhnya. Tapi dengan tubuh sependek itu, ia bisa berkuasa,” jelas ayah. 
“Ah, ayolah. Ini tahun 2013 dan aku bukan Napoleon!” 
“Tapi kau bisa menjadi seperti Napoleon. Ya.. Kau memang tak perlu berperang dan tak perlu ikut militer, tapi setidaknya kau bisa punya keberanian sehebat Napoleon” 
“Aku tak yakin, ayah” 
“Kau bisa mengatasi masalahmu, Jason Chen” 

Aku terdiam sejenak. 

Keesokan harinya aku masih pergi ke sekolah dengan wajah murung. Aku tetap tak banyak bicara. Selama jam pelajaran berlangsung, aku hanya berfokus pada materi dan mengacuhkan lemparan-lemparan gulungan-gulungan kertas dan penghapus yang mereka arahkan padaku. Aku tak peduli lagi dengan serangan-serangan kecil seperti itu. Itu tak berarti apa-apa sekarang. Aku sudah kebal. 

Bel makan siang berbunyi. Hari ini aku tak mengambil jatah makan siangku karena aku membawa bekal makan siangku sendiri. Ibu yang menyiapkannya untukku. Kubuka kotak makan siangku dan kuambil sepasang sumpit dari dalamnya. Aku melihat ke sekelilingku. Teman-temanku yang lain menyantap hidangan yang berbeda dengan makan siangku. Ah, aku tak tertarik. Aku mulai menyantap hidangan makan siangku dan tiba-tiba Jonas menggebrak mejaku. 

“Apa yang kau makan, Jason Chink?”

Aku meliriknya dingin. Jonas menggigit hamburgernya dengan ganas. Aku tak mempedulikannya dan kembali menyantap makan siangku. Merasa teracuhkan, Jonas menggebrak lagi mejaku dan memakiku, menyebutku dengan sebutan itu lagi sekali lagi. Suaranya yang nyaring membuat semua orang di kantin ini memperhatikannya. Tak berapa lama kemudian Freddie datang dan bergabung bersamanya untuk mengejekku. Beberapa orang ikut tertawa mendengar ejekan Freddie untukku, tapi aku tak peduli. Jonas akhirnya mengambil satu sumpitku dan melemparnya ke lantai. 

“Jason, bagaimana kau bisa menghabiskan makananmu tanpa satu sumpitmu?” tanyanya, “Aku tak mengerti bagaimana caramu makan dengan benda tumpul itu” 

Aku sudah tak dapat menahan kesabaranku lagi. Kugebrak mejaku dan itu cukup membuat semua orang terkejut, termasuk Freddie dan Jonas. Kulepaskan kacamataku dan kutatap tajam semua orang yang ada di kantin. Mereka menatapku kaget. Tak pernah melihatku marah sebelumnya, kali ini mereka melihatnya. 

“Aku muak dengan semua perlakuan kasarmu. Kau tahu, aku sudah sangat muak” 

Freddie hendak memukulku namun segera kutangkis pukulannya. Kucengkram pergelangan tangannya dengan sangat kuat sampai bocah itu meringis kesakitan. Sebetulnya aku bisa saja merobek kulitnya, mencabik dagingnya, dan memutuskan urat nadinya dengan kuku jariku, tapi aku tahu itu bukan hal yang seharusnya kulakukan. Kulepaskan dengan kasar pergelangan tangan Freddie dari cengkramanku dan kemudian kurebut hamburger Jonas yang masih ada di tangannya. 

“Kau ingin tahu bagaimana aku menggunakan benda tumpul ini untuk memakan makananmu?” tantangku. 
“Mencapitnya?” jawab Jonas sambil tertawa, “Kau kehilangan satu sumpitmu!” 

Aku melemparkan hamburger Jonas ke atas mejaku dan dengan cepat, kutusukkan sumpitku ke atas hamburger itu. Kuangkat tinggi-tinggi sumpitku. Kutunjukkan hamburger Jonas yang kutusuk oleh sumpitku. Dari bagian bawah hamburger tersebut menetes keju, minyak, dan saus tomat. Semua orang terkejut. Freddie terkejut. Jonas terkejut. Tak ada yang berani bicara setelahnya. 

Setelah hari itu, Freddie dan Jonas tak pernah menggangguku lagi.

0 comments:

Post a Comment