Friday, May 9, 2014

Orangnya, atau dompetnya?

Kemarin ini saya ngobrol panjang lebar dengan bang Opan dan Vijay di mobil sepulangnya kami dari sesi foto kelas di salah satu studio foto di jalan Banda, Bandung. Topik obrolan kami bertiga adalah tentang oknum yang kami anggap sangat meresahkan (dan pastinya menyebalkan). Dari mulai oknum yang rasis skala kecil sampai oknum yang merugikan baik dari segi mental dan finansial (kalo udah urusan duit emang sensitif sih). Saya lantas cerita betapa beberapa oknum (yang ternyata nggak jauh-jauh, teman sendiri) berteman atau bersikap ramah karena ada maunya aja. Dan setelah kemauannya tercapai, saya dilupakan lagi. Well I'm not a bubblegum that you can chew when it's sweet and dump when the sweetness is gone. Bang Opan dan Vijay sama-sama setuju bahwa memang ada orang-orang yang licik, yang mau untungnya aja dan pinter banget ngeles (how should I call it in standard Indonesian?). Vijay bahkan cerita tentang si oknum yang satu itu, yang mau gampangnya aja dengan alasan "lebih baik cari aman soalnya kata dosen nilai grup sama dengan nilai individu". Bang Opan kebetulan udah tahu tentang kasus itu dan dia memaklumi marahnya Vijay dan kesalnya saya terhadap si oknum yang satu itu. Enak di ngana nggak enak di beta dong kalau kayak gitu caranya. 


Pada dasarnya topik obrolan kami bertiga tentang oknum-oknum menyebalkan itu, tapi pada akhirnya menyempit jadi topik tentang orang-orang yang berteman tapi sifatnya manipulatif, manfaatin temannya. Saya termasuk orang yang, jujur aja, udah sejak lama beberapa kali jadi korban dari pertemanan semacam ini. Apa yang dimanfaatin dari saya bisa bersifat fisik maupun mental. Dan yang bikin saya nggak ngerti adalah saya sering banget give in dan fall  ke jebakan semacam ini. Biasanya teman-teman yang cengar-cengir ceria (istilah Cepri) ini nempel terus saat lagi ada maunya, sok asik, sok kece, sok ramah, sok ijem (bahasa si Derrick), dan ujung-ujungnya pegang-pegang yang sensitif.. yang vital..

Kalo nggak jawaban soal, ya dompet.. 

By no means of being arrogant, saya merasa saya termasuk yang advanced  kalau untuk urusan sekolah atau kuliah. IP saya paling kecil 3.13 dan itu terjadi waktu semester 1, sementara semakin kesini IP saya semakin meningkat walaupun belum pernah sama sekali dapat IP 4 (at least ini perlu disyukuri karena saya belum pernah dan jangan sampai gagal dalam matakuliah). Kalau dulu waktu jaman masih sekolah, puji Tuhan saya selalu masuk Top10 (padahal kelas 2 semester 2 saya bandelnya minta ampun). Dengan otak yang segini-gininya (karena di jaman kuliah sekarang, otak saya ya segini-gininya buat menghadapi matakuliah-matakuliah super pusing), ternyata hal itu attract beberapa oknum yang nampaknya butuh nilai 80 ke atas dengan cara ekspres. Toh Yogya dan Giant aja sekarang ada Yogya EXPRESS dan Giant EXPRESS, kenapa nilai nggak ada yang EXPRESS, pikir mereka kayaknya. Caranya biar dapet yang ekspres tanpa perlu kuras waktu lama berpusing-pusing ngerjain latihan soal atau tugas sendiri adalah.. 

"Eh, kerjain bareng yuk!" 

Frase invitation itu frase terbasi untuk menyampaikan maksud bahwa "kamu yang ngerjain, aku yang lihat jawabannya". Embel-embel bahwa kerja kelompok itu menyenangkan dan semacamnya jadi semacam bullshit buat saya, saat embel-embel itu dikatakan oleh oknum-oknum manipulatif. Ya, menyenangkan. Menyenangkan di ngana, bukan di beta. Dan biasanya oknum-oknum semacam ini saat udah dapat nilai besar, balik lagi ke habitatnya bersama teman-teman sepergaulannya dulu. Lalu, gimana nasib saya dan orang-orang yang posisinya serupa dengan saya? Pastinya ditinggalkan. Diacuhkan. Dan sambil waving hands ke arah saya, oknum itu bilang "Nanti kalau ada apa-apa lagi aku tinggal datang ke kamu ya".


Saya bukan pabrik yang menawarkan jawaban-jawaban gratis. Saya bisa aja nuntut hal ini karena oknum yang bersangkutan bisa saya anggap mencuri kekayaan intelektual. Jawaban-jawaban latihan soal itu kekayaan intelektual saya karena saya yang mikir, dan sekarang ada orang yang ngambil jawaban-jawaban itu, tanpa bayar (hari gini nyari yang gratis susah bro!), dan.. bayar sih sebetulnya, pakai senyum kuda. 

Tapi yang paling menyebalkan dari teman manipulatif adalah teman yang manfaatin dompet temannya. 


Ini adalah level manipulatif paling kurang ajar menurut saya. Dia tajir, saya bokek. Persahabatan bukan berarti duit lo adalah duit gue juga, kecuali hubungannya adalah suami istri dimana uang istri adalah milik istri dan uang suami adalah milik istri juga (meskipun ada aja suami yang pelit.. demi masa depan). Saya sendiri sudah beberapa kali jadi korban oknum yang seperti ini. Ilustrasinya nggak perlu saya ceritakan tapi yang jelas, isi dompet saya berkurang karena jadi harus 'menafkahi' teman tercinta yang rewel ingin ini itu dan makan-makanan yang ada di mal. 

Yang saya bingung adalah kenapa saya sering give in. Sebetulnya saat saya berteman dengan seseorang, yang saya inginkan itu persahabatannya, relasi dengan orangnya. Saya orang yang cenderung nggak peduli apakah orang itu pintar atau tajir. Kalau bersahabat ya bersahabat aja, kenapa harus lihat dari sisi intelektual dan kekayaan? Orang pinter bisa jadi goblok dan sebaliknya. Orang tajir bisa jadi miskin dan sebaliknya. Saat saya bersahabat dengan seseorang, harapan saya adalah relasi yang baik. Sayangnya, kadang yang diajak bersahabat justru punya ekspektasi lain dari saya. 

Sayang sekali. 

0 comments:

Post a Comment